Menyelami Rasa Lelaki

Duduk berdua di dalam satu mobil. Memutar lagu sendu yang ternyata membuat temanku bernostalgia dengan kekasih dari masa lalunya. Dia mulai membuka suara, dan cerita tentang cintanya yang sering aku dengar namun sebagian, kini ia mulai perbincangkan. Cintanya telah kandas, mungkin sudah beberapa waktu yang lalu. Sebab bosan yang tak bisa dia bendung. Perkara sederhana menjadi tak terduga dan berakhir dengan kata pisah.

Meski cintanya telah kandas. Kenangan yang dia ciptakan tak turut hilang seperti seseorang yang pernah ia sayang. Rindunya tak mati dan cintanya tetap bersemi. Dan dia baru sadar saat segelanya telah usai, jika perempuan yang telah menghabiskan lebih enam ratus hari bersamanya itu sangat ia cintai. Bahkan dari hal-hal receh yang tak terpikirkan sebelumnya.

Dia bercerita dengan sedikit menyunggingkan senyum, sekali matanya melirik seolah-olah menjelaskan padaku jika hatinya itu sungguh-sungguh. Setiap kalimat yang ia ucap, beberapa sengaja ia berikan penekanan. Mungkin luka hatinya sudah parah namun dia masih berpura-pura tak merasakan apa-apa. Mungkin juga, itu wujud penyesalannya sudah terlambat, dia sadar jika dia dan wanitanya dua orang yang keras kepala, tapi disaat-saat tertentu ada masa dimana salah satu memilih mengalah dan berdamai atas bedanya pemikiran. Dia bercerita secara rigit tentang kekasihnya dimasa lalu. Hingga pada saat kekasihnya pergi dan dia patah hati, kisahnya tetap hidup dan membuatnya semakin sadar cintanya tetap bertahan meskipun hanya dirasakan seorang.

Dia patah hati. Teman priaku ini sedang patah hati. Remahan hati telah dia buka satu persatu. Dia mulai terbuka tentang bagaimana kacau dunianya tanpa kekasihnya. Meski begitu, ia tak ingin harinya lumpuh karena masa lalu. waktu itu, aku Cuma menjadi pendengarnya. Tak ingin melibatkan pemilikiran tentang masa lalunya. Aku yakin, dia hanya ingin didengar tanpa meminta saran. Dia ingin dimengerti ketika tak seorangpun memahami bagaiman ia terluka.

Temanku ini, tipe orang yang humoris, tapi dibalik humornya terselip patahan dada yang tak bisa ia sembunyikan. Berkali-kali dia mendekat pada hati yang lain. Berharap terlupa dengan apa yang masih ada dipikiran. Hanya saja, orang baru itu tak  sepenuhnya ia tempatkan dalam hati. mula-mula ia bertutur maaf karena masa lalu kerap terucap tanpa sengaja, namun lama kelamaan namanya menjadi dominan dalam segala percakapan dan membuat hati baru menghindar pelan-pelan. Ah,temanku ini ternyata masih menyayangi masa lalunnya. Mau bagaimana pun hatinya masih merasakan hampa dan rindu pada seorang yang telah bersandang kenangan.

Perlahan kubuka suara, perihal lukanya aku tak berjanji ketika aku bicara tentang ini, rasanya hilang seketika. Cuman, karena aku seorang teman aku perlu memberikan dukungan. Entah itu memperbaiki yang pernah terputus atau untuk bahagia baru yang sedang ia cari. Hidupnya harus terus berjalan. Kelak jika terjadi hal sama dengan orang berbeda, mungkin saat itu dia harus lebih banyak sabar. Cara-cara yang pernah dia terapkan pada masa lalunya berkenaan dengan melepaskan, tak boleh gampang ia terapkan. Jangan lari dan mencoba temukan pelarian hingga membuat seseorang tersakiti- itu pesanku. Sebab, bahagia hanya terjadi  jika ia belajar tentang cara-cara bertahan dari jenuh, tak mengulang hal dari pendahulu meskipun titik bosan tak kenal letih menyerang hingga membuat keyakinannya tumbang.

Maaf Jika Tak Meminta Maaf Padamu

Baru-baru ini ada yang bikin resah. Sebuah puisi yang menyinggung SARA. Banyak muslim yang tak terima dan katakan saja, aku menjadi salah satunya. Menariknya, setelah puisi itu dibacakan lalu disorot berbagai media. Tentu pro dan kontra segera melekat padanya. Beberapa menyuarakan dengan bijak meskipun hati mereka marah, Namun diksi yang mereka gunakan sejuk untuk didengar bahkan kalimat yang tertuang terkait ketidakterimaan mereka sungguh enak dibaca. Seolah emosi mereka terselimut dengan sabar. Akan tetapi, beberapa orang mengatakan keberatan mereka dengan lantang dan keras. Seolah-olah menunjukkan jika puisi yang telah menjadi viral itu memiliki banyak sekali kecacatan di dalamnya. Terutama disampaikan oleh orang yang berpengaruh dan menjadi panutan banyak orang.

Bu – aku akan panggil engkau ibu, mungkin karena usiamu sejajar dengan usia ibuku. Ini adalah tanggapanku. Tanggapan atas puisi yang telah engkau bacakan kala itu. Entah, setelah ini, aku tergolong orang seperti apa di antara keduanya tadi. Sabar atau lantang dan tak berperasaan. Setidaknya dengarkan suaraku ini. Meskipun sekedarnya saja.

Baca Juga: Opiniku Untuk Ibu Pertiwi

Bu – Aku ini orang yang sama sepertimu atau bahkan lebih rendah pengetahuannya jika itu berkaitan dengan agama. Pengetahuanku masih sebatas tahu. Tentang syariat islam yang kau jadikan bandingan, aku juga masih belajar lebih dalam. Jika tanggapanku ini keliru, silahkan dibenahi. Semata-mata segala yang aku tulis ini dari lubuk hati.

Bu, harapan yang kau gadang-gadang untuk seseorang yang kau sebutkan melalui puisimu itu kurang tepat. Dalih meminta dia untuk lebih produktif, engkau justru terlihat primitif. Andai saja, setiap kata yang kau susun itu tepat untuk menunjukkan betapa bangganya kau padanya. Dan tidak menyinggung syariat agama yang aku yakini. Mungkin aku yang bodoh ini tidak turut berkomentar. Berkat silah lidahmu itu tentang adzan dan cadar, bisakan jika aku mengatakan kalau engkau telah kelewatan, bu?. Hingga banyak orang berduyun-duyun memprotes ciptaanmu itu.
Engkau bilang engkau tak tahu tentang syariat islam. Jika kau tak tahu, kenpa engkau berani berkata jika konde lebih cantik dari cadar. Lalu, engkau bandingkan suara kidung yang lebih merdu ketimbang adzan. Sungguh pernyataan itu menimbulkan kekecewaan bagi anak-anak bangsamu yang mengidolakan sesosok seperti engkau. Atas dasar apa ibu mengatakan demikian ?. Ilmu apa yang coba engkau ajarkan kepada kami, melalui puisimu itu. Jika ingin terlihat berkesan, apakah harus engkau melakukan perbandingan dengan syariat agama?
Sejak kecil aku sudah beragama islam. Katakanlah aku di doktrin jika itu terkait dengan keyakinan. Namun, menjelang remaja doktrin itu berubah menjadi sebuah hidayah dan aku menikmatinya. Meskipun begitu, ilmu agamaku masih kurang sehingga orang tuaku mengajikan diriku di sebuah surau kecil. Dari sana sedikit banyak aku mulai belajar tentang syariat islam. Perihal cadar yang dikenakan beberapa wanita, mulanya aku juga heran dan bertanya pada diri sendiri, kenapa mereka berpenampilan demikian. Mereka hanya menyisihkan satu garis di mata. Aku sempat takut bergumul dengan mereka. Tetapi, perlahan-lahan, aku mendapatkan pemahaman dari guru ngajiku. Bercadar tidak menunjukkan dia lebih mulia daripada kita. Derajat kita sama di mata Sang Maha Kuasa. Namun, dari mereka aku bisa belajar, perjalan untuk menggapai ridho Tuhan sangatlah beragam. Beberapa ulama mengatakan jika cadar itu wajib. Untuk melindungi maruah mereka sebagai wanita. Tetapi, beberapa mengatakan jika cadar tidak diwajibkan. Dari seluruh pendapat itu, aku dapat pastikan tidak ada di antara mereka yang mengatakan jika; wanita berkonde lebih indah daripada mengenakan cadar.

Perihal adzan, aku tak mengerti kenapa ibu, berkata jika gaungannya kalah dengan suara kidung. Apakah sedalam itu, ibu memaknai suara kidung?. Hingga engkau lupa jika adzanlah yang pertama kali kau dengar ketika engkau dilahirkan. Atau aku yang keliru perihal itu. Entahlah, semoga kekeliruanku dapat meringankan stigma buruk yang sudah terlanjur aku lekatkan padamu. Secara pasti, itu tak akan menghapus kekecewaanku padamu, Ibu.

Bu, puisimu itu melukai muslim dan muslimah. Kau pasti sadar jika saat ini, negara yang kau dan aku huni sedang gencar-gencarnya dilanda isu SARA. Kenapa kau perparah dengan puisi seperti itu?. Jika pun engkau mengaku khilaf dan memohon maaf sembari meneteskan beberapa butir airmata. Kami, yang juga sama sepertimu manusia biasa tentu akan memaafkannya. Semua orang pasti pernah berbuat salah. Hanya saja, dari tangisanmu itu, engkau meminta kami untuk melupa, itu satu perkara tersendiri yang sulit kami abaikan begitu saja.

Maaf, jika atas tanggapanku ini, aku tak meminta maaf padamu ibu. Aku harap kedepannya engkau lebih berhati-hati ketika berucap. Semoga dengan segala kejadian ini, ada hikmah yang mampu engkau petik pun dengan kami semua saat ini. Jika ada hal yang menurutmu belum engkau pahami pasti, terlebih menyoal syariat suatu keyakinan. Lebih baik engkau diam. Namun, jika mengharuskan engkau untuk bertutur di depan banyak orang, kuharap engkau bertanya dulu pada yang lebih paham.