Topik Yang Harus Selesai Sebelum Menikah
Assalamu'alaikum pembaca budiman. Hari ini cuaca terasa panas ya? jangan sampe hati juga ikutan panas. Mari ngadem, berhenti di pos es kelapa muda pinggir jalan, nikmati dengan angin sepoi-sepoi, sambil ngrobrolin soal menikah yuk.
Menikah itu enak gak sih?, mungkin ada yang tanya? Enak but it hard like a roller coaster. Haha Aku juga pernah membahas sekilas di beberapa tulisan sebelumnya. entah kalian perhatikan apa enggak. marriage is not easy like people think.
Aku menikah di usia yang dapat dikatakan gak muda-muda amat. 28 itu tua enggak sih? Masih muda ya? belum terlalu tua juga kan. Hehe. Keputusan menikah juga sudah benar- benar matang dipikirkan. Sampai akhirnya i think that he is the one i needed
Sebelum ke arah menikah, aku harus melihat bibit, bobot, bebet calonku. Kok sampe segitunya, peritungan, banyak kriteria? Gak gitu ya Marni. Haha. Memiliki Kriteria untuk calon pasangan kita nantinya itu perlu.
Menikah is a serious thing, jadi harus cari yang benar-benar bisa membimbing, mengayomi, mendidik dan memberikan contoh yang baik. Menikah adalah ibadah seumur hidup, jadi bukan main-main. Wajib hukumnya kita punya Kriteria untuk calon pendamping for the rest of our life . Pastinya dibarengi dengan kita meng upgrade diri yaa. Gak asal pengen nikah, tapi diri gitu-gitu aja sedangkan kriteria terlalu tinggi untuk di terima nalar. Hehe
Baca juga : Kapan Kamu Menikah?
Dulu, ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, aku memiliki impian menikah di usia tidak lebih dari 25 tahun. Kalau menurut perhitunganku. Lulus sekolah 2010 melanjutkan kuliah dan akan lulus di tahun 2014, kemudian kerja 2 tahun dan menikah. Itu targetku jika mengikuti alur yang aku ciptakan. Tapi takdir Allah berkata lain, aku harus post pone keinginan kuliah selama 2 tahun setelah tidak menerima SNMPTN di tahun pertama dan karena kontrak kerja. Aku Kembali mendaftar kuliah di tahun 2012 dan lulus di tahun 2016.
Entah kenapa, setelah lulus kuliah aku mengurungkan niat untuk menikah. Padahal usia saat aku lulus itu 26 tahun. Selain belum menemukan jodoh, rencananya aku ingin fokus membangun karir dan dapat pergi kemanapun tanpa pamit yang rumit kecuali izin orang tua. Gitu! Emang kalau punya pacar harus pamit kemana-mana? Menurutku sih iya. Gitu gak sih kalian? Hehe
Lalu, di akhir Juni tahun 2018, aku berkenalan dengan seseorang bernama Dipasuta. Hasil dari perjodohan temen sekantor. Selama bertemu akhirnya kami membahas banyak hal, sampai di tahun 2019 kami memutuskan menikah. Cepat ya? kayak kejar tayang nih kayaknya. Hehe. Sejujurnya aku sangat-sangat insecure and not comfortable untuk berkenalan dengan cara perjodohan. aku takut. Takutnya, dia akan kecewa denganku, terutama kelakuanku yang sangat barbar (tidak menunjukkan wanita anggun. Hehe, mungkin kalau dia kenal sejak dulu dia akan ilfeel). Aku cukup rendah diri untuk mengakui jika aku pantas untuk siapapun. Serious im not into it makanya aku jomblo cukup lama. Haha
Entah kenapa dengan seorang Dipasuta ini, segalanya seperti dimudahkan semesta. Semuanya serba mendukung termasuk keluarga kami berdua tanpa ada kendala sedikit pun. Nah, dalam jangka waktu satu tahun dari kenal sampai dengan menikah. Mas Dipa menunjukkan keseriusannya, bahkan semua perkenalan antar orang tua, lamaran, balas omongan, itu semua di awal oleh idenya. Aku sungguh-sungguh santai, tidak nggoyo dengan pikiran harus menikah dengan cepat. Bukan berarti aku tidak serius dengannya. Aku nyaman, bahkan apa yang aku harapkan menjadi pasangan ya ada di dia. As a couple he treats me well, like a queen, but if we talk about marriage, i've to think twice. Kalaupun aku akan menikah, dia harus tau seluk beluk keluargaku bagaimana. Sedangkan aku masih maju mundur untuk menjelaskan latar belakangku seperti apa.
Setelah menjelaskannya pun, aku sempat mempersilahkan dia untuk menemukan seseorang yang lebih dariku. Yang mungkin tidak mempersulit hidupnya kelak. Aku akan legowo melepaskan tanpa kecewa sedikit pun. Drama ya? but thats consequence. Aku tak mau lelah di kemudian hari ataupun ada perdebatan setelah kami berada di titik paling serius, kami tak ingin berselisih tentang hal yang harusnya bisa diselesaikan di awal. Dia tidak berniat mundur, justru memberikan afirmasi yang baik. i.m touched.
Pembahasan pun berlanjut, meskipun seagama ada beberapa nilai yang harus kami clear kan di awal. Tentang bagaimana keyakinan begitupun denganku. Menyepakati tentang keyakinan masing-masing selesai, selanjutnya tentang do and dont's terkait dengan rumah tangga kelak. Alasan saya melakukan diskusi itu, sejujurnya didukung dengan banyak stereotip yang lekat di masyarakat. Setelah menjadi ibu rumah tangga ruang lingkup akan terbatas hanya akan berkutat dengan dapur, anak dan ranjang. Sedangkan menurutku, menjadi istri tidak harus dibatasi aktivitasnya, istri tetap bisa memiliki me time , karir dan segala pekerjaan rumah bisa di handle berdua. Takutnya dia tidak sepemahaman denganku terkait kehidupan pernikahan. Mungkin diskusi ini juga yang bisa kalian gunakan ketika kalian akan memutuskan untuk menikah.
Pekerjaan
i m not quit my job itu yang aku ungkapkan pertama kali saat mas bojo membahas bagaimana kehidupan pernikahan kami kelak. Aku tidak akan berhenti bekerja hanya karena aku menikah. Aku akan berhenti, jika ada masanya dia merasa mampu memenuhi kebutuhanku secara lahir dan batin. Dia sedikit terkejut, karena menurutnya apabila ingin berpenghasilan, seorang wanita itu tidak harus bekerja, dari rumah pun bisa bekerja dengan berwirausaha.
Aku menolak. Aku masih belum siap berwirausaha. Pasti butuh biaya dan persiapan matang untuk tidak merasa mental breakdown saat dagangan tidak laku. posisinya saat itu aku nyaman dengan pekerjaan yang sedang aku geluti. Sekali lagi aku tidak mau harus mengorbankan pekerjaan ketika aku harus bergelar istri. Menurutku itu tidak adil. Mengapa pria setelah menikah bisa tetap bekerja dan menjadi kepala rumah tangga, sedangkan ketika wanita menjadi istri, dia harus tinggal di rumah mengurus segala keperluan anggota rumah. Seolah menjadi istri tidak memiliki peluang untuk sukses meniti karir. Menjadi istri tidak serta merta harus melepaskan keinginannya untuk tetap berdikari and he accepted!, so aku tetap melanjutkan bekerja.
keuangan
Uang suami uang istri, uang istri tetap menjadi istri.
Pasti sering kan mendengar ungkapan seperti itu? awalnya emang seru ketika belum menemukan pasangan. Bisa berucap ngawur dan mengiyakan pernyataan itu, tapi ketika mendekati masa-masa akan berumah tangga, maindset pun aku ubah, aku tidak bercita-cita mengakuisi ekonomi bojo. Aku hanya mengingatkan mengenai kewajibannya apa saja terkait masalah nafkah which is dia pasti lebih paham.
Visi misi dalam mengatur keuangan harus mencapai mufakat sebelum kami menikah. i'm realistic sedikit banyak kasus perceraian yang terjadi atau pemicu keretakan rumah tangga dimulai dari ekonomi yang tidak transparan. Kami mengetahui tentang penghasilan kami sebelum menikah untuk apa saja sejauh ini, apakah memiliki tanggungan atau hutang dan sebagainya. seberapa sering membeli barang-barang, dan melakukan aktivitas liburan. make it clear
Saya enggak pernah memaksa mas bojo harus memberikan nominal tertentu penghasilannya. Yang penting dilaksanakan dan sesuai dengan kebutuhan kami. Nah mas bojo mempercayakan untuk aku yang mengatur keuangan rumah. Oke setuju.
Pekerjaan Rumah
Seperti yang aku katakan di awal, aku takut jika menjadi istri lingkup seorang wanita akan terbatas, hanya berkelutan dengan dapur, anak dan ranjang. pernah berkunjung dan ikut mengamati keluarga mas bojo yang mendukung pertanyataan tersebut, jadi tambah panik. Aku takut mas bojo menganimi hal tersebut. Meskipun pada kenyataanya, keluarga mas bojo sangat tidak merasa keberatan dengan pembagian pekerjaan rumah di tangan istri dan urusan nafkah adalah suami.
Menurutku pribadi, Jika semua tugas di menangani istri dengan pemahaman jika istri adalah sosok wanita yang notabene selalu menggunakan perasaan dalam segala hal, ya suami juga bisa menggunakan logika untuk memahami bagaimana pekerjaan itu diselesaikan. Jika suami mengatakan tidak bisa atau tidak sabar (tidak sabar), ya harusnya kesabaran itu menuntut.
Jika istri yang harus mengurus semua pekerjaan rumah like a slave, right? i dont want it.
Menikah bukan untuk menambah beban seorang wanita. Benar-benar Ya ! Sedangkan di masa kecilku. Ibu dan bapakku bekerja sama mengurus rumah. Mereka selalu bergantian meskipun sama-sama bekerja. Menurutku kehidupan rumah tangga seperti itu adalah impian.
Oleh sebab itu, aku mengutarakannya, walaupun aku menjadi istri pekerjaan rumah harus dibagi. Paling tidak, ketika kita sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tidak akan diperparah ketika tiba di rumah. Saling memahami dan bertanggung jawab pada rumah yang kami tempati.
Tempat tinggal
Setelah menikah aku tidak ingin tinggal dengan mertua ataupun dengan orang tuaku. Menurutku itu demi kebaikan dan untuk menjaga hubungan silaturahami tetap baik. Kalaupun masih belum ada rumah, kami bisa kos ataupun ngontrak untuk sementara waktu.
Alhamdulillah mas bojo setuju. Kami ingin mandiri mengatur rumah tangga yang akan dibangun nantinya. Jauh dari orang tua, tidak membuat kami khawatir karena sesekali kami akan bergantian berkunjung. Setidaknya sampai sini perspektif tentang tempat tinggal setelah menikah menemukan kejelasan.
Sex life
Terakhir, obrolan dengan mas bojo agak tabu, padahal kami belum menikah. Hehe. Karena ilmu kami hanya berdasarkan katanya dan artikel yang tersebar di mbah google, kami mulai menyamakan pendapat terkait sex life after married ini. Mula-mula ragu membahasnya. Menurut kalian sopan gak sih tanya “kamu masih perawan/ perjaka?” ke calon pasangan. Hehe. For me itu penting banget. Penekananya ini sekali lagi menurutku, nilai yang aku pegang teguh.
Aku sangat menjaga keperawanan sampai pada masanya aku menikah, beruntungnya itu juga yang mas bojo pegang. Sejujurnya kami sama-sama awam soal sex life but we try not to ignored kalau itu bahasan penting untuk rumah tangga kami nantinya.
Sekarang setelah kami menikah, semua diskusi diatas terlaksana dengan baik. Aku dan mas bojo menikmati moment tinggal berdua. Adapun perdebatan, hanya kami berdua yang tahu dan yang dapat menyelesaikannya tanpa campur tangan orang tua ataupun pihak lain. Kami menikmati waktu untuk tumbuh dan saling menyayangi satu sama lain.
baca juga: Q&A setelah Menikah
Semoga kita memiliki rumah tangga yang sesuai syariat Islam Sakinah, Mawaddah, Warahmah, entah apapun masalah yang akan datang dapat diselesaikan dengan baik, dan dijadikan sebagai pelajaran untuk kami terus berpikir ke depan. Nah, menikahlah apabila kalian pembaca merasa mampu, jangan lupa list dulu apa yang harus dibahas berdua sebelum tangan si pria berjabat tangan dengan pak penghulu. Karena setelah kata "sah" dan tiba-tiba menjadi pandangan tentang pernikahan, itu akan memicu koflik yang tiada habisnya. Semoga tidak yaa..
Uang suami uang istri, uang istri tetap menjadi istri tha'ts true..:D
BalasHapussudah sewajarnya dan ada juga dalam hadits suami wajib menafkahi istri dan uang istri bukan uang suami
soal interview about sex experience wajar saja ditanyakan secara personal sebelum memasuki jenjang pernikahan, cuma yaaa gitu sih ada yang jujur adakala yang terbuka tentang hal tersebut
btw nice share tentang topik yang harus selesai sebelum menikah, ditunggu komen backnya ya..makasih
menafkahi bukan mengakuisisi uang bojo. Hehe , tapi kalau di persilahkan untuk pegang ya masa istri mau nolak. Hehe.
Hapusemang topic virginity kadang kala sensitif banget ditanyakan, tapi aku yakin gak semuanya parno dengan pertanyaan itu dan gak semua juga akan bertanyaan akan hal itu.