Assalammualaikum
pembaca budiman, bagaimana kabar kalian, fine kan ya ?.
“Kota Solo, kota
tempat kesenian asli,
tarian indah murni
irama yang mengiringi”.
Pernah dengar lirik
lagu keroncong Om Mus Mulyadi ini? Fix kalian generasi tahun 90-an. Hehe.
Siapa sih yang gak
tahu dengan kota kecil nan cantik di salah satu wilayah Jawa Tengah ini. Kota
kecil yang lekat dengan kesenian dan setuhan tradisionalnya. Kecil-kecil cabe
rawit ini namanya – Solo.
Beruntung sekali aku
berkesempatan tinggal di kota penuh budaya ini dan menjadi warga lokal walaupun
untuk sesaat. Dinas suami lagi-lagi membawaku merasakan pengalaman baru yang
seru entah itu wisata baru, kuliner baru ataupun penginapan baru. “Betah di
sana?” pertanyaan paling depan, padahal ya di sananya gak permanen, Hehe. jujurly betah-betah
aja, selagi tempat tersebut dekat mini market dan akses kemana-mana mudah, I’m
fine bahkan akan sangat betah karena gak kesulitan sekedar untuk
menemukan camilan.
Baca juga: Nongkrong Asyik di Tropical Coffee Surabaya
Bisa dikatakan
tinggal di Solo dan di Mojokerto tempat aku berdomisili sekarang sama saja. Loh
kok?. Iya ya, karena sama-sama di kota kecil, karena aku besar di kota Surabaya
yang notabene itu termasuk kota terbesar kedua di Indonesia, so kota
kecil di mana pun aku berpijak sekarang menurutku sama saja. Lagi nih, kalau
ada celotehan yang bilang coba hidup di pedesaan nah itu beda cerita yaa..
karena yang di maksud udah spesifik pedesaan, sedangkan yang aku bahas kota
kecilnya. Hehe.
Ditambah ternyata
untuk siang hari, Solo sama panasnya dengan di Mojokerto. Apakah kalian juga
merasakannya pembaca budiman, sama-sama cuaca siang yang terik cukup menyengat kulit.
Kelas Ekonomi Sancaka berasa Eksekutif
Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan online dan tugas rumah tangga. Berangkatlah menuju kota Solo dengan kereta Sancaka premium. Anyway gerbong Premium ini ternyata gerbong ekonomi versi kereta Sancaka, tapi pelayanannya oke. Gerbongnya gak seperti gerbong kereta ekonomi dhoho yang biasanya aku naikki, serius! Ya kali aja ada yang protes kenapa ngebandinginnya dengan kelas Ekonomi kereta murah. Ya karena kereta murah yang pernah aku tumpangi ya sejenis Dhoho, KRD, Sritanjung, Logawa, dan Jayanegera. Dari ketiganya tempat duduknya sama, bikin punggung kenceng. Hehe.
Nah Sancaka ini
berbeda, tampilannya lebih elegan. Tempat duduknya empuk dan bisa diatur mundur
setidaknya 120 derajat. Terdapat beberapa Layar TV di satu gerbong. Nggak takut
kepanasan juga karena sudah dilengkapi AC yang dinginnya menyebar di seluruh
gerbong. Setelah duduk di kursi yang aku pesan tak lama kereta mulai jalan.
Datanglah seorang pramugari kereta api untuk memberikan maske KN95 secara
gratis. Kupikir jalan kereta ini pelan karena aku sama sekali tidak merasakan
goncangan yang berarti Ketika duduk. Ternyata aku keliru, ketika masuk toilet
di dalam gerbong, kereta ini terasa sekali guncangannya, bahkan untuk duduk
aman di toilet aja badan ikut bergoyang. Haha kereta ini melaju begitu cepat,
aku tertipu.
Bisa dikatakan kereta
Sancaka tergolong kereta jarak jauh untuk kalangan menengah ke atas.
Tampilannya eksklusif serta harga tiketnya yang cukup lumayan. Perjalanan
Mojokerto-Solo Balapan dengan gerbong ekonomi premium di harga 125rb. Harga
tiket yang cukup lumayan dengan perjalanan 2,5 jam. Tapi mungkin alasan
tersebut juga mendasari PT KAI memberikan pelayanan yang maksimal kepada
para penumpang. Oke Worth it!.
Ini merupakan
perjalanan jarak jauh pertama kali sendirian setelah beberapa tahun terakhir
vakum akibat virus Corona. Tanpa Mas bojo yang biasanya selalu duduk di
samping. Bisa nih nanti upload story dengan based suara
kereta. Hehe.
Setibanya di Stasiun
Solo Balapan, tujuan pertama adalah menghampiri penginapan Mas Bojo. Perjalanan
cukup singkat dari stasiun ke hotel tempat Mas Bojo menginap.
Hanya butuh waktu kurang dari 10 menit aku sudah tiba di hotel.
Hotel Mewah Tengah Kota Solo
Setibanya di
Hotel Solia Yosodipuro Hotel Solo, tempat di mana Mas Bojo menginap. Tampilannya sangat apik. Hotel klasik
yang comfortable. Hotel Solo yang menurutku
aman nyaman dan harganya relatif murah ini sangat memperhatikan ciri khas jawa
tengahnya. Karena terkenal dengan provinsi yang kental sekali dengan budaya
jawa, di hotel ini banyak memiliki kesan heritage yang bisa di temukan baik
dari pertama kali masuk hotel ataupun di kamar.
Perihal rating, setelah aku cek, di Traveloka score-nya gak kaleng-kaleng, hotel bintang 3 ini mendapatkan rating 8,5/10, sedangkan di
Agoda 8.9/10. Banyak yang mengatakan jika hotel tersebut memiliki pelayanan
yang sangat memuaskan. Ternyata benar dong. Hampir seminggu di sini tidak ada
keluhan yang berarti. Kamar selalu bersih, sarapan buffet selalu
menggugah selera, pendopo yang asik untuk di jadikan tempat nongkrong, kolam
renang bersih. Pelayanan maskimal, Top deh.
Lalu kemana aja
selama di Solo?. Hari pertama aku hanya mengabiskan waktu di hotel untuk
istirahat sembari menunggu kedatangan mas bojo dari dinasnya. Di hari
kedua aku memilih jalan-jalan sekitar hotel. Dalam perjalanan menuju
hotel, aku sempat menemukan tempat bersejarah di dunia jurnalistik
yakni Museum Pers Nasional Surakarta, jadi aku memilih mengunjungi tempat
tersebut. Alih-alih mengunjungi tempat yang jauh yang saat itu aku tak tau
mana dan dimana, aku lebih memilih berwisata di tempat terdekat dari hotel.
Jaraknya hanya 7 menit dengan jalan kaki.
Kebetulan saat itu
sedang diadakan pameran foto internasional "Padma Candrageni" dengan
tema yang di usung seputar gunung Merapi dan candi Borobudur. Semua foto yang
terpajang di sana menarik untuk di abadikan. Sampai pada akhirnya alur
pameran tersebut membawaku tiba aku di ruang perpustakaan museum, kurang lebih
2 jam aku habiskan di perpustaan tersebut sekadar untuk melihat koleksi buku
yang terpajang dan bermain handphone.
Lanjut, karena sudah
siang dan waktunya makan, aku membeli makanan sekitar museum dan berencana
untuk memakannya di kamar hotel. Mungkin setiap kota memiliki penyajian ataupun
untuk penyebutan makanan berbeda-beda ya. Fun fact!, aku
mencoba membeli gado-gado di pinggir jalan. Nah yang menarik, bumbu gado-gado
ini ternyata menggunakan bumbu pecel. Setauku, bumbu gado-gado itu memang
dasarnya dari bumbu pecel dengan tambahan kentang dan santan kelapa, sehingga
rasanya gurih. Nah yang aku dapatkan ini literally bumbu
pecel, kalian pernah gak sih mengalami hal demikian pembaca budiman? atau
memang setiap kota bumbu masakannya beda-beda ya? hehe, yuk share gado-gado di
kota kalian bumbunya seperti apa.
Di dekat museum
tepatnya di penghujung jalan Gajah Mada, terdapat taman kecil, taman Ngesus
Punggawan namanya. Seperti taman kota yang di bangun untuk penghijauan jalan. Selama
di sana aku sering menemukan, jika taman tersebut di gunakan oleh bapak-bapak
becak untuk ngaso (istirahat) sambil menunggu customer.
Lanjut untuk kuliner
di malam harinya, aku dan mas mojo memilih untuk mencoba mencari disekitar
hotel saja karena memang malas untuk bepergian jauh. Banyak berjejer warung
pinggir jalan yang mulai di buka di sore hari. Ada satu warung makan yang
selalu rame sejak aku datang di Solo, namanya soto daging sapi Bu Hadi 2, aku
dan mas bojo berencana mencobanya. Ternyata sejenis makanan dengan wadah
mangkok ayam jago yang berisi soto bening dengan sayur kecambah sebagai
topingnya, untuk lauknya bisa diganti namun harganya juga bervariasi. Enak sih,
tapi menurutku porsinya kurang. Maklum doyan makan nih.
Anyway untuk
harga makananya di sini ternyata hampir sama dengan di Mojokerto ataupun
Surabaya ya, pricy menurutku. Hehe. UMR kota solo termasuk kecil,
tapi kenapa biaya hidupnya mayan tinggi ya. Ini berdasarkan survey di setiap
malam aku mencari makan di luar hotel. Harganya 11-12 dengan tempat makan yang
aku datangi di kota besar. Mungkin karena kenaikkan BBM kali ya, jadi
berpengaruh di seluruh aspek kehidupan di sini. Atau emang aku yang keliru
berkunjung ke warung makannya. Entahlah yang jelas, mayan juga sih harga-harga
makanan di sana.
Selain dengan niat
yang kuat menyusul Mas Bojo di Solo, aku juga berencana untuk jalan-jalan di
Jogjakarta dengan adikku. Nah fungsi adek di sini, sebagai partner jalan-jalan
kalau mau kemana pun, hitung-hitung sebagai pengganti Mas Bojo karena doi sibuk
mencari nafkah. Hehe. So, terplotlah jadwal untuk adek datang menyusul di hari
ketiga saat aku di Solo.
Aku dan adikku
memiliki planning trip ke Jogjakarta tanpa inap. Setidaknya
Jogja-Solo bisa di tempuh dalam waktu 1 jam dengan menggunakan KRL, lumayan
juga menghemat biaya yang seharusnya dari Mojokerto ke Jogjakarta, sekarang
jadi Solo – Jogjakarta. Hehe. Nah pengalaman pertama menggunakan KRL Solo-Jogja
ini sungguh membingungan. Aku harus naik turun tangga, belum lagi harus top up
E-Money, dan apabila menggunakan aplikasi, 1 aplikasi hanya bisa digunakan
untuk 1 orang penumpang. Boom! aku dan adikku panik. Tapi untuk cerita
jalan-jalan ke Jogja dengan menggunakan KRL ini akan aku ceritakan di judul
lainnya. Hehe
Kuliner di Kota Solo
Hari ketiga berada di Solo karena adiku sudah tiba, aku berancana melakukan wisata kuliner. Rekomen Mas Bojo aku wajib mencicipi makanan khas Solo-Selat Solo. Rencana awalnya, kami ingin makan di Viens yang menurut Gmaps tempatnya itu tak jauh dari Hotel membutuhkan waktu 15 menit dengan jalan kaki. Namun karena satu dan lain hal ternyata kami kesasar hingga berjalan 30 menit. Sebenarnya bukan benar-benar kesasar tapi lebih ke salah resto Viens aja. Haha. Harusnya yang kami datangi menuju Viens Pusat, tapi Gmaps yang aku klik justru ke Viens Lotte Grosir. Dodol banget kan. Haha. Karena aku dan adikku berekspetasi lebih enak di pusat. Alhasil kami memutuskan tidak masuk ke Viens Lotte Grosir dan lebih memilih order transportasi umum dari Viens Lotte Grosir ke Viens Pusat padahal posisinya kami sudah jalan 30 menit dan berada di depan Viens yang ada di lotte grosir. Sumpah ini beneran kegiatan nganggur hari itu. Haha
Setelah memesan
transportasi online, tibalah kami di Viens Pusat. Ngomong -ngomong selat Solo
ini semacam makanan berkuah yang berisi sayur wortel, buncis rebus dan selada,
ada pula potongan kentang goreng dengan toping daging dan telur ayam yang di
bacem lalu di guyur dengan saus dan mustard. Nah sausnya ini mantap!. Seperti
makanan yang rasanya pernah aku coba tapi entah itu apa, rasanya familiar.
Hehe. Aku pastikan perlu mencobanya lagi jika aku ke Solo.
Lanjut, hari terakhir
menginap. Nah dari sekian banyak hari, baru di hari terakhir aku bisa dengan
lega jalan dengan Mas Bojo yang gak membahas masalah kerjaanya. Aku memutuskan
untuk jalan-jalan ke Pura Mangkunegara di pagi hari sekitar pukurl 05.30.
Lokasi ini jaraknya lumayan dekat dari hotel kurang lebih 400 Meter. Kebetulan
di sana sedang ada event sepeda berlangsung. Digadang-gadang sebagai acara
terbesar di Solo. Untuk acara pelepasan peserta dilakukan oleh Gibran Rakabumi
selaku walikota Solo.
Selepas dari tempat
tersebut, karena kami berencana early check out karena
ingin mengunjungi pasar Klewer, pasar tradisional yang menjadi andalan warga
Solo. Berada di depan pintu masuk pasar Klewer, aku juga sempat
mengunjungi masjid Agung Surakarta. Saat itu juga Solo sedang mengadakan
acara tahunan yang disebut Sekaten Solo. Acara ini berlangsung selama 1 bulan
sayangnya hanya ramai ketika malam hari. Nah kebetulan saat itu aku harus
bergegas ke tempat oleh-oleh lalu kembali ke stasiun.
So, itulah pengalamanku selama beberapa hari di kota Solo. Mungkin gak banyak explore tempat karena memang terbatas waktu dan memang planing untuk jalan-jalan aku fokuskan ke Jogjakarta. Tapi tak masalah, setidaknya aku paham bagaimana kehidupan di kota kecil yang penuh budaya ini.