Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Cerpen Tentang Arashi - Diam!

Assalammualaikum.. Udah gak bisa ngomong apa-apa lagi tentang terlambatnya cerpen ini. HEHE hampir satu tahun tak ada update terbaru. Entah masih ada yang baca atau sudah "OKE LUPAKAN" tapi yang jelas aku gak akan tenang sampai ini usai!. Selamat membaca ya pembaca budiman. Btw bacanya tetap dirumah kan ? Jangan kemana-mana ya, pandemik masih belum usai. 

Aku datang di tengah kerumunan, menyaksikan Aras yang udah berapi - api sedangkan Gito terlihat santai bahkan memandang remeh tatapan Aras. Gito mah gitu , slengek an gak pernah ada hal serius di hidupnya, itu sih yang Aku tangkep sejauh kenal kunyuk itu. Ya Allah ampuni mulutku yang gak bisa enggak mencerca mahkluk astral itu yang emang gak ada baik-baiknya.

Dia dikasih hidup hanya untuk bercanda kali ya, Heran aku. Penampilannya pun mulai berantakan gak kek jaman SMA gitu , enggak kerawat. Rambutnya mulai gondrong ala-ala anak komunikasi. Sorry for not feel sorry  emang gitu dianya. Minus. tuh kan bacot ini kumat lagi. Astagfirullah Jauhkan aku dari manusia ini ya Allah.

"Aras.." panggilku yang kemudian mendapati sorotan matanya tak lupa dengan sekeliling manusia yang ada disana

"kalian ngapain sih.." sengutku pada kedua lelaki  yang sama sekali gak tau Adab ini.

"Dia yang bikin gara-gara duluan" tunjuk Gito ke Aras "Coba nih baby nya dikasih wejangan , jangan jadi cowok yang gampang naik pitam. Ati-ati lo, Bi dia ganas. " saran terakhir dari Gito yang sukses buat aku natap tajam plus jijik dengan dirinya. Manusia abal-abal ini ternyata mulutnya enteng banget kalo ngomong kek kaleng kosong.

"bacot lo diem aja, gue gak tanya elo, Manekin hidup!. Ayok Pergi, Ras"

 ajakku menggandeng tangannya pergi dan menjauh dari tatapan anak-anak lainnya. Sempat dianya mengelak. Aku melirik matanya tak kalah tajam dengan belati dan akhirnya Aras melunak.

Didalam mobil Aras berkali-kali mendengus kesal, aku hanya memperhatikannya sampai dia tenang. Gak tau kenapa sekarang Aras lebih cepet emosian . Padahal dulunya dia kalem loh kek anak kucing. Lucu, nah ini malah kek mau tawuran gini, Astagfirullah.

 Setelah amarahnya mereda barulah aku tanya kenapa dirinya membuat ramai disana.

"banyak-banyak istigfar, Ras, kamu ngapain bercengkramah dengan Gito, ada yang salah ?" tanyaku penasaran. Bukannya dapat jawaban ehh si Ganteng malah peluk. Nah kan aku kegirangan . ehh tunggu bukannya dia tadi marah ya. lah kok ini ..

"kenapa sih sayang.." tanyaku sambil nahan tawa , habis manggil sayang ke Aras ini kek ada bulu-bulu panjang di ketiak yang tersapu angin. Geli.

"tadi pagi kamu semeja sma dia kan?"

Pertanyaannya ini seperti gak butuh jawaban deh, cowok ini tau dari mana juga. Dia punya mata-mata dikantin ? oh ya? atau dia punya six sense atau di tubuhku ini ada gps .. Hello Bintang ngomong yang masuk akal aja , gak usah buang-buang waktu.

"he'em, tapi kondisinya gak sengaja ya, disana ada Dira soalnya. Tapi setelah tau ada manusia ubur-ubur itu, aku langsung cabut ke kelas"

Aras terdiam, hingga perjalanan pulang dia hanya menjawab sekenanya saja. singkat, padat, jelas gak ada keterangan ataupun tambahan kalimat lain. Sebel!. Sepanjang jalan keknya Aras lagi sakit gigi, gak ada ngomong sama sekali. Dari tadi aku cerita cuma di jawab "heem, gk, iya" dipikir ini ngomong sama siapa coba.

Mobil berhenti di pelataran rumahku.

"yaudah aku pulang, makasih, Bye!" kalimat terakhirku kemudian keluar dari mobilnya

"kalau gitu gak usah deket-deket Dira" ucapnya saat aku memutar dan menuju halaman rumah

Ini anak kesambet atau gimana sih, kok tiba-tiba childist gini 

" Ras, plis ya.. tau kan aku dari awal deket sama Dira?, ini kenapa kok tiba-tiba gini. Kamu itu aneh, sebenarnya ada apa kamu sama Gito kok gak sampai sebenci itu ,apa ini aku yang GR atau gimana.. kamu takut aku diambil Gito ? kupikir bukan itu alasannya, sekarng jelasin ada apa ?””

Lama nunggu Aras gak segera ngasih jawaban. Dipikir beneran patung kali ya aku ini.

 Udah ahh.. pulang sana, Bete!'"

Aras kemudian tancap gas dan menghilang dari pagar depan rumah. Tanpa salam, biasa kalau doski marahnya kumat. Padahal itu gak baik loh, aku aduin ke bunda, lihat aja ntar. Mobilnya melaju dengan dan menyapu daun-daun kering yang ada di pinggiran trotoar.  Aku hanya geleng-geleng kepala ngelihat kelakuannya

"kayak anak kecil ih" desahku

***

"Helo Dir." sapaku pada Dira yang akan memasuki ruang kelas dan disambut dengan senyum hangat. Kami memilih tempat duduk tengah yang tak jauh dari Layar depan kelas. Masih sepi, biasa lah anak komunikasi, masuknya menunggu jam kelas mulai. gak bisa datang lebih awal. kek aku sama Dira gini.

"Bi aku denger kemarin cowokmu ribut lagi ya sama Gito?, emang dia segitu bencinya ya sama Gito?"

Aku hanya tersenyum "ya begitulah cowokku" .

Andai aja dia tau kalau Aras benci banget sama Gito. Mungkin Dira juga jaga jarak sama aku ,karna Gito sahabatnya dia. Tapi gimana ceritanya. Mending diem aja bagus. Gak buat perkara lebih. dan Dira masih tetap jadi sahabat baikku.

"apa sih alasannya, Bi ? dia cemburu ? mungkin karena Gito terlalu humble kali ya atau kalah ganteng sama Gito , heheh?" bela Dira dengan membuka lembar demi lembar halaman bukunya .

"enak aja, Aras itu lebih ganteng tau!"

Dira tertawa keras. " Oke Ampun, Bi " . Macam-macam komper Aras sama Gito , Arasku as usually nomer 1 dan gak ada yang bisa kalahin.

"Lagian ya, Bi, bukan maksud  gue buat julid ya. Aras klo ngelihat Gito kayak mau nerkam aja, horor tau!"

Dira rupanya masih penasaran dengan pertikaian Aras dan Gito.

Aku sendiri binggung, kalau di pikir-pikir Aras dan Gito gak  pernah ada masalah personal. Kecuali Gito yang dulu coba dekatin aku pas Aras gencar banget di pepet Tia. Itu pun karena Aras gak nembak-nembak jdinya Gito berusaha dekat. Tapi kan akhirnya aku jadian sama Aras, apa sesedehana itu masalahnya sampai Aras seperti itu. Apa bener semuanya bermula dari rasa cemburu. Kok ya sampai segitunya buktinya kemarin doski gak ngasih jawaban sama sekali. Aras terlalu misterius sekarang.

***

Mendekati semester akhir, kebanyakan sekarang  ujian pada take home. Banyak banget tugas yang harus di kerjakan. jangankan untuk ujian, paper  untuk matkul biasa aja sudah bejibun dan harus di send dalam waktu 24 jam. Gila!! dosen komunikasi Gila. Ditengah kespanengan megerjakan tugas kuliah. Ditambah dengan kasus vorus Covid-19.Kuliah Libur tapi tugas tetap jalan. Tuhan bisakah aku tenang sejenak.  Tiba-tiba Bunda muncul dari balik pintu .

"Bintang, ada tamu" info bunda. Aku hanya mengangkat kepala sambil dengan posisi duduk di ranjang dengan setumpuk buku di ranjang.

"biasa.,segera turun gih"

"kalau Aras aku gak mau, Bun. bilang aja lagi sibuk persiapan ujian besok"

"bunda diajarin bohong ih.. "

Bunda mah usil, giliran anaknya pengen belajar yang rajin bilangnya gitu. "tolong dong, Bun sampein, aku lagi deadline tugas nih. ya ya ya.." pintaku ke bunda tanpa beralih posisi

"hmmm , sekali aja , okay"

bunda kembali turun kebawah, dan aku bergegas ngelihat dari jendela kamar lantai dua, tempat ternyaman untuk melamun. Si ganteng udah pergi rupanya setelah di kasih tahu bunda kalau aku gak bisa di temui.

"Selalu aja seperti ini ya, Ras" gumamku

Aku jadi memikirkan perkataan Dira waktu itu. Entah benar atau tidak, kalau menilik kearah sana, kurasa juga masuk akal.

"Bi.. aku sempat tanya ke Gito tentang permasalahannya dengan cowokmu. Jawabannya cukup buat aku kaget sih, katanya cowokmu pernah ada fair dengan ceweknya. Kupikir itu bualananya Gito, secara kamu kalau cerita soal cowokmu selalu menggebu-gebu. Dan juga kalau dilihat cowokmu anak baik-baik kan ya?"

Pertanyaan Dira sudah pasti aku berikan jawaban iya. Aras adalah anak baik-baik yang aku kenal. Gak mungkin dia hianatin aku. Aku percaya dengan ucapannya, tapi semakin aku percaya semakin aku mulai ragu adakah hal yang dia sembunyikan darikuu.

Apa Yang Harus Aku Lakukan Pada Fansku


Heloo, kok ya topic ini cukup ngebuat mikir keras what should i do with my fans. Aku ini siapa sih kok ya harus ada kata fans yang menyertai. Oke! Kita samakan persepsi, mulai sekarang i called they are fans IF THAT ONE always curios about my life, start from ujung kepala sampai ujung kaki. Apapun tentang aku yang membuat mereka ingin tahu lebih, entah untuk dicela ataupun di puji. Netizen berkedok fans lebih tepatnya. Entah angin apa yang ngebuat aku ingin mencetuskan tentang cara  menghadapi orang yang berciri-ciri seperti itu – Fans-. Rasanya geli aja gitu sebutnya, dirinya adalah orang yang teramat mengagumi kita sampai hal kecil.

I know that i’m someone who means for someone else. Sehingga apa-apa atau tingkah laluku selalu menarik untuk diketahui kemudian di buat bahan entah itu omong-omongan ataupun panutan. Kali  ahh panutan kayak hidup sudah baek-baek aja. Tapi ya alhamdulillah kalau memang benar-benar ada jadi panutan. Setidaknya hidupku ini bisa jadi gambaran dari seseorang untuk bisa di tiru. Tapi disini, aku akan akan anggep jika “fans” adalah orang yang notabene selalu punya alasan buat kritik tentang kehidupanku. Notif ya, keritik yang larinya ke hal-hal yang gak pernah dia terima tentangku.

Akan selalu saja ada seseorang yang ingin mengomentari kita baik dari cara berpakaian, berprilaku, berlenggang ataupun cara kita tidur sekali pun. Selama kita hidup, kita gak akan lepas dari yang namanya “fans”. Mungkin karena pemikiran seperti itu, jadi aku masih bisa slow kalau ada seseorang yang kepo tentang kehidupan yang sedang aku jalani sampai saat ini. Bakalan ada orang yang teramat sangat ingin tahu tentang kita, baik yang sengaja kita nampakan atau sampai hal yang sudah kututup rapat tapi masih aja ketahuan juga, hukum alam gak sih ini namanya? , So Ottoke?  

Fiuuuhhh......

Kerap kali aku dapat fans yang sampai pada tahap yang dia memeluk dengan sangat erat, menjadi pendengar yang baik, sesekali saran dia share dengan nada perduli dan aku pun dengan polos percaya .Lalu berpikir “kok ada sih orang baik macam ini” eh gak lama setelah itu tiba-tiba pergi dengan banyak drama yang di suguhkan. Gedek banget kan yaa. Tapi mau gimana lagi itulah karakter seorang “fans” yang sangat natural bangkeknya.

Jadinya cara yang aku lakukan untuk menghadapi orang seperti itu adalah cukup doakan umurnya panjang biar ada kesempatan buat dirinya tobat, buat bisa perbaiki kelakukannya (Gak beneran jahat kan akoe ?). Lanjut, lain lagi dengan orang yang gak ngerti apa-apa tapi ikut berkomentar dengan pedasnya macam lombok ijo yang ranum dan pas banget di kunyah sama tahu isi, so Push away apapun omongannya gak usah di pikir sampai sedemikian rupa, karena yang paham kita adalah diri kita sendiri. 

 

Cerpen Tentang Arashi - Kumat Lagi

Assalammulaikum, akhirnya Tentang Arashi muncul lagi di permukaan. Setelah vakum setelah berbulan-bulan. Apalagi penyebabnya kalau gak kerjaan dan kemalasan yang sudah anteng hinggap di diri. yuks dibaca lagi. semoga masih interest ya.. 

 “Assalammualaikum..”

“Walaikumsalam, Sini makan dulu temenin bunda” Ajak bunda yang mengetahui aku akan menaiki anak tangga. Aku langsung menuju meja makan dan duduk disamping bunda. Lalu meraih satu piring nasi serta lauk pauk yang sudah Bunda siapakan diatas meja makan dengan muka masam.

“kok kelihatan ada yang aneh ya, sama mukanya anak bunda ini”

“aneh? Ada jerawat dimukaku Bun?” mendengar bunda berbicara demikian, buru-buru aku menyentuh wajah

“ya enggak gitu, kamu masuk rumah senyam senyum sendiri gak kayak kemarin flat banget mukanya. Udah baikan sama Aras?” tanya bunda penasaran.

“enggak ada apa-apa kok. Bintang mah fine-fine aja. Seperti kemarin kan, perasaan bunda aja kali ya”  jawabku sambil terkekeh

Emang benar ya, sense emak itu tajem banget. Tau aja kalau anaknya lagi girang kayak gini. Atau jangan-jangan si Bunda jadi stalker ku selama dikampus ya.

Bunda berdecak, mungkin karena sudah hapal dengan sifatku jadinya ya jawaban yang tadi hanya dianggap angin lalu “ Oh ya, nanti keluarganya Aras mau kesini”

Oke, biji mata akan lepas, ada angin apa sampai orang tuanya Aras mau kesini. Ulang tahunku bukan hari ini, Bunda udah lewat, apalagi Ayah. Terus mau ngapain kesini. Jangan-jangan bahas pertunanganku dengan Aras Alhamdulillah Gas terusssss

“Hei... malah bengong” ucap Bunda sambil menyindir lenganku otomatis ayam yang awalnya akan masuk mulut singgah di pipi

“ Duh bun! Bintang belopotan nih, Lah terus emang ngapain bun kesini, mau ngelamar aku ya” tanyaku dengan PD to the max sembari elus elus pipi mulus dengan tisu

“Bintang...  kamu masih fresh masuk Universitas udah mikir tunangan. Mau diketok apa ya itu kepala. Sekolah yang bener. Dapat nilai bagus, lalu kerja. Kok ya yang dipikir tunangan” Celoteh Bunda seperti rel kereta api.

“ya kan, Bun. Kali aja ortunya Aras mau kesini karena mereka sadar , kalau Bintang ini mantu idaman yang gak bisa dibiarkan terlalu lama pacaran sama Aras nanti akan jadi fitnah” kataku dengan santainya. Oke Bintang tahan nafas sebentar, Bunda akan lebih ngegas lagi habis ini. Calm down

“SEKOLAH YANG BENER YA. NAK!!. Orang tuanya Aras kesini karena mau ngasih undangan buat kakaknya Aras yang mau menikah. Kak Tia, sekalian ngajak ngobrol catering makanan yang mereka pesan di Bunda buat walimah an nya “ jelas bunda sejelas-jelasnya. Oke. Kan bener, saatnya duduk manis dan makan dengan lahap.

“tadi kamu pulang dianter Aras, kalian udah baikkan dan balikan?”

 “Ralat bun. Bintang gak ada hal yang ngebuat kita balikan karena kita baik-baik aja sedari dulu ya”

Bunda sudah mulai kepo urusan anak muda. Padahal dulunya cuek bebek macam aku ini anak tiri. Tapi ya kali ya, soal asmara anaknya doi gak mau kelewatan barang semenit doang.

“ohh, jadi gitu, terus kemarin diem-dieman sampai mingguan itu ada apa?, Bintang ya, kalau bunda tanya jawabnya selalu nyebelin” Gerutu bunda.

“hahaha, itu ujiannya orang tua, Bun. Udah ah, Bintang udah kenyang, makanan bunda selalu enak dan berhasil ngebuat Bintang ngantuk mendadak. Apa jangan-jangan ada obat tidurnya?? . Bintang keatas dulu ya” Pamitku dengan kecupan manis di pipi bunda, dari jauh aku bisa melihat kalau Bunda berdecak kesal dengan anak semata wayangnya ini

Ambruk di ranjang, aku segera memeriksa hp yang ada di dalam tas. Selama satu meja makan, Ayah punya aturan no hp on the table, dan itu jadi junjungan banget.  Benar saja, ketika hp adem ayem di tas, sudah  ada  5 chat dan 4 panggilan dari Aras yang urgent banget kayaknya. Gak deng chat receh sebenernya . Info kalau dia udah ada dirumah, trus tanya lagi ngapain dan bla bla. Ceileh dia kasmaran lagi rasanya. Gak papa sih, dia kayak gitu rasanya kangen 2 minggu  kemarin no kabar terobati. sudah Apalagi yang tadi siang. Oke tenang Bintang, atur nafas lalu hembuskan dengan benar. Saatnya bales pesan singkat dan pamitan tidur.  Ketik “aku mau tidur, sayang!” 

Ketik pake kata sayang!, what Bintang pake kata Sayang cieleeh, bener-bener nih ya, konslet nih otak jadi ngetik sok romantis ke pacar.

Oke,

Pesan singkat yang menurutku itu cuek banget. nyebelin loh ya, bukannya tadi chat beruntut itu tanda khawatir, udah deg-deg ser nunggu jawaban. Lalu Aras Cuma bilang oke. Baiklah mending tidur. BODO AMAT- lah sama balasan chatnya dia. Aku lagi proses sebal.

***

Melirik jam beker diatas nakas samping ranjang, sudah pukul setengah 5, oh ya belum sholat ashar. Pas Waktu akan turun tangga, aku dengar suara remang-remang orang ngobrol, waktu noleh ke pinggir tangga, disana sudah ada keluarganya Om Ryan dan Tante Mia, Aras juga datang kesini. Dan Teng! , Aras langsung noleh ke atas dan well kita tatap-tatapan indah seperti sinetron. Samar-samat aku mendengar dia pamit dan berajalan menaikki anak tangga. Aku mundur perlahan supaya tak ada yang tahu aku menguping pembicaraan dari atas.

“mau ngapain ke atas” tegurku saat Aras sudah di anak tangga paling ujung

“Disuruh bunda naik ke atas”

“lah bunda ngizinin emang? Apa jangan-jangan kamu pamit kemana tapi melenceng ke kamarku, ya kan. Ngaku?” Aku berasa introgasi maling yang sedang ketangkep basah. Ditambah dengan muka Aras yang mengatakan kalau dia sedang sebal dengan kalimatku barusan.  Matanya membola siap untuk ditendang ke arah gawang. Tapi tetap, gantengnya gak pernah ilang. Aku mundur seketika, jaga-jaga kalau doski maju lalu melintir ini kepala kayak biasanya.

 Maju perlangkah “Bundamu yang nyuruh aku ke atas buat ambil katalog, kamu itu ahh, negatif thingking mulu. Kamu bangun tidur? Mandi gih, sholat!!” perintahnya lalu melewatiku dan berjalan menuju lemari disamping kamar bunda dan ayah, setelah itu dia langsung turun ke ruang tamu

Kembali melewatiku lagi, dia dengan nada sedikit keras meledek “ mandilah, baumu sudah tak bisa tertolong, ilernya yang di pipi tolong di bersihkan” spontan, aku memeriksa pipi yang ditunjuk Aras, rasanya ada yang aneh, lebih baik kabur kedalam kamar untuk bebenah. Aras kampret tadi udah baikkan sekarang usil lagi. Untung saja perasaan sayang tak bisa hilang dengan gampang.

“Bintang..” Sapa Dira dari kantin saat aku akan masuk ke gedung Fisip. Dia mengayunkan tangan pertanda mengajakku untuk join bersamanya. Melihat jam di tangan masih ada spare waktu 20 menit untuk masuk kelas. Jadi aku putuskan untuk menuju ke tempatnya duduk , tapi langkahku terhenti seketika ketika sesosok muncul dan meletakkan sepiring nasi goreng di depan Dira. Oh shit! Itu Gito.

“woy.. bintang sini!” tegur Dira, dan membuat Gito menoleh ke arahku. Kalau Aras tau bisa jadi perang dunia nih

“yaelah sini aja napa, gue gak gigit kok” ajak Gito

Oke, anggep aja gak sengaja ketemu Gito. Kan niatnya ketemu Dira ya. Baru aja mau duduk Gito udah nyari gara-gara dengan mepetin kursinya.

“minggir!!, kumannya banyak”sergahku padanya

“yee.. ini kan tempat duduk gue, lu sana yang minggir”

Aku hanya berdecak, sumpah Gito nyebelin.

“udah.. udah ... kalian ini apaan sih, duduk dengan tenang plis jangan washing time dong guys” Dira mencoba menengahi. “Bintang lo mau makan apa ? “

“enggak makaasih, gue udah makan tadi dirumah”

“jangan-jangan elo lagi diet ya, Bi . udah kalau gemuk, ya gemuk aja” timpal Gito yang udah siap aku lempar bom. Emana gitu manusia planet emang harus di binasakan dari depan mata.

“bacot diem” suaraku lirih tapi tajem buat didengar Gito

“bodyguard lo mana. Bi. Biasanya dia nempel kayak lem sama lo.  Kalian putus ya? Alhamdulillah”

Gue ngelirik Gito tajam “its not your bussines”

Dira pun sadar, dia paham kalau Gito ini udah kayak sampah terutama omongannya “udahlah, To gak usah nyari gara-gara. Makanlah sana”

“beneran gak makan, Bi . Atau join sama gue aja nih” Dira menyodorkan sesuap nasi goreng ke mulutku

Aku menolak halus. Sebenarnya aku belum makan, ya iyalah Aras jemputnya terlalu pagi. Bunda lagi keluar ke pasar buat belanja tasyakurannya kak Tia. Aras masuk pagi yang Cuma selisih 1 jam dengan jam kuliahku, jadinya aku di jemput pagi. Lapar sih, tapi satu meja sama Gito udah kesalahan, gak boleh lama-lama nanti ada netizen yang nyinyir lalu laporan ke Aras bisa bahaya. Bakalan ada perang fakultas nanti.  

“lo.. kenapa pilih Dika, dari sederet cowok yang ngedeketin lo, termasuk gue yang lebih kece ketimbang dia” Gito berkata dengan enteng sembari mengunyah nasi goreng.

Aku tertegun dengan omongan Gito, ya sebelumnya dia pernah sih ngomong dulu. Pas jaman sekolah, tapi enggak aku indahkan. Ya kan aku udah kesemsem sama Aras, no bodies not falling in love with him. Dia baik, ganteng, ramah, pinter, anak basket, band, prestasinya udah tersounding di sekolah tetangga. Nah ini, gak apple to apple sama sekali sma Gito. Memilih melirik jijik ke Gito aku lebih baik gak ngegubris omongan dia.

“Dir, gue ke kelas dulu ya, mau make up an bentaran” pamitku

“ga usah make up an, muka lo udah jelek dari sononya, mau di apa-apain ya gitu-gitu aja” sambar Gito yang udah dapat pukulan kepala dari Dira. Alhamdulillah setidaknya kesalku terbayar dengan melihat Gito ngeringis kesakitan pegang kepalanya.

“iya, Bi ntar gue nyusul”

Samar-samar aku dengar Dira ngoceh ke Gito, mungkin ngasih ultimatum. Entahlah, aku lebih baik menuju kelas. Aku pernah bilangkan Gito itu dari face udah ganteng tapi kelakukannya kayak gak tahu aturan. Senggol sana senggol sini. Kan kisah sebelumnya dia sama Tia. Mungkin juga dia udah tidur sama Tia. Iya mungkin. Kan gitu terkenal suka ambil virgin anak orang. Entah gosip itu benar apa enggak, aku juga gak terlalu perduli. Tapi ya kok bisa dekat sama Dira, yang notabene anaknya baik, tegas dan kupikir dia gak bodoh buat tahu semua itu.

Sebuah pesan singkat masuk dengan nama pengirim Aras

“Bintang, km udah masuk kelas, ntar selesai kelas aku tunggu di kantin FE aja ya, ntar km nyusul”

Oke – send , singkat , padat dan jelas setelah itu aku kembali memasukkan ponsel ke tas dan menuju kelas.

***

-aku udah di tkp- pop up pesan muncul dilayar ponsel. Aku segera mengemasi buku dan menuju  fakultas ekonomi setelah dosen keluar ruangan.

“langsung kerja Dir?”  tanyaku pada Dira yang berjalan disampingku

“iya, gue langsung kerja, eh Bi. Maaf ya omongannya Gito yang tadi pagi”

“gpapa , gue tau kok, Gito omongannya sampah semua , hehe jadi gak pernah gue pikirin. Ya udah ati-ati ya”

Dira membalas dengan anggukan kemudian menuju parkir motor yang ada disebelah gedung Fisip. Sedangkan aku ke arah kanan yang bertolak belakang dengan jalan Dira untuk menuju fakultas Ekonomi.

Dari kejauhan, aku bisa melihat Aras yang sedang ngobrol dengan temannya. Tapi tunggu deh. Kok temannya itu gak asing ya, rasanya aku kenal, kayak orang yang aku temui tadi pagi. Dari jauh mereka ngobrolnya juga gak santai. Lebih tepatnya Aras kayak garang gitu.  Mungkin agak majuan aku ngeh siapa yang ngomong sama doski. Sumpah demi emak gue yang kalau masak enak gak ketulungan. Mereka itu Gito sama Aras. Tolong pisahkan mereka. Aku mempercepat langkah dan menghampiri mereka berdua.

“Arasss..”

Keduanya pun menoleh kearahku.

 

Cerpen Tentang Arashi - Baikkan

Maafkan ya pembaca yang budiman. Akibat kesibukkan yang juga menyita waktu berkencan di dunia maya. Cerpen tentang Arashi tertunda dari awal tahun. Aku syedih sungguhan. Tapi ini lagi berusaha mengejar ketertinggalan. Doain ya, part selanjutnya bisa lebih cepat dan segera ending biar bisa buat cerita mini selanjutnya.

Suasana menjadi canggung, kami duduk berdua di dalam mobil. Tentang keberadaan Tia, Aras memintanya untuk turun dan mengatakan akan berkunjung kesuatu tempat lain waktu. Di depanku dia masih berusaha mengatakan kalimat seperti itu. gak ada cewek yang marah kalau cowoknya masih aja ngebuka komunikasi sama cewek yang paling dicemburui.

Begitu aku mendengar kalimat Aras barusan, Emosiku sudah di ambang bata. Melirik keras Tia, lampir satu itu hanya mengangguk dan berjalan pergi dengan santainya. Tak lupa senyuman sinis ia sematkan padaku seolah dia tau apa yang akan terjadi.

 “masih mau jalan sama dia lagi?, mau kamu itu apa sih, Ras?” Bentakku padanya

 “Bintang, kamu salah paham?” 

 “pacar mana yang gak salah paham, ngeliat pasangannya lagi jalan berdua dengan cewek lain”

 “Bi, aku ada tugas kuliah dan..”

 “Dan kamu satu kelompok sama Tia, Basi tau, Ras!”  Nada bicaraku sudah meninggi namun berbeda dengan sikap Aras, dia masih terus berusaha tampak tenang.

 “kamu kok kayak anak kecil gini sih” kalimat Aras seolah menamparku, Bukannya kita sudah sepakat  untuk tidak menggunakan kalimat itu, hanya karena salah satu pasangan bertingkah. Bukan berarti itu tidak ada alasan dibaliknya. Sedangkan apa yang aku lakukan menurutku itu benar. Wajar jika aku cemburu padanya. Aku ini kekasihnya.

“Ras kalau kamu udah tau aku kayak anak kecil gini, kenapa masih cari masalah dengan jalan sama Tia. Kalau kamu anggep aku anak kecil, kenapa kita terus-terusan kayak gini dengan persoalan yang sama?” Bentakku padanya

Aras tau, jika baru saja dia sudah melukai dengan melontarkan kalimat itu. “maaf , Bi, aku gak maksud buat ngomong gitu”

Suasana menjadi hening kembali. Perdebatan kami berhenti. Sekarang kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Rasanya hubunganku dengan Aras akan selalu seperti ini. Aku percaya padanya, namun aku juga dikecewakan disaat yang sama.

“Bi, entah aku harus bilang berapa kali sama kamu, aku gak ada apa-apa dengan Tia. Kita hanya sebatas teman sekelas. Tolong percaya padaku, yaa?”  pintanya sembari memberikan tatapan hangat. Tanganya mengelus pipiku yang basah dengan airmata

“kalau itu terjadi antara aku dan Gito, apa kamu masih tetap diam aja?, kalau aku satu tim sama Gito, apa kamu gak masalah. Jujur ya, Ras aku ngehindarin Gito karena aku pikir itu bakalan ngebuat hati kamu sakit, aku pengen jaga perasaan pasanganku”

Aku meraih tangan Aras, kemudian melepaskannya pelan. Mungkin emosiku sudah hilang, tapi tidak dengan kecewaku. “Aku pulang sendiri” ucapku singkat, kemudian keluar dari mobil Aras.

***

Satu hal yang aku sadari dari peristiwa saat itu. Hubungan kami memang akan tetap seperti ini. Cemburuku tak pernah padam jika sesuatu tentang Aras kerap dikaitkan dengan Tia. Mungkin karena aku takut kehilangan Aras. Aku tak ingin terlihat menyedihkan. Tetapi hatiku sakit jika mengingat hal itu. Jatuh cinta itu saling menjaga, saling percaya. Jika jatuh cinta hanya bisa menghadiahi luka, untuk apa terus-terusan bersama. 

“kita Cuma teman, Bi. Jangan kamu berpikir macam-macam. Aku sayang sama kamu, Cuma kamu” ucapannya kala itu yang terniang-niang di pikiranku.

Setiap ingat kalimat itu, emosi kembali memuncak. Aku percaya Aras tak mungkin berkhianat, namun ketakutanku kehilangan orang yang aku cintai juga sering menghantui. Kuakui sejak hari itu, aku minta aras untuk tak mnghubungi ataupun menemuiku sementara waktu. Kupikir itu cara yang tepat untuk kami memahami keinginan masing-masing.

Dua minggu, Aras tak menghubungiku. Selama itu pun aku tak pernah melihat dia mondar-mandir di kampus. Mungkin dia memang menuruti keinginanku. Dia gak paham apa kalau aku ini kangen denganya. Rasanya aku ini terlalu cinta dengan dia, sedangkan dia gak sedikitpun kepikiran denganku. Basa-basi datang ke fakultasnya waktu itu, dan ketemu Bagas temen angkatannya,  aku baru tau kalau dia ada Study kampus di luar kota, gitu pun dia gak bilang ke aku. Maunya apa sih dia, apa dia  pengen putus dari aku?. Aras nyebelin

“Bintang. . . . . Bintang” suara yang gak asing lagi menurutku, dan ketika aku toleh, sudah ada tangan yang nangkring di pundak

 “aduh” 

 “Bintang. . . lo apa kabar?” tanya si monyet ini. Gak tau kenapa tangan laki yang gak lulus sensor ini tiba-tiba nomplok di bahu. Jika ada champion buat lomba SKSD disini, ni orang yang bakalan aku pilih sebagai pemenangnya. Gito si monyet tampan ini

 “Apaaan sih, To Sok SKSD Lo!, awas tangan lo, risih gue!”

 “Yaelah, ganas amat neng. Takut Dika cemburu Ye, yuk ke kelas bareng, hari ini kan lo sekelas sama gue” ajaknya 

 Omongan si monyet ini tak perlu di indahkan, emang bener ya. Manusia kardus ini resek.

 “meskipun gue, sekelas sama lo monyet kampus, gue ogah bareng” Sungutku padanya. Aku pernah bilang kan, gak perlu perduliin soal sungkan atau kudu  pake bahasa yang baik dan benar kalo ngomong sama dia mah, emang dia gak punya hati. Ngeloyor pergi dari dia, si Monyet malah ngintilin dari belakang bisa jadi karena emang kelas kita sama. Bodoh amatlah sampai dia teriak-teriak kayak orang gila.

Noleh kekanan saat mau masuk gedung fakultas, aku sempat melihat mobil Aras diparkiran FISIP, aku ingat benar dengan nomer polisinya. Kenapa dia parkir disini ya ? kan ini bukan fakultasnya.

 “Bi. . . . .jalannya jangan kenceng-kenceng dong, kayak di kejar anjing aja” gerutu Gito yang saat ini berada disampingku

 “iya, gue kayak dikejar anjing, kan elo anjingnya Minggir!!”

 Aku mengambil kursi yang sengaja pojok dan deket jendela, bukan apa-apa ya karena seger aja kena angin gitu. sSekalian biar Gito gak deket-deket kayak lem. Ngomong-ngomong lem, rasanya aku dan Aras dulu juga seperti itu. Cek sosmed berkali-kali gak ada pesan sekalipun dari dia. Kebangetan itu laki. Kalau hubungan kita justru ngebuat aku dan Aras makin jauh dan gak nyaman, aku lebih milih lepas dari dia dan kembali seperti semula. Buat apa ada kalimat sayang-sayangan kalau ternyata hubungan kita udah mulai hambar.

****

Seperti hari-hari sebelumnya, karena dua minggu ini Aras gak nongol dihapadapanku, aku sudah mulai terbiasa tanpa dia meski kadang kangen gak tau mau muncul tiba-tiba. Setidaknya aku sudah bisa menghilangkannya perlahan-lahan. Aku akui kalau aku cemburu setengah mati ke Tia, tapi emang wajar dong cemburu, Aras cowokku dan Tia sengaja mau ngedeketin Aras lagi. Dia sadar apa ya kalau Aras gak mau sama dia dan pilih aku. Dasar lampir sialan

Melewati parkir Fisip mobil Aras masih disana, aku jadi penasaran kenapa dia parkir sini dan kalaupun tujuannya ke aku, kenapa gak ngehubungi aku atau cari aku dikelas. Aku intip kaca mobilnya, bak maling yang lagi cari barang berharga di mobil-mobil kece, ya begitu sekarang posisiku.

“Bintang..” tepukan pundak mengagetkan posisiku yang lagi jelajahi mobil

 “Aras..”

 “Ngapain kamu celingukan kayak gitu? Cari aku?” tanyanya tanpa rasa bersalah. Ini anak perlu digibas atau gimana ya. Masa iya dia gak ada gitu kangen-kangennya sama aku atau sekedar basa-basi gitu, kan kita gak ketemu udah 2 minggu ini.

 “enggak… ngapain cari kamu” ucapku ngeloyor dari Aras. Bisa mati kutu kalau aku terus-terusan disitu

 “tunggu..tunggu, mau kemana sih” cegahnya

Nah.. gini kan enak, jadi ngerasa kalau aku itu di berati kalau pergi, Aras ihh.. kadang gak peka sekali. Oke posisi sok cuek  “Apaan sih!!, aku mau pulang”

“Bi… kita perlu ngomong, soal kapan hari” Tanpa persetujuan, Aras menarikku menaikki mobilnya. Dia membawaku ke taman yang tak jauh dari komplek perumahan. Kita hanya stay di dalam mobil tanpa bicara apapun.

“hmmm mau ngomong soal kapan hari, yang mana ya ?” sejujurnya ini kalimat begok maksimal yang terlontar dari bibir manisku, basa-basi ini mungkin perlu, dan salah satu cara melumerkan suasana diantara kami. Udah jelas-jelas aku inget bener, kita terakhir kali  ketemu di kampus dan itu dengan kondisi yang gak baik. Tapi aku luwes aja gitu tanya kalau dia bakal ngomongin soal apa.

“Bintang, aku sayang sama kamu.” Ucapnya pelan.

 “hmm terus?”

“kok ketus gitu ngomongnya?, kamu gak kangen aku? Aku aja setengah mati nahan kangen buat gak ketemu kamu”  Nada bicaranya seperti Aras yang aku kenal dulu. Kalem dan adem didengar telinga. Tapi balik lagi ngomong sayang, tapi 2 minggu gak ngasih kabar. Sayang apa woi!!

“kangen kok dua minggu gak ngasih kabar, itu kangen namanya ?, itu sayang ?” sindirku

“aku ada di pelosok Cimahi, dan gak ada sinyal. Aku coba hubungin kamu pake nomer lain, tapi gak kamu angkat”

Bener juga, beberapa hari lalu, ada panggilan lebih dari 10 misscall dari tanpa nomer, karena aku gak kenal , jadi aku biarkan. Siapa tau penipu yang mencoba melakukan hipnotis by phone, who’s knows?. Yaudah lah tetep pasang muka cuek. Pura-pura gak ngerti

“ya siapa suruh,kamu telp pakai nomer lain. kamu pasti paham kalau bukan nomer orang yang gak aku kenal, gak bakalan aku angkat” sanggahku

"jadi masih marah soal Tia nih?, Bi... kalau nomerku bisa ngehubungi kamu, ku ya telp pakai nomerku sendiri. Berhubung nomer itu gak ada sinyal, jadi aku pakai kartu lain" alibinya 

"Bi... . Aku harus jelasin berapa kali ke kamu, aku dan Tia itu cuma teman. Aku udah sering bilang gitu ke kamu kan, aku sama Tia gak pernah ada apa-apa, kita sebatas teman angkatan dan kerja kelompok, that’s it!. Gimana caranya aku ngeyakinin kamu kalau aku cuma sayang ke kamu, Bintang sayang” 

Aras tersenyum diakhir kalimatnya. Senyum ini yang bikin aku kadang meleleh kalau lagi debat sama dia. Tapi untunglah, karena hati masih panas, nama mak lampir disebut-sebut lagi, jadi aku bisa kontrol itu.

“Sekarang gini deh,Ras. Kalau kamu sayang sama aku, kamu gak bakalan ngilang tanpa kabar selama 2 minggu. Kamu gak ngabari aku selama itu, kamu kira enak nunggu kayak gitu. Kalau kamu minta kita udahan, ya ayok!” tantangku ke dia. Ops, kalimat terakhir diluar kendali. Ngelihat raut muka Aras, aku pikir dia cukup shock dengan kalimatku barusan.

“Bintang kamu ngomong apa sih!, gak ada putus-putus karena masalah sepele. Aku gak suka denger kamu gampang ngomong putus kayak gini. Kan aku juga udah jelasin kalau nomer aku gak ada sinyal” Aras menggelengkan kepalanya dengan ekspresi sebal.

“kamu anggep masalah Tia sepele, tapi bagi aku itu gak, dia bumerang dihubungan kita, Ras!. Aku gak suka kamu deket-deket sama dia. Sekarang aku yang balik, gimana kalau Gito deket sama aku, as a friend like you with her, how do you feel, Ras? , Sakit gak ngelihat orang yang kita sayang deket sama orang lain, yang jelas-jelas orang yang ngedeketin itu ada maksud lebih dari temen!!”  Mataku menyorot pas di matanya. Aku bisa membaca tatapannya iba padaku.

“kamu gak akan paham, Ras, kamu gak akan paham, gimana senggak sukanya aku sama Tia, bahkan aku benci dia deket kamu…Apa kalimatku barusan keterlaluan kalau aku gak suka sama dia. Kamu inget gak, aku semeja sama Gito kapan hari waktu dikantin, lalu kalian berdua buat keributan. Padahal dia hanya duduk didepanku dan itu ditempat umum. Kamu udah kayak kebakaran jenggot. Lalu aku harus gimana, Ras ngeliat Tia ngesenderin kepalanya di pundak kamu, bahkan satu mobil berdua sama kamu, apa itu gak kelewatan??” lagi-lagi aku nangis buat ungkap kayak gini. Jantungku bedegup kencang. Airmata udah kayak air terjun yang lagi kangen sama bumi. Deres banget jatuhnya

“sender apa sih, Bi. Aku gak..”

Aku mengeluarkan ponsel, dan menunjukkan gambar yang Tia upload di sosial medianya “apa ini bukan kamu? Jelasin apa orang yang di ada digambar ini bukan kamu?”

Aras melihat gambarnya. “ya ampun, Bi.. iya itu aku tapi…”

“nah kamu sendiri aja ngaku kalau itu digambar itu kamu, meski gak kelihatan mukanya, salah kah, Ras kalau aku cemburu? Temen model apa yang demper-dempet pacar orang kayak gitu?, kalau kamu anggep aku sebagai pacar kamu, kamu gak bakalan, Ras jalan berdua sama dia kayak kemarin. Itu yang kamu anggep sayang” Isakku padanya.

 “ngelihat kayak gini, ditambah omongan kamu yang nge iyain kalau orang digambar itu kamu, maklum gak kalau aku marah kayak gini? Coba posisiin diri kamu jadi aku, Ras!

Aras hanya diam menatap aku menangis, entah gak tau gimana muka aku sekarang, yang bisa aku pastikan maskara, blush on dan eyeliner yang aku pake pasti luntur dan gak karuan ngehias muka. Aku melempar pandangan keluar jendela, membuka kaca mobil untuk cari udara. Malu juga sebenernya muka udah kayak badut gini didepan Aras.

“sekarang kamu dengerin aku ya..” suaranya pelan, wajahku dihadapkan ke mukanya, tangannya menyeka airmata serta kosmetik yang udah luntur di pipi

"lihat ni, make upnya luntur semua, aku sayangnya Cuma sama kamu, aku juga gak paham kenapa ada foto itu. Aku inget bener, saat itu Tia, yang disebelahku tiba-tiba sandar di pundak, lalu aku usir, aku gak tau kalau dia ambil foto itu. Kalau kamu maunya aku ngejahuhin dia sejauh-jauhnya, aku bakalan lakuin. Maaf ya, Bi.. kalau aku bikin kamu kecewa kayak gini, aku bener-bener gak tau kalau kamu sampai sebenci itu dengan Tia”

Airmataku berhenti, lagi-lagi aku luluh dengan sikapnya. Tapi, tiba-tiba jantungku semakin dekat ngelihat Aras semakin mendekatkan wajahnya padaku dan hanya berjarak 5 senti. Apa dia mau nyosor ya, apa aku kudu merem ya, yaudah lah merem aja. Cukup lama merem, Aras malah gak ada kabar, pelan-pelan buka mata, ternyata dianya malah tersenyum jahil.

 “kamu merem kenapa, Bi?” Ringisnya puas

Mendengar kalimat itu aku gelagapan, “gak .. aku gak kenapa-kenapa, ayo pulang”  lalu membenarkan posisi duduk dan pandangan lurus kedepan. Melirik kesamping, Aras hanya tertawa senang. Duh… Aras ih, jadi malu sendiri kan. Tiba-tiba Aras menarik daguku dan sebuah kecupan kecil mendarat di bibir. Oke Fix. Jantung mau copot.

Cerpen Tentang Arashi - Konflik


Rasanya gak ada hari tenang saat ini antara aku dan Aras. akhir-akhir ini. Selalu saja ada konflik contohnya saja saat ini. Hubunganku dengan Aras merenggang akhir-akhir ini. Mungkin tak seperti dulu jika aku ada masalah dengannya aku akan mengindar, aku lebih memilih tak menjelaskan kenapa aku berubah acuh padanya. Kali ini, sesuai kesepakatan kami, apapun permasalahannya kami akan bicarakan. Setelah tahu Tia satu kampus dengan kami. Bahkan satu fakultas dengan Aras. Aku menggali informasi lebih. Entah Aras sengaja menutup-tutupi atau memang tak mau tahu, ternyata Tia tak pernah ada rasa dengan Gito. Mereka hanya bertahan 2 bulan. Dan peristiwa di mall beberapa waktu lalu adalah ending dari mereka berdua. Aku sebenarnya tak perduli meski hubungan mereka berakhir, hanya saja foto yang Tia posting dengan Aras meskipun tak tampak wajahnya membuat aku penasaran. 

Dan sialnya lagi Bagas, teman satu angkatan Aras pernah bilang jika Tia kerap sekali memper-memper ke Aras. Sebalku memuncak, Aras sama sekali tak pernah singgung soal Tia didepanku. Berkali-kali aku redam amarahku dengan berpikir positif Aras gak mungkin flirt, dia gak suka sama Tia. Namun, pikiran buruk selalu aja datang kala aku lihat postingan foto itu. Semuanya mengumpul dikepala dan akhirnya pikiran jelekku yang menang. Aras sengaja menutup-nutupi.
Hari ini Aras akan datang kerumah, katanya ada sesuatu yang perlu dijelaskan padaku. Kebetulan sekali aku juga mau sampaikan tentang ini. Semuanya mengusik pikiranku hingga aku tak senang sendiri. Jam 4 sore, Aras sudah mengabariku jika dirinya dalam perjalan kerumah. Kebetulan Bunda dan Ayah sedang ada acara kondangan jadinya aku dirumah sendirian. 

“Assalammualaikum”
“walaikumsalam” balasku yang tak beranjak dari sofa ruang tamu. Ketika kepala kutolehkan kebelakang sudah ada Aras yang masuk kedalam, karena memang sebelumnya aku berpesan untuk masuk saja dan menunggu di ruang tamu.
“sini duduk” aku menepuk tempat duduk sampingku dan bergeser
Aras memberikan senyumnya kemudian duduk disampingku. Kita saling pandang, pandangan Aras kali  ini sama sekali tak membuat aku terkesan dan dia pun paham.
“bunda mana?”
“bunda lagi ada arisan di komplek sebelah, bentar aku ambilin minum mau apa?” tawarku padanya.
“air putih dingin aja”
Aku meletakkan air putih dingin dan kue yang bunda buat tadi pagi diatas meja. Kami terdia sesaat. Lalu Aras menarik nafas panjang terus menghembuskannya pelan-pelan. Memanggil  namaku dengan nada rendah. Aku paham, dia ingin menyelesaikan masalah seminggu belakangan ini. Aku menunggu dia menyelesaikan apa yang terbesit dikepalanya.
“aku mau jelasin sesuatu, soal foto yang kamu ss waktu itu” jelasnya langsung ke inti permasalahan kami
“butuh waktu berhari-hari ya, jelasinnya?” sahutku sinis
“bukannya gitu, kan setelah kamu ngasih tau, aku langsung jelasin tapi kamu nolak itu. Kamu kayak gak mau dengar”
“kamu bohong Aras!, kamu bohong ke aku, itu masalahnya!”
“aku tau aku salah, tapi aku gak maksud bohongin kamu, Bi”
“gak maksud?” aku mengulang apa yang disampaikan Aras, memastikan jika ucapan Aras barusan adalah kesalahan
“aku gak maksud bohongin kamu, kalau aku cerita aku lagi sama dia, kamu pasti salah paham, ya kan?”
“sekarang lihat? Kamu gak cerita apa aku gak salah paham?!!”
“mangkannya itu aku mau jelasin semuanya, aku juga kaget kalau Tia satu angkatan denganku, kemarin dia muncul tiba-tiba dari belakang pas aku sama anak-anak yang lainnya lagi nongkrong di kantin, ku gak tau kalau dia ambil foto itu”
“bukannya kamu bilang dikelas!, kamu juga bohong soal itu?”
“aku dikelas tapi gak lama, karena dosennya cabut setelah ngasih soal. Aku gak ngehampiri kamu soalnya temen-temen minta aku nunggu bentaran dan Tia ada disana waktu itu”
“Ras, dalam sehari itu udah berapa kali kamu bohong. Kamu kayak kebakaran jenggot aku deket sama Gito, tapi kamu sendiri?!!!!”
“Bi, kok marah-marah gini sih, kan aku mau jelasin, aku minta maaf aku salah. Tapi sungguhan aku gak ada maksud kayak gitu” pintanya meraih tanganku, namun aku segera melepas paksa. Masih belum terima aku dengan apa yang baru saja dia jelaskan
Aku menatapnya dengan pandangan sebal “aku gak masalah kalau memang dia satu kelas sama kamu, aku percaya sama kamu, tapi kalau kamu udah bohong kayak gini dan gak jujur. Mana bisa aku percaya sama kamu lagi, Ras. Bukannya kamu bilang kalau kita harus saling terbuka?”
Aras menatap mataku lekat, rasanya cairan bening yang dari tadi tertahan meleleh membasahi pipi. Aku memang cenggeng tak bisa menahan hingga Aras pulang dari sini.
“aku minta maaf, Bintang” ucapnya penuh penyesalan. Wajahnya berubah sendu tak seperti tadi yang masih menyimpan amarah. Cowok itu menunduk, punggung tanganku berkali-kali ia usap. Matanya memandangku sayu. Mungkin dapat dikatakan aku luluh dengan sikapnya yang seperti ini

***
Sejak hari itu, aku minta Aras untuk tak mengusikku tentang Gito, kita sepakat untuk saling percaya. Sulit memang percaya pada orang yang telah membohongi kita dengan cara jitunya. Tapi tetap saja jika dihadapkan dengan perasaan, semuanya itu seolah menjadi angin lalu. Memilih untuk memaafkan dan memberikan kesempatan baru itulah cara yang kami pilih. Aku memberi kesempatan Aras untuk bisa merubah pemikirannya. Tak lagi posesif dan membiarkan aku berteman dengan siapa saja. Untuk masalah Tia dan Gito. Masing-masing dari kami sebisa mungkin menjaga jarak pada manusia aneh itu.
“nanti kamu pulang sendiri apa nunggu aku?” tanya Aras dalam mobil sebelum menurunkanku didepan fakultas
“aku pulang sendiri aja, kamu kan sampek sore. Kelasku Cuma sampek siang daripada gabut mending aku pulang”
“heem” angguknya sembari tangan kanannya mengelus puncak kepalaku.
“belajar yang bener, tolong kondisikan kalau sekarang udah punya pacar!!” tegasku padanya sebelum turun
“siap bos” ucapnya dengan memberi hormat yang kemudian di iringi tawa kami.
Langkahku ringan menuju kelas dilantai 2. Hari ini jadwal kuliah Public Speaking,  beruntungnya dosenku tak sekiller teori komunikasi.
“Bintang” tempukkan kudapat sebelum melangkah masuk kedalam kelas. 
“eh, Dira. Baru pulang kerja?” sapaku pada sesosok yang aku hapal betul selama kuliah disini. Dia hanya mengangguk, matanya terlihat seperti panda. Mungkin dia begadang setelah menyelesaikan pekerjaan paruh waktunya. Aku kagum dengan dia, aku yang saat ini masih bergantung pada orangtua. Sedangkan dia, sudah bisa menghidupi orang tua dan dua adiknya yang sedang sekolah.
“tugas udah selesai dikerjain?” tanyaku.
“udah kok”

Selesai kelas aku dan Dira menuju kantin kampus. Kebetulan hari ini dia Off kerja siang, tapi sore dia harus kembali di restoran. Anehnya satu perkerjaan libur, dia selalu punya kerjaan lainnya “lo gak capek apa, Ra’ kerja mulu?, setiap hari pula kerjanya, gak ada libur”
“kalau  gue merasa capek, keluarga gue gimana?. Haha. Kebetulan gue gak ngerti rasa capek itu definisinya apa yang jelas, gue ngerjain semuanya dengan senang hati kok” balasnya tanpa beban sekalipun.
“mau makan apa?”
“nasi goreng aja”
“tunggu disini aja, biar gue yang pesenin hitung-hitung gue traktir temen baru gue” pintaku padanya ketika dia akan bangkit dari kursi
“haha, oke”
Tak lama setelah itu, aku kembali membawa dua piring nasi goreng  dengan telur mata sapi sebagai penghias diatasnya. Tapi langkahku terhentik mendadak saat seseorang sedang asyik bercengkrama dengan Dira. Dunia emang sempit banget, kenapa juga ngelihat Dira lagi ngobrol seru sama Gito. Piring yang berisi nasi itu kuletakkan di atas meja. Keduanya menoleh
“Bi, kenalin ini temen SMP gue, Gito” ucap Dira. Rasanya Dira gak sadar kalau aku juga satu sekolah sama Gito.
“oo, lo temennya si wonder women  ini , Bi?” tanya Gito panggling
“iya, gue temennya” jawabku datar
“loh, kalian udah saling kenal?, dunia sempit banget ya, bisa ketemu dan satu fakultas disini”
Iya sempitt banget!
“kita satu sekolah pas SMA, kelas kita sebelahan, bahkan gue sempet naksir Bintang, tapi sayangnya dia nolak gue lalu pilih sahabatnya” jelas Gito
“ooooh, Bintang juga dari SMAN70” Dira mencoba memahami situasi saat ini
Mataku menyorot tajam ucapan Gito barusan. “gue gak suka sama Gito, karena Gito brengsek, Dir” ucapku tanpa pikir panjang
“ha?” tanya Dira tak mengerti, “lo brengsek ngapai, To’. Wah-wah lo ngehamilin anak orang?” tanya Dira penasaran
“sembarang bacotnya, tapi hampir sih. Haha”  balas Gito tanpa sungkan
Emang bener ya, kalau lagi ngomong sama kutu kucing kayak gini gak perlu terlalu dijaga, omongannya sampah semua
“gak lah, entah nih, Bintang nuduh gue brengsek tanpa bukti. Dosa lo Bintang kayak gitu” sungut Gito tak terima
“minggir kita mau makan, sumpek kalau banyak manusia dimeja ini”
Gito menggeleng-gelengkan kepala, sebelum beranjak pergi dia mengoyak-ngoyak Dira “gue pergi dulu ya, Won. Ntar singa betina ini ngaung kemana-mana ” pamit Gito itu pun pendapatkan cubitan  kecil dari Dira
“kalau ngomong ati-ati, ntar kecantol beneran”
Gito meringis kesakitan “gue udah ditolak sih” Jawab Gito, seperdetik kemudian tersenyum dan meninggalkan kami. Dahiku mengkerut mendengar panggilan Gito pada Dira. Won? Wonder Women?. Sedekat apa mereka ? aku jadi penasaran. Untuk pertama kalinya aku menghabiskan siang dengan Dira, yang awalnya makan siang berganti menjadi keseruan. Seharusnya aku sudah tiba dirumah tetapi karena keasyikan obrolan aku jadi lupa. Melirik jam tangan sudah pukul 4 sore. Akhirnya Dira berpamitan untuk segera mengerjakan pekerjaan paruh waktunya di restoran.
“gue pergi dulu ya, mau bareng gak?” ajaknya
“gak usah, gue mau ke FEB” 

Kami berjalan berlawanan arah, Dira keparkiran motor, sedangkan aku menuju fakultas Aras. Sengaja aku gak info Aras kalau aku bakalan pulang bareng dia. Karena ini serba dadakan jadinya aku menunggu di tempat nongkrong anak-anak FEB. Mataku melihat sekeliling gedung. Semuanya terlihat berbeda meskipun kami berada kampus yang sama. Untuk FEB , fakultas tersebut lebih terlihat rapi. Didominasi dengan warna oranye serta fakultas ini lebih luas dari pada tempatku.
Melirik jam sekali lagi, seharusnya para mahasiswa sudah keluar kelas. Karena aku tak tahu dimana kelas Aras, aku putuskan untuk menunggunya diparkiran. Setelah berkeliling mencari mobil Aras, aku menemukannya. Tak berapa lama kemudian aku melihat Aras berjalan kearah  parkiran. Karena saat ini aku ingin memberikan kejutan, aku bersembunyi dibalik pintu mobil dengan mengendap-endap. Alih-alih memberi kejutan, Justru aku yang diberinya surprise  karena seseorang yang tak kuharapakan kini ada dan berjalan disampingnya. Siapa lagi kalau bukan Tia si mak lampir licik yang punya segudang trick untuk dapat perhatian Aras. Ternyata mereka akan pergi berdua. Jadi ini kesempatan yang aku kasih disia-siain.
“tolong pegangin buku ini dong, gue mau ambil ponsel” ucap Tia menyodorkan binder merah pada Aras
Tanpa banyak bicara, Aras menurut apa yang diperintahkan Tia. Aku kecewa melihat pemandangan yang ada didepanku saat ini. Aku menunggu sampai mereka mendekat kearahku. Ketika Tia sudah duduk di jok mobil disamping kemudi, dan saat Aras baik di kursi kemudi dan akan menutup pintu mobil aku segera menahannya. Matanya membola menunjukkan betapa kagetnya dia ketika aku memergoki dirinya yang kini sedang satu mobil bersama Tia.
“Bintang!!
“mau kemana? Mau anter dia pulang” ucapku dengan menunjuk Tia yang sedang duduk di kursi sampingnya.