Tanpamu Kurasa Aku Mampu!

Jatuh cinta tak serta merta harus lapang dada menerima seperti apa pasangan kita. Jika rasa itu mengarah pada hal yang serius, pernikahan misalnya. Tentu ada banyak pemikiran yang harus dibagi. Kebiasaan-kebiasaan apa yang tak harus dilakukan lagi. Bukan  tak menerima. Menikah itu soal kesepakatan. Jika kebiasaan itu hanya bisa menghancurkan bukankah lebih baik ditinggalkan?. Bukan memaksa untuk bertindak seperti pasangan inginkan. Tapi menghargai pasangan agar tak ada salah paham. Ditambah memastikan pasangan memiliki rasa nyaman melakukan hal-hal yang dapat diterima nalar

Satu porsi mie ayam yang masing-masing ada di hadapan kami siap untuk disantap. Rintik hujan menemani kami menghabiskan malam. Sembari menunggu reda, kami bertukar cerita tentang apa saja. Karir, keluarga ataupun hari bahagia lainnya. Aku pun tergelitik untuk tahu perkembangan hubungannya (FYI, bukan karena ingin ikut campur, tapi temanku ini teramat berharga kalau jatuh kepelukan ke orang yang salah). Semula aku hanya iseng bertanya bagaimana kondisi hatinya kini pasca 2 minggu tak bertemu. Sayangnya Dia memintaku untuk tak mengulas apapun perihal hati ataupun menyebut nama seseorang itu “you know who”. Baiklah aku tak permasalahkan. Toh selama dia dapat tersenyum puas sampai akhir we can enjoy our memorable moment no matters what!  Jadi saat itu, kita lebih memilih membicarakan karir masing-masing, tapi tiba-tiba nada bicaranya begitu berat. Pandangannya tak tentu. Mungkin karena mengingat kekasihnya  yang selalu saja berbuat ulah dan finally she speaks up about her truth feeling.

Bukannya dia tak cinta, hanya saja bersama justru membuatnya lebih terluka. Kekasihnya berbagi rasa  dengan orang yang tak bisa ia anggap itu orang biasa. Sayangnya dia tak bisa menyuruhnya berhenti. Bukan karena tak punya kuasa, tapi yang di cinta mengatakan hanya perasaan kasihan dengan sesama. Tak melibatkan perasaan tapi terus menerus berbagi kabar layaknya orang kasmaran. Sesama dengan model apa yang sedang dianutnya. Cinta yang pernah digadang-gadang temanku diawal, ternyata tak semanis perjalanannya hingga saat ini. Dia sadar tak ada yang mau mengalah diantara mereka berdua. Bahkan ketika dia berusaha mencegah pun, hanya akan berakhir dengan keadaan yang sama-sama marah.

Terlalu banyak kebohongan yang kekasihnya lakukan. Pun jika dibuat perkara hasilnya akan sia-sia. Seperti perkataanku sebelumnya, hanya akan berakhir dengan saling lempar salah. Kini dia malah terbiasa pura-pura buta. Lebih memilih untuk diam dan membiarkan entah seseorang itu layak disebut kekasih atau bukan untuk melakukan semaunya. Dia hanya ingin menjadi satu-satunya. Bukan kedua atau cadangan saat seseorang hanya ingin singgah sebentar. Namun sebelum itu, dia harus berjuang melawan rasa bersalahnya. Bersalah telah ada saat orang itu telah berpunya dan tak tau apa-apa setelah rasa yang namanya cinta berkembang dengan sempurna.

Aku hanya bisa menepuk pundaknya, berharap dia paham aku ada disampingnya. Mendengar setiap detail kisahnya dengan setia. Aku pernah berkata padanya jika kewaajibanku hanya memberi saran disertai pelukan jika diperlukan. Selebihnya aku akan mendukung keputusannya. Apapun itu. entah tetap dijalur bersama ataupun berpisah dengan cara yang berdarah-darah. Aku akan tetap disampingnya. Menemaninya dan tetap menjadi orang yang menyebalkan tapi selalu dirindukan.

Aku sangat lega. Jika keputusan dia untuk berada dijalan yang berbeda dengan kekasihnya saat ini adalah pilihan yang terbaik. Meskipun dia akan berjuang menyingkirkan rasa cinta yang masih bersemanyam didada. Mengingat ada banyak “kebaikan” yang pernah kekasihnya tebar tapi disertai dengan banyak kebohongan. Dia masih ingin bertahan dengan pendirian, berpisah sampai keduanya dipertemukan dengan kondisi yang sama-sama siap. Siap untuk menyongsong kehidupan yang lebih layak. Sedikit bocoran Kekasihnya memang pintar mencari celah untuk bisa menarik kembali temanku ini. Bukan karena temanku yang lemah, tapi karena temanku yang kelewat baik dimanfaakan stock unlimited forgiveness- nya.

Ada kata magic yang always she said again and again. setiap batinnya lelah mencela dan mengutuk rasa sayangnya; “tanpa dia, aku bisa!”. iya dan akhirnya aku tertawa terbahak-bahak. Bukan menghina. Tapi kalimat magic ini kadang hanya berlaku selama satu minggu. Dan akhirnya mereka kembali. Semoga kali ini tidak.

Terakhir, matanya menatapku dengan penuh kenyakinan. Dia justru memberiku banyak saran dari pengalamannya berhubungan. Salah satunya, selama pasanganku hanya menatapku, menganggap aku adalah dunianya, dan rela menjadikan aku yang pertama setelah keluarga maka aku diminta untuk mempertahankannya. Aku terkekeh mendengar ucapannya itu. seolah-olah apa yang dia sampaikan adalah harapan yang ia gantungkan agar aku tak seperti dirinya. Mungkin sebab itu aku tak bisa jauh-jauh darinya. Sekedar untuk saling sapa lewat sosial media saja kami sudah kecanduan.


“Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apa mungkin aku yang tak peka dan terlalu menuntut yang tak sepantasnya. Apa iya aku yang terlalu sering melukai hingga resah tak sekalipun berkeinginan sudah dan berakhir dengan kelopak mata yang basah”

Cinta Tak Sebercanda Itu

Rasanya ini pertama kali aku kencan berdua dengan temanku ini. Teman dari seorang teman. Hampir setahun penuh kita sering membuat janji, tapi bisa kita penuhi lantaran sibuk dengan urusan masing-masing. Dia dengan keluarga kecilnya sedangkan aku dengan pekerjaan baruku. Dan akhinya ketika aku iseng untuk meminta bertemu, dan kebetulan posisinya sedang libur  dari pekerjaannya. Kami pun sepakat untuk bertemu di salah satu restoran di pusat perbelanjaan yang ada di Surabaya.

Banyak hal sebenarnya yang telah kami bahas, termasuk urusan pribadi terkait masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Menariknya, dari sekian cerita yang kudengar, cerita tentang keluarga kecilnya yang mungkin ingin aku bagikan. Seperti biasa, aku tak akan menyebutkan namanya dan izin untuk membuat tulisan ini pun sudah aku miliki. Justru temanku dengan senang hati jika ceritanya yang ku posting ini mampu dijadikan inspirasi, motivasi ataupun referensi tentang keputusanku atau siapapun untuk membina keluarga. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk benar-benar berpikir jika rumah tangga adalah tempat belajar paling rumit namun tetap menyenangkan. Jangan hanya karena satu masalah kita jadi menyerah justru itu adalah waktu terbaik untuk kita belajar banyak hal yang tak pernah kita dapatkan di tempat manapun. 

Awalnya, aku hanya sekilas mendengar cerita tentang pasangannya. Ya, seseorang yang ia pilih untuk menemani sisa hidupnya kini. Kupikir segalanya baik-baik saja, oh tentu sampai sekarang baik-baik saja. Dia dan suaminya masih bersama. Hanya saja konflik yang dia alami cukup membuatku berpikir “Rumah tangga tak sebercanda itu”. Segala sesuatu yang diputuskan, tentunya tak ingin melahirkan kekecewaan ataupun penyesalan kemudian.

Temanku, wanita yang sangat cantik, bahkan lebih cantik sejak aku bertemu pertama kali dengannya. Mungkin karena keputusannya untuk berhijab sejak menikah. Dia sipit tapi memiliki sorot mata tajam, ditambah lagi dia pintar untuk berdandan. Di setiap cerita, senyumnya tak pernah enggan untuk sembunyi.

Kami menghabiskan waktu sepanjang siang. Tertawa terbahak bersama-sama, ataupun saling update story di sosial media masing-masing. Setelah obrolah ringan kami selesai, wajahnya berubah serius. Rasanya inilah topik utama untuk pertemuan kami. Sebelum membuka suara perihal keluarga kecilnya, ia sudah ber-ultimatum jika tak bisa menjamin air mata tak akan tumpah. Mendengarnya berkata seperti itu  aku masih membalas dengan nada bercanda harapanku, di pertemuan langkah kita ini tak ada air mata yang tumpah.

Dia mulai bercerita seperti apa kehidupan keluarga kecilnya yang telah ia lalui selama 2,5 tahun ini. Hubungan yang semula kupikir dijalani oleh dua orang dengan pemikiran dewasa itu baik-baik saja, ternyata tak seperti yang aku kira. Dari nada bicaranya dia cukup berat mengungkapkan apa yang sedang bergejolak dihatinya. Apa yang dia alami hingga saat ini. Meski begitu dalam pernikahannya itu masih ada sisi bahagia yang dia ceritakan dengan suara sedikit parau. IYA. DIA MASIH BISA BAHAGIA di tengah batinnya yang terluka.

Memilih untuk mengakhiri masa lajang dengan orang yang kita sayangi dan dia pun memiliki perasaan sama adalah impian. Begitu juga dengan dia. Aku masih ingat, pertemuan terakhir kali sebelum ia memutuskan untuk menikah. Dia menjelaskan jika seseorang yang akan meminangnya itu sesosok yang dewasa serta lembut. Sesuai dengan kriterianya. Kupikir dengan ia berkata seperti itu, pertemuan kami selanjutnya akan terasa menyenangkan. Ia akan bercerita tentang manisnya berumah tangga.

Dia Bercerita jika awal mula hubungan yang sudah sah itu berjalan sesuai dengan impiannya – Manis dan indah. Sifat dan pemikirannya masih sama seperti mereka berkomitmen untuk merajut kasih sebelum ke jenjang lebih. Sayangnya, itu hanya sementara, entah di usia pernikahan bulan keberapa, beberapa hal yang tak dia temukan di masa pacaran muncul ketika dia berumah tangga. Sebuah kebohongan, perkataan sarkas, tanggung jawab yang terbaikan, egois, kekanak-kanakan bahkan kekerasan.

Dia sangat sadar, ketika sudah memutuskan untuk menikah, sifat asli pasangan akan muncul. Namun, tak habis pikir hingga separah itu. Pertengkaran selalu ada. Hari tenang dalam rumah tangganya bahkan bisa ia sebutkan dalam hitungan jari. Aku percaya ketika dia mengatakan tak ingin menyesal dengan keputusannya memilih suaminya kini. Bagaimana pun, berumah tangga tak melulu akan dilalui dengan cara mudah. Ada kalanya kita benar-benar lelah dengan setiap masalah, ada kalanya ketika satu masalah belum selesai masih ada masalah lainnya.

Temanku ini wanita yang sangat ceria. Dengan nada bicara yang sedikit berlogat Bojonegoro dia masih sempat bilang jika rasa sayangnya tak pernah hilang, bahkan terus tumbuh seiring berjalannya waktu. Meski air matanya tak pernah benar-benar sudah saat mereka bersama. Tapi dia sangat bersyukur ketika ada masalah di hubungannya, dia memiliki teman-teman di lingkungan kerja yang sangat menghibur sehingga dia tak pernah merasakan benar-benar sendirian. Rasanya semesta selalu berkonspirasi dengan rasa dalam hidupnya.

Mendengar kisahnya, aku sangat gemas jika seorang wanita diperlakukan layaknya kepala keluarga, padahal pasangannya masih ada. Masih dalam keadaan sehat dan dapat berdiri dengan tegak. Sebagai temannya, aku hanya bisa memberikan dukungan serta pelukan hangat. Hebatnya, dia masih tegar dan mampu berdiri diatas kakinya sendiri sampai hari ini. Dia masih memupuk harap di setiap sujudnya, suatu saat akan ada perubahan dalam diri suaminya. Aku tau, aku tak memiliki kapasitas menjadi penasehat untuk urusan rumah tangga. Untuk saat ini, mungkin aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik untuk seluruh kisahnya. Aku percaya segala hal yang dia lalui kini akan mendapat balasan yang sangat indah nanti. Tak perduli sekacau apapun pasangannya saat ini, dia masih tetap setia di sampingnya, mendampingi, serta menyayangi hingga sepenuh hati.

Nanti Kalau Aku Jadi Pendampingmu

Nanti kalau aku jadi pendampingmu. Aku mohon perlakukan aku sebagaimana kamu memperlakukan aku seperti saat ini ya, penuh cinta dan kasih sayang. Aku senang karena aku merasa sangat dicintai dan takut ditinggal pergi. Beri aku kepercayaan tanpa batasan juga, sehingga kamu tak terkesan seperti pengekang. Aku janji aku tak akan mengecewakanmu atas kepercayaan yang kau berikan padaku.

Nanti kalau aku jadi pendampingmu. Aku mohon jujurlah padaku tentang apapun itu. Entah kamu yang sedang marah, kamu yang sedang kesal ataupun hal-hal kecil yang membuatmu merasa tak nyaman. Contohnya masakanku yang masih kurang. Aku siap dengan semuanya, karena aku ini masih belajar yang tak hanya ingin ada disaat-saat bahagiamu, tapi juga dukamu sehingga aku akan merasa menjadi orang yang kau butuhkan untuk menenangkan.

Nanti kalau aku jadi pendampingmu. Saat ada pertikaian kecil, aku mohon bersabar ya. Itu ujian untuk kita. Setiap masalah harus kita selesaikan dengan segera. Jangan merenggangkan ikatan apalagi kabur-kaburan dengan alasan ingin sendiri menenangkan pikiran. Aku mohon jangan begitu ya. Justru ketika kau pergi denga  cara seperti itu, kau malah membiasakan aku menyelesaikan perkara sendiri tanpa hadirmu. Apa-apa bisa kulakukan sendiri. Jadi aku bisa juga berpikiran kalau tanpamu kurasa aku masih mampu.

Nanti kalau aku jadi pendampingmu. Hal-hal yang berkaitan dengan masa lalumu dan masa laluku tolong biarkan ya. Biarkan itu jadi kenangan, jangan perdulikan yang sudah lewat. Kita fokus saja menata masa depan. Sebab, jika terlalu sibuk memperdebatkan yang sudah-sudah, kita hanya akan dapat lelah. Sedangkan perjalanan kita kedepannya masih butuh tenaga.  Cukup kita lalui segalanya sama-sama, susah senang berdua. Setuju kan?

 


Tak Pernah Bi(n)asa

Mengenalmu lebih dalam itu menyenangkan. Aku jadi tahu apa yang kau suka, kau benci dan sangat kau hindari. Mungkin juga ada saat kita bersitegang, ketika kita sama-sama berpendirian dan tak mau dikalahkan lalu akhirnya kita saling diam. Sibuk dengan arah pandangan masing-masing. Tak lama setelah itu kita kembali saling lempar senyum, menelaah kembali apa yang baru saja terjadi, begitu seterusnya.

Kau bilang, sejauh ini aku sudah banyak berubah yang dulunya kaku menjadi luluh. Dulu yang katamu aku keras kepala kini jadi serba mengalah. aku binggung jika kau berujar seperti itu, sedangkan menurutku, aku masih sama seperti pertama berjumpa. Tapi yasudahlah, toh aku tetap baik-baik saja dan merasa tak ada yang berubah.

Kau bilang, saat bersamaku waktu begitu cepat berlalu, tapi jika tak ada aku disampingmu waktu seolah enggan melaju. Kau bilang rindu selalu saja mengaduk-aduk perasaanmu, tak bisa kau taklukkan sedangkan waktu untuk kita bertemu harus menunggu hingga akhir pekan.

Kau bilang, aku wanita yang cukup unik, hanya mendengarkanku bercerita sudah membuatmu tertarik. Kau bilang berada didekatmu saja, kau bilang sudah merasa nyaman. Ada-ada saja kau ini, padahal segalanya itu seperti hal biasa yang juga kulakukan kepada siapapun juga. Mungkin karena menurutmu, apapun yang berada diriku adalah candu. Ahh, aku malu kan bercerita seolah-olah aku ini duniamu.

Untuk kesekian kalinya pun kau bilang sayang. Harus aku apakan kau ini, supaya kau sadar aku hanyalah orang biasa seperti lainnya. Aku juga sayang tapi juga punya kehidupan, tak melulu kau ada dipikiranku. Sayangnya untuk pernyataan ini kau tak sependapat denganku. Karena mungkin hal yang ku anggap biasa adalah alasan kenapa kau jatuh cinta.

Surat Untuk Kawanku

Untuk Seseorang yang beberapa waktu lalu sempat bersedih.

Waktu itu, sebelum memulai pembicaraan denganku, kau tampak begitu gelisah. Memulai kalimat pertama saja harus dimulai dengan beberapa pertanda yang akhirnya aku jadi paham jika kau sedang gundah gulana. Setelah itu aku tau jika dalam salah satu hubungan pertemananmu sedang ada masalah. Kau bercerita panjang lebar tentang temanmu yang tiba-tiba tak terbuka seperti biasanya. Kemudian hubunganmu merenggang dengan sendirinya. Padahal menurutmu, kau sudah mencoba mendekat sebelum jarak benar-benar menyekat. Sebelum sibuk menjadi alasan utama kalian tak besua.

Begini, ini hanya sekedar arahan, boleh kau perhatikan atau hanya kau anggap sebagai hiburan belaka. Kau tak perlu khawatir jika dalam berkawan, mengalami selisih paham atau renggang. Bapakku dulu pernah bilang – Jika berkawan tak perlu terlalu dekat, kadang yang dekat bisa saja menusuk dari belakang-. Memang tak seluruhnya kalimat itu benar. Namun kita bisa saja jadikan itu sebagai landasan jika berkawan tak perlu terlalu dalam.

Ada bagian-bagian yang memang harus kita beri jeda. Ada hal-hal yang memang tak perlu dibagikan ketika berkawan. Bukan berarti dalam berkawan kau tak percaya padanya. Hanya saja, biarkan hal-hal tersebut kau simpan sendiri. Berkawan tak melulu menceritakan diri kita ataupun pengalaman pribadi secara menyeluruh. Bukankah itu lebih baik untukmu. Aku pun juga begitu, ketika temanku menjauh, itu haknya. Biarkan dia melakukan hal dia suka meskipun tanpa aku sebagai temannya. Cukup mendukung apa yang dilakukan selama itu baik untuk kehidupannya.

Jika saat ini kau merenggang dengannya. Mungkin memang sudah waktunya kalian membutuhkan waktu sendiri. Bukannya juga dia tak mau terbuka, mungkin memang belum waktunya dia bercerita. Tunggulah dia  dengan sabar, mungkin nanti dia akan sadar jika dirimu merindukan dia, karena sebagian umurnya dihabiskan bersamamu, kawannya.

Sudah jangan gundah seperti itu, nanti cantikmu hilang. Sementara ini bersamalah denganku, kita main-main sebentar, bukankah kita tak pernah menghirup angin segar besama?.  Nanti kalau sudah baikkan dengannya, pasti hal yang kita lakukan berdua, hanya tinggal kenangan semata mungkin akan kau rindui juga. Sabarlah, dia yang akan menghubungimu lebih dulu. Dia pasti rindu untuk bertemu. Jika dia tak kunjung menyapamu, biarlah kan masih ada aku. Ku usahakan aku tak akan seperti itu.

Jika Kelak

Kelak, ketika tak sengaja kau temukan betapa suramnya masa laluku. Betapa nelangsanya hidupku dulu. Dan betapa tak berdayanya aku dihujani banyak cobaan hidup, namun berbanding  terbalik dengan aku kini. Ingatlah itu berarti aku sudah berusaha sedemikian keras untuk sampai di titik ini. sampai pada masa jika aku baik-baik saja dengan apa yang menerpa. Tuhan masih sayang, sampai-sampai aku diberikan sabar yang luar biasa.

Baca Juga: Sepertinya Karena Sudah Menjadi Kita

Kelak, ketika engkau tak sengaja mengetahui hal yang sengaja tak kuceritakan entah perkara apa. Tolong jangan menuntut untuk aku menjelaskan. Aku sudah mempertimbangkannya matang-matang dan lebih senang mengubur yang memang harus dikubur. Bukan demi kebaikanmu atau untuk siapapun, tapi untuk diriku sendiri yang tak ingin mengungkitnya lagi. Jauh lebih baik jika aku tak menjelaskan apapun pada siapapun termasuk dirimu karena aku anggap itu sebagai masa lalu.

Hingga aku dapat berdiri saat ini, menjadi bagian dari hidupmu kini. Karena aku banyak belajar dari apa yang menimpaku dulu. Perasaan tak dihargai, rindu yang tak kunjung pergi, tangis yang tak berkesudahan, terjebak dengan ego sendiri. Pun terkadang berbuat nekad dengan melukai diri sendiri. Aku pernah benar-benar lelah hati dan dadaku sesak sekali dihujani masalah bertubi-tubi. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk bersembunyi, mencoba untuk menemukan cara agar aku bisa mencintai diriku sendiri, memahami apa yang di mau hati dan mencari solusi.

Jadi tolong, apa yang kau temukan tentangku secara tak sengaja dikemudian hari, cukuplah kau pendam dalam hati. Tak bertanya ataupun mencoba mengorek luka yang sengaja kulupa. Percayalah untuk berdiri di kakiku sendiri ada banyak hal yang harus aku lalui. Namun jika keputusanku ini kau anggap tak baik, dan kau menuntut untuk aku bercerita secara menyeluruh,  dan sekiranya hal itu perlu bagimu, maka aku akan coba pertimbangkan dengan  kita bernegosiasi dulu.

 

Sepertinya Karena Sudah Menjadi Kita

Sebagai orang yang kau pilih untuk menjadi akhir perjalananmu, menjadi orang yang selalu kau cari ketika aku tak ada kabar, pun selalu kau perdulikan dalam segala hal. Belum lagi selalu kau cintai dari hal kecil begini. Aku merasa beruntung. Tuhan sudah sangat baik dengan memberikanku orang yang mencintaiku sepertimu.

 Meskipun bukan sepertimu orang yang aku inginkan. Ternyata Tuhan lebih tahu apa yang aku butuhkan, yaitu orang sepertimu. Seseorang yang sangat mengkhawatirkan diriku lebih dari diriku sendiri. Seseorang yang akan selalu menunggu kabarku di sepanjang waktu. Seseorang yang tiba-tiba cemburu hanya karena aku terlalu sering berkirim pesan dengan temanku melebihi yang aku lakukan padamu.

 Aku sebal, kadang yang aku lakukan kini serba terbatas. Sebelumnya aku bisa melakukan ini itu semauku. Tak perlu izin lebih dari ayah dan ibu. Kini bersamamu, bertambah pula kewajibanku untuk mengatakan aku kemana, dimana dan bersama siapa. Segalanya menjadi terbatas saat aku ingin bersenang-senang. Sekedar camping ditengah padang ilalang ataupun  menikmati angin pantai bersama teman-temanku saja, mengatakan iya padaku kau sangat susah. Selalu ada syarat yang harus aku penuhi.

 Belum lagi, saat aku harus bertemu dengan teman lawan jenisku bahkan untuk hal yang sangat  perlu. Izinmu sungguh harus aku dapatkan dulu. Meski begitu, aku tetap beruntung dengan kau memberikan batasan. Aku jadi terjauh dari hal yang akan merusakku dikemudian. Sepertinya, karena aku dan kamu sudah menjadi kita, apa-apa yang terjadi dikehidupan kita sudah harus diskusikan berdua.

 Kau pernah jujur tentang suatu hal meskipun itu menyakitkan, namun aku mampu memaafkan. Dengan kau berkata jujur, kau mengungkapkan bagaimana resahmu saat aku tak disisimu. Kau memberikan pelukan hangat dan mendengarkan omelanku disepanjang waktu atas batasan yang kau terapkan sebagai gantinya. Kau menyadari jika rasamu padaku terlalu jauh namun tak bisa berbuat apa-apa karena takut kehilanganku, begitu katamu. Kau memang orangnya ternyata. 

Terima kasih  telah datang dan memberikanku keyakinan disertai banyak pembuktian

Terima kasih telah bertahan dan tidak pergi kelain hati

Terima kasih telah memberiku lebih dari cukup

Terima kasih telah memberikan tenang dengan caramu yang diluar dugaan

 Dan terima kasih telah mencintaiku sepenuh hati

 

Masa Lalumu

Berbicara perihal masa lalu dan tentang lukamu di masa itu, sebenarnya aku tak begitu perduli. Aku yakin kalau aku bisa mengobati karena aku adalah masa depanmu yang menjadi penyembuh. Asalkan kau tak melibatkan masa lalumu ketika bersamaku, lalu kau mulai membanding bandingkan dan akhirnya kau mengatakan jika aku tak bisa seperti dia.

Aku tak akan pernah menjadi dia, bahkan aku tak mau. Tolong bedakan. Aku dan dia adalah dua orang berbeda. Dia mencintaimu lalu dia membuatmu terluka dan kau ditelantarkan entah dengan sebab apa, tapi tidak dengan aku. Aku mencintaimu dan ingin bersama denganmu selalu. Aku memilihmu karena aku percaya, kau orang yang tepat untukku.

Kupikir, saat kau memulai suatu hubungan yang baru denganku. Kau telah melupakan masa lalumu. Pun demikian juga dengan aku. Bagiku, masa laluku tak ada hubungannya dengan apa yang aku jalani bersamamu saat ini. Dia adalah dia dan kau adalah kau, seseorang yang kurencakan kedepannya.

Sayangnya aku salah, kau tak secepat yang aku kira. Kau masih saja berusaha membangunkan masa lalumu saat bersamaku. Padahal aku sudah bersusah payah untuk meninabobokannya. Kau tak selihai ucapanmu di awal yang ingin mencoba mencintai kurangku, menyanjung lebihku dan berjuang bersamaku meraih tujuan kita- Bahagia dengan bersama. Kau masih tetap sama, bergelut dengan dia yang kau cintai di dasar hatimu sana. Dan aku terlanjur terluka.

Sebelumnya aku tak masalah jika sifatmu yang begitu keras kepala menuntut aku untuk menjadi seperti yang kau mau, karena aku percaya arahanmu adalah membenahiku untuk menjadi lebih baik versimu.  Jika cinta itu saling menerima. Tentu aku menerimamu dengan segala hal yang melekat padamu termasuk dengan masa lalu yang menyeramkan itu. Tapi bukan berarti kau bertindak semena-mena. Jika cinta saling menguatkan, seharusnya kau bisa berujar jika aku harus sabar menghadapi tingkahmu yang kekanakan, bukan justru memperlebar kerusuhan.

Di kepalaku, aku masih ingat jelas, pertengkaran pertama kita dengan perkara sederhana dan tentu aku memilih mengalah. Namun, berbeda dengan saat ini. Sejak aku tau dia masih ada di kepala dan hatimu. Itu sudah cukup membuatku muak dengan semuanya. Tentang hubungan kita yang kau namai percaya dan mencoba. Maaf kesempatanmu untuk bersamaku sudah tak ada lagi. Aku tak mau terluka dan terus salah sangkah, jika cintamu tak sepenuhnya dan bahagia yang kau berikan juga cuma setengah.  

Kamu dan Impianku

Aku dengan  impianku sebagai penulis, itu sama seperti aku yang ingin menjadi akhir dari perjalanan kasihmu. Dua hal yang ingin selalu aku nomer satukan. Dua hal yang membuat hidupku berarti dan selalu ingin berjuang dengan gigih setiap hari. Tanpa mana yang harus aku dahulukan. Pun tanpa mana yang harus aku prioritaskan mana yang lebih karena keduanya sejajar.

Maaf jika aku tak bisa menentukan mana harus yang menjadi pertama dan selanjutnya. Akan sangat mustahil jika impianku hanya sebatas mimpi tanpa upaya untuk kuraih. Pun akan sangat disayangkan jika kamu menjadi yang terabaikan, karena aku akan sibuk sendiri.

Aku bersyukur, Tuhan masih memberikan aku kesempatan untuk terus hidup dan mengejar apa yang sedang aku upayakan. Di samping itu aku juga bersyukur di tengah usahaku mencapainya Tuhan mengirimkan kamu sebagai candunya. Sebagai inspirasi atas tulisanku kini.

Jika suatu ketika aku lelah karena semesta sedang gemar-gemarnya bercanda dengan hatiku. Ketika langit kelabu lalu menghujani hariku. Aku akan berhenti sejenak. Bukan untuk bersembunyi seperti dulu. Tidak, tapi aku akan mengumpulkan puing-puing semangat yang sempat tercecer. Aku akan berdiri lagi, karena aku percaya matahari masih jatuh cinta pada bumi. Masih ingin memberikan kehangatan meski kadang pancarannya menyengat hingga ke tulang. Aku akan mengingat kembali betapa indahnya impianku itu menjadi penulis dan sebagai pelengkap hidupmu di kemudian hari..

Kita Adalah Sepasang Yang Ingin Tinggal


– Puisi kolaborasi dengan si Bapak –

DIA -
Siapapun yang sudah begitu kokoh berdiri, pasti pernah merasakan jatuh
Siapapun yang sudah mampu tertawa lepas, pasti pernah merasakan tangis yang teramat puas
Siapapun yang sudah bahagia, pasti pernah merasakan beratnya kecewa
Kelak, Kita akan pulang pada dekapan seseorang yang padanya membuat diri merasa disayang
Yang padanya, selalu memberi tenang meski tak berucap apapun
Yang padanya, kita mengerti apa itu memberi tanpa berharap kembali
Yang padanya, kita ingin menatap sebelum memejam
Yang padanya, kita selalu ingin mendengar sebelum tuli
Yang padanya pula kita bercita-cita untuk bersama mati
Semoga akulah titik hentimu.

Dia kutip dari "Febri Ramadhan"

 ***
Aku berterima kasih, bertemu denganmu tanpa sadar aku telah memulai hal baru dalam hidupku.
Berkatmu luka yang bertubi-tubi menghampiri tiba-tiba mati.
Aku patah hati saat itu, tapi berkat sabarmu, aku jadi lebih tangguh 
dan mencintai diriku sendiri, serta mampu menyediakan ruang untukmu bertenduh.
Menghadiahi hati yang sebelumnya sepi menjadi hangat kembali. 
Lukaku memang membekas, hanya saja aku sudah rela jika lukaku kemarin adalah cara Tuhan untuk temukan aku dengan sesosokmu hari ini.
Maaf, sebelumnya aku sempat ragu, mungkin jatuh cinta padamu butuh waktu melebihi yang aku rasakan dulu.
Padamu, harapanku akan tumbuh. Tetaplah bersamaku, jangan pernah jemu apalagi bosan. 
Semogamu adalah semogaku
Impianmu juga impianku yang ingin kita lambungkan tinggi
Membersamaiku hingga kita tinggal nama nanti  

Cerpen Tentang Arashi - Baikkan

Maafkan ya pembaca yang budiman. Akibat kesibukkan yang juga menyita waktu berkencan di dunia maya. Cerpen tentang Arashi tertunda dari awal tahun. Aku syedih sungguhan. Tapi ini lagi berusaha mengejar ketertinggalan. Doain ya, part selanjutnya bisa lebih cepat dan segera ending biar bisa buat cerita mini selanjutnya.

Suasana menjadi canggung, kami duduk berdua di dalam mobil. Tentang keberadaan Tia, Aras memintanya untuk turun dan mengatakan akan berkunjung kesuatu tempat lain waktu. Di depanku dia masih berusaha mengatakan kalimat seperti itu. gak ada cewek yang marah kalau cowoknya masih aja ngebuka komunikasi sama cewek yang paling dicemburui.

Begitu aku mendengar kalimat Aras barusan, Emosiku sudah di ambang bata. Melirik keras Tia, lampir satu itu hanya mengangguk dan berjalan pergi dengan santainya. Tak lupa senyuman sinis ia sematkan padaku seolah dia tau apa yang akan terjadi.

 “masih mau jalan sama dia lagi?, mau kamu itu apa sih, Ras?” Bentakku padanya

 “Bintang, kamu salah paham?” 

 “pacar mana yang gak salah paham, ngeliat pasangannya lagi jalan berdua dengan cewek lain”

 “Bi, aku ada tugas kuliah dan..”

 “Dan kamu satu kelompok sama Tia, Basi tau, Ras!”  Nada bicaraku sudah meninggi namun berbeda dengan sikap Aras, dia masih terus berusaha tampak tenang.

 “kamu kok kayak anak kecil gini sih” kalimat Aras seolah menamparku, Bukannya kita sudah sepakat  untuk tidak menggunakan kalimat itu, hanya karena salah satu pasangan bertingkah. Bukan berarti itu tidak ada alasan dibaliknya. Sedangkan apa yang aku lakukan menurutku itu benar. Wajar jika aku cemburu padanya. Aku ini kekasihnya.

“Ras kalau kamu udah tau aku kayak anak kecil gini, kenapa masih cari masalah dengan jalan sama Tia. Kalau kamu anggep aku anak kecil, kenapa kita terus-terusan kayak gini dengan persoalan yang sama?” Bentakku padanya

Aras tau, jika baru saja dia sudah melukai dengan melontarkan kalimat itu. “maaf , Bi, aku gak maksud buat ngomong gitu”

Suasana menjadi hening kembali. Perdebatan kami berhenti. Sekarang kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Rasanya hubunganku dengan Aras akan selalu seperti ini. Aku percaya padanya, namun aku juga dikecewakan disaat yang sama.

“Bi, entah aku harus bilang berapa kali sama kamu, aku gak ada apa-apa dengan Tia. Kita hanya sebatas teman sekelas. Tolong percaya padaku, yaa?”  pintanya sembari memberikan tatapan hangat. Tanganya mengelus pipiku yang basah dengan airmata

“kalau itu terjadi antara aku dan Gito, apa kamu masih tetap diam aja?, kalau aku satu tim sama Gito, apa kamu gak masalah. Jujur ya, Ras aku ngehindarin Gito karena aku pikir itu bakalan ngebuat hati kamu sakit, aku pengen jaga perasaan pasanganku”

Aku meraih tangan Aras, kemudian melepaskannya pelan. Mungkin emosiku sudah hilang, tapi tidak dengan kecewaku. “Aku pulang sendiri” ucapku singkat, kemudian keluar dari mobil Aras.

***

Satu hal yang aku sadari dari peristiwa saat itu. Hubungan kami memang akan tetap seperti ini. Cemburuku tak pernah padam jika sesuatu tentang Aras kerap dikaitkan dengan Tia. Mungkin karena aku takut kehilangan Aras. Aku tak ingin terlihat menyedihkan. Tetapi hatiku sakit jika mengingat hal itu. Jatuh cinta itu saling menjaga, saling percaya. Jika jatuh cinta hanya bisa menghadiahi luka, untuk apa terus-terusan bersama. 

“kita Cuma teman, Bi. Jangan kamu berpikir macam-macam. Aku sayang sama kamu, Cuma kamu” ucapannya kala itu yang terniang-niang di pikiranku.

Setiap ingat kalimat itu, emosi kembali memuncak. Aku percaya Aras tak mungkin berkhianat, namun ketakutanku kehilangan orang yang aku cintai juga sering menghantui. Kuakui sejak hari itu, aku minta aras untuk tak mnghubungi ataupun menemuiku sementara waktu. Kupikir itu cara yang tepat untuk kami memahami keinginan masing-masing.

Dua minggu, Aras tak menghubungiku. Selama itu pun aku tak pernah melihat dia mondar-mandir di kampus. Mungkin dia memang menuruti keinginanku. Dia gak paham apa kalau aku ini kangen denganya. Rasanya aku ini terlalu cinta dengan dia, sedangkan dia gak sedikitpun kepikiran denganku. Basa-basi datang ke fakultasnya waktu itu, dan ketemu Bagas temen angkatannya,  aku baru tau kalau dia ada Study kampus di luar kota, gitu pun dia gak bilang ke aku. Maunya apa sih dia, apa dia  pengen putus dari aku?. Aras nyebelin

“Bintang. . . . . Bintang” suara yang gak asing lagi menurutku, dan ketika aku toleh, sudah ada tangan yang nangkring di pundak

 “aduh” 

 “Bintang. . . lo apa kabar?” tanya si monyet ini. Gak tau kenapa tangan laki yang gak lulus sensor ini tiba-tiba nomplok di bahu. Jika ada champion buat lomba SKSD disini, ni orang yang bakalan aku pilih sebagai pemenangnya. Gito si monyet tampan ini

 “Apaaan sih, To Sok SKSD Lo!, awas tangan lo, risih gue!”

 “Yaelah, ganas amat neng. Takut Dika cemburu Ye, yuk ke kelas bareng, hari ini kan lo sekelas sama gue” ajaknya 

 Omongan si monyet ini tak perlu di indahkan, emang bener ya. Manusia kardus ini resek.

 “meskipun gue, sekelas sama lo monyet kampus, gue ogah bareng” Sungutku padanya. Aku pernah bilang kan, gak perlu perduliin soal sungkan atau kudu  pake bahasa yang baik dan benar kalo ngomong sama dia mah, emang dia gak punya hati. Ngeloyor pergi dari dia, si Monyet malah ngintilin dari belakang bisa jadi karena emang kelas kita sama. Bodoh amatlah sampai dia teriak-teriak kayak orang gila.

Noleh kekanan saat mau masuk gedung fakultas, aku sempat melihat mobil Aras diparkiran FISIP, aku ingat benar dengan nomer polisinya. Kenapa dia parkir disini ya ? kan ini bukan fakultasnya.

 “Bi. . . . .jalannya jangan kenceng-kenceng dong, kayak di kejar anjing aja” gerutu Gito yang saat ini berada disampingku

 “iya, gue kayak dikejar anjing, kan elo anjingnya Minggir!!”

 Aku mengambil kursi yang sengaja pojok dan deket jendela, bukan apa-apa ya karena seger aja kena angin gitu. sSekalian biar Gito gak deket-deket kayak lem. Ngomong-ngomong lem, rasanya aku dan Aras dulu juga seperti itu. Cek sosmed berkali-kali gak ada pesan sekalipun dari dia. Kebangetan itu laki. Kalau hubungan kita justru ngebuat aku dan Aras makin jauh dan gak nyaman, aku lebih milih lepas dari dia dan kembali seperti semula. Buat apa ada kalimat sayang-sayangan kalau ternyata hubungan kita udah mulai hambar.

****

Seperti hari-hari sebelumnya, karena dua minggu ini Aras gak nongol dihapadapanku, aku sudah mulai terbiasa tanpa dia meski kadang kangen gak tau mau muncul tiba-tiba. Setidaknya aku sudah bisa menghilangkannya perlahan-lahan. Aku akui kalau aku cemburu setengah mati ke Tia, tapi emang wajar dong cemburu, Aras cowokku dan Tia sengaja mau ngedeketin Aras lagi. Dia sadar apa ya kalau Aras gak mau sama dia dan pilih aku. Dasar lampir sialan

Melewati parkir Fisip mobil Aras masih disana, aku jadi penasaran kenapa dia parkir sini dan kalaupun tujuannya ke aku, kenapa gak ngehubungi aku atau cari aku dikelas. Aku intip kaca mobilnya, bak maling yang lagi cari barang berharga di mobil-mobil kece, ya begitu sekarang posisiku.

“Bintang..” tepukan pundak mengagetkan posisiku yang lagi jelajahi mobil

 “Aras..”

 “Ngapain kamu celingukan kayak gitu? Cari aku?” tanyanya tanpa rasa bersalah. Ini anak perlu digibas atau gimana ya. Masa iya dia gak ada gitu kangen-kangennya sama aku atau sekedar basa-basi gitu, kan kita gak ketemu udah 2 minggu ini.

 “enggak… ngapain cari kamu” ucapku ngeloyor dari Aras. Bisa mati kutu kalau aku terus-terusan disitu

 “tunggu..tunggu, mau kemana sih” cegahnya

Nah.. gini kan enak, jadi ngerasa kalau aku itu di berati kalau pergi, Aras ihh.. kadang gak peka sekali. Oke posisi sok cuek  “Apaan sih!!, aku mau pulang”

“Bi… kita perlu ngomong, soal kapan hari” Tanpa persetujuan, Aras menarikku menaikki mobilnya. Dia membawaku ke taman yang tak jauh dari komplek perumahan. Kita hanya stay di dalam mobil tanpa bicara apapun.

“hmmm mau ngomong soal kapan hari, yang mana ya ?” sejujurnya ini kalimat begok maksimal yang terlontar dari bibir manisku, basa-basi ini mungkin perlu, dan salah satu cara melumerkan suasana diantara kami. Udah jelas-jelas aku inget bener, kita terakhir kali  ketemu di kampus dan itu dengan kondisi yang gak baik. Tapi aku luwes aja gitu tanya kalau dia bakal ngomongin soal apa.

“Bintang, aku sayang sama kamu.” Ucapnya pelan.

 “hmm terus?”

“kok ketus gitu ngomongnya?, kamu gak kangen aku? Aku aja setengah mati nahan kangen buat gak ketemu kamu”  Nada bicaranya seperti Aras yang aku kenal dulu. Kalem dan adem didengar telinga. Tapi balik lagi ngomong sayang, tapi 2 minggu gak ngasih kabar. Sayang apa woi!!

“kangen kok dua minggu gak ngasih kabar, itu kangen namanya ?, itu sayang ?” sindirku

“aku ada di pelosok Cimahi, dan gak ada sinyal. Aku coba hubungin kamu pake nomer lain, tapi gak kamu angkat”

Bener juga, beberapa hari lalu, ada panggilan lebih dari 10 misscall dari tanpa nomer, karena aku gak kenal , jadi aku biarkan. Siapa tau penipu yang mencoba melakukan hipnotis by phone, who’s knows?. Yaudah lah tetep pasang muka cuek. Pura-pura gak ngerti

“ya siapa suruh,kamu telp pakai nomer lain. kamu pasti paham kalau bukan nomer orang yang gak aku kenal, gak bakalan aku angkat” sanggahku

"jadi masih marah soal Tia nih?, Bi... kalau nomerku bisa ngehubungi kamu, ku ya telp pakai nomerku sendiri. Berhubung nomer itu gak ada sinyal, jadi aku pakai kartu lain" alibinya 

"Bi... . Aku harus jelasin berapa kali ke kamu, aku dan Tia itu cuma teman. Aku udah sering bilang gitu ke kamu kan, aku sama Tia gak pernah ada apa-apa, kita sebatas teman angkatan dan kerja kelompok, that’s it!. Gimana caranya aku ngeyakinin kamu kalau aku cuma sayang ke kamu, Bintang sayang” 

Aras tersenyum diakhir kalimatnya. Senyum ini yang bikin aku kadang meleleh kalau lagi debat sama dia. Tapi untunglah, karena hati masih panas, nama mak lampir disebut-sebut lagi, jadi aku bisa kontrol itu.

“Sekarang gini deh,Ras. Kalau kamu sayang sama aku, kamu gak bakalan ngilang tanpa kabar selama 2 minggu. Kamu gak ngabari aku selama itu, kamu kira enak nunggu kayak gitu. Kalau kamu minta kita udahan, ya ayok!” tantangku ke dia. Ops, kalimat terakhir diluar kendali. Ngelihat raut muka Aras, aku pikir dia cukup shock dengan kalimatku barusan.

“Bintang kamu ngomong apa sih!, gak ada putus-putus karena masalah sepele. Aku gak suka denger kamu gampang ngomong putus kayak gini. Kan aku juga udah jelasin kalau nomer aku gak ada sinyal” Aras menggelengkan kepalanya dengan ekspresi sebal.

“kamu anggep masalah Tia sepele, tapi bagi aku itu gak, dia bumerang dihubungan kita, Ras!. Aku gak suka kamu deket-deket sama dia. Sekarang aku yang balik, gimana kalau Gito deket sama aku, as a friend like you with her, how do you feel, Ras? , Sakit gak ngelihat orang yang kita sayang deket sama orang lain, yang jelas-jelas orang yang ngedeketin itu ada maksud lebih dari temen!!”  Mataku menyorot pas di matanya. Aku bisa membaca tatapannya iba padaku.

“kamu gak akan paham, Ras, kamu gak akan paham, gimana senggak sukanya aku sama Tia, bahkan aku benci dia deket kamu…Apa kalimatku barusan keterlaluan kalau aku gak suka sama dia. Kamu inget gak, aku semeja sama Gito kapan hari waktu dikantin, lalu kalian berdua buat keributan. Padahal dia hanya duduk didepanku dan itu ditempat umum. Kamu udah kayak kebakaran jenggot. Lalu aku harus gimana, Ras ngeliat Tia ngesenderin kepalanya di pundak kamu, bahkan satu mobil berdua sama kamu, apa itu gak kelewatan??” lagi-lagi aku nangis buat ungkap kayak gini. Jantungku bedegup kencang. Airmata udah kayak air terjun yang lagi kangen sama bumi. Deres banget jatuhnya

“sender apa sih, Bi. Aku gak..”

Aku mengeluarkan ponsel, dan menunjukkan gambar yang Tia upload di sosial medianya “apa ini bukan kamu? Jelasin apa orang yang di ada digambar ini bukan kamu?”

Aras melihat gambarnya. “ya ampun, Bi.. iya itu aku tapi…”

“nah kamu sendiri aja ngaku kalau itu digambar itu kamu, meski gak kelihatan mukanya, salah kah, Ras kalau aku cemburu? Temen model apa yang demper-dempet pacar orang kayak gitu?, kalau kamu anggep aku sebagai pacar kamu, kamu gak bakalan, Ras jalan berdua sama dia kayak kemarin. Itu yang kamu anggep sayang” Isakku padanya.

 “ngelihat kayak gini, ditambah omongan kamu yang nge iyain kalau orang digambar itu kamu, maklum gak kalau aku marah kayak gini? Coba posisiin diri kamu jadi aku, Ras!

Aras hanya diam menatap aku menangis, entah gak tau gimana muka aku sekarang, yang bisa aku pastikan maskara, blush on dan eyeliner yang aku pake pasti luntur dan gak karuan ngehias muka. Aku melempar pandangan keluar jendela, membuka kaca mobil untuk cari udara. Malu juga sebenernya muka udah kayak badut gini didepan Aras.

“sekarang kamu dengerin aku ya..” suaranya pelan, wajahku dihadapkan ke mukanya, tangannya menyeka airmata serta kosmetik yang udah luntur di pipi

"lihat ni, make upnya luntur semua, aku sayangnya Cuma sama kamu, aku juga gak paham kenapa ada foto itu. Aku inget bener, saat itu Tia, yang disebelahku tiba-tiba sandar di pundak, lalu aku usir, aku gak tau kalau dia ambil foto itu. Kalau kamu maunya aku ngejahuhin dia sejauh-jauhnya, aku bakalan lakuin. Maaf ya, Bi.. kalau aku bikin kamu kecewa kayak gini, aku bener-bener gak tau kalau kamu sampai sebenci itu dengan Tia”

Airmataku berhenti, lagi-lagi aku luluh dengan sikapnya. Tapi, tiba-tiba jantungku semakin dekat ngelihat Aras semakin mendekatkan wajahnya padaku dan hanya berjarak 5 senti. Apa dia mau nyosor ya, apa aku kudu merem ya, yaudah lah merem aja. Cukup lama merem, Aras malah gak ada kabar, pelan-pelan buka mata, ternyata dianya malah tersenyum jahil.

 “kamu merem kenapa, Bi?” Ringisnya puas

Mendengar kalimat itu aku gelagapan, “gak .. aku gak kenapa-kenapa, ayo pulang”  lalu membenarkan posisi duduk dan pandangan lurus kedepan. Melirik kesamping, Aras hanya tertawa senang. Duh… Aras ih, jadi malu sendiri kan. Tiba-tiba Aras menarik daguku dan sebuah kecupan kecil mendarat di bibir. Oke Fix. Jantung mau copot.

Raguku Meluluh Cintaku Tumbuh


sumber Instagram sibapak

Untuk pertama kali, luka yang kerap kubahas mulai kusisihkan jauh dan kubiarkan. Aku kembali merasakan jatuh cinta yang padahal sebelumnya aku takut untuk memulainya. Aku takut jika aku jatuh cinta aku akan kecewa untuk kesekian kali. Bergelut dengan perasaan dan bertanya pada diri sendiri seolah bimbang itu sudah menjadi aktivitas harian yang menyebalkan. Namun, tiba-tiba seseorang datang dan menjadi penyegar kala hati kubiarkan larut dalam gersang. Awalnya aku tak berniat untuk mengindahkan, bertemu dengannya saja aku enggan. Sebab, dia-kupikir hanya akan seperti sebelum-sebelumnya. Pencipta ilusi hingga menyebabkan kehilangan yang aku sendiri tak bisa atasi. Bergantung pada kata maaf jika salah, namun tak lelah mengulanginya. Tentu, itu dulu sebelum aku mengenal dia dengan baik.

 Dia memang tak sempurna dan jauh dari kata iya. Tapi saat bersamanya segalanya indah. Piluku menghilang, dan benciku pada masa lalu melunak. Kini aku tak berjuang sendiri, ada dia yang akan menemani. Akan ada rindu yang sekarang memiliki tumpu dan mampu dituntaskan dengan temu. Setiap kali mengingatnya aku jadi tersipu malu. Bertanya dari mana rasa ini munculnya, tiba-tiba saja menjadi terbiasa dan resah jika dia tak beri kabar. Aku tak perlu lagi pasang muka masam, sebab dia tak membiarkan aku melewati rindu sendirian. Menjadi pendengar saat aku bercerita panjang lebar. Menanggapi setiap gurauan dengan antusias ditambah dengan senyuman yang khas.

Pada dia yang sekarang menjadi istimewa. Menjadi tujuan serta hal yang selalu kudiskusikan dengan Tuhan. Mampu kuajak berkompromi dengan banyak perbedaan. Berkatnya aku mampu melewati fase dimana sendiriku harus selesai sampai di sini. Dia yang membimbingku menuju bahagia dengan cara yang terarah. Tidak perduli bagaimana aku dulu, dia berhasil membuang raguku jauh dan rasa cintaku tumbuh. Untuk sedetik yang pernah aku lewati dengannya, kupikir itu cara Tuhan memantapkan pilihanku padanya.

Semoga saja, tak pernah ada sementara setelah ini, beberapa perkara memang harus ada jeda, namun dengan dia aku harap selamanya. Apa-apa yang dulu pernah kutinggalkan lantaran hanya akan berakhir dengan pengandaian. Kini akan kutata ulang, contohnya saja masa depan. Sayangnya aku ini kadang pemalu. Ungkap rindu padanya secara lantang saja aku tak mampu.  Meski aku mengaku sudah dewasa, perihal jatuh cinta padanya aku masih sungkan untuk mengakuinya. Maaf ya, aku ini perempuan yang memiliki peran sebagai perasa. Tak bisa bersuara tapi cintaku ini benar adanya. Kali ini aku akan sungguh-sungguh. Berjuang sampai akhir hingga aku dan dia menjadi kita dengan kata sah.

Menyelami Rasa Lelaki

Duduk berdua di dalam satu mobil. Memutar lagu sendu yang ternyata membuat temanku bernostalgia dengan kekasih dari masa lalunya. Dia mulai membuka suara, dan cerita tentang cintanya yang sering aku dengar namun sebagian, kini ia mulai perbincangkan. Cintanya telah kandas, mungkin sudah beberapa waktu yang lalu. Sebab bosan yang tak bisa dia bendung. Perkara sederhana menjadi tak terduga dan berakhir dengan kata pisah.

Meski cintanya telah kandas. Kenangan yang dia ciptakan tak turut hilang seperti seseorang yang pernah ia sayang. Rindunya tak mati dan cintanya tetap bersemi. Dan dia baru sadar saat segelanya telah usai, jika perempuan yang telah menghabiskan lebih enam ratus hari bersamanya itu sangat ia cintai. Bahkan dari hal-hal receh yang tak terpikirkan sebelumnya.

Dia bercerita dengan sedikit menyunggingkan senyum, sekali matanya melirik seolah-olah menjelaskan padaku jika hatinya itu sungguh-sungguh. Setiap kalimat yang ia ucap, beberapa sengaja ia berikan penekanan. Mungkin luka hatinya sudah parah namun dia masih berpura-pura tak merasakan apa-apa. Mungkin juga, itu wujud penyesalannya sudah terlambat, dia sadar jika dia dan wanitanya dua orang yang keras kepala, tapi disaat-saat tertentu ada masa dimana salah satu memilih mengalah dan berdamai atas bedanya pemikiran. Dia bercerita secara rigit tentang kekasihnya dimasa lalu. Hingga pada saat kekasihnya pergi dan dia patah hati, kisahnya tetap hidup dan membuatnya semakin sadar cintanya tetap bertahan meskipun hanya dirasakan seorang.

Dia patah hati. Teman priaku ini sedang patah hati. Remahan hati telah dia buka satu persatu. Dia mulai terbuka tentang bagaimana kacau dunianya tanpa kekasihnya. Meski begitu, ia tak ingin harinya lumpuh karena masa lalu. waktu itu, aku Cuma menjadi pendengarnya. Tak ingin melibatkan pemilikiran tentang masa lalunya. Aku yakin, dia hanya ingin didengar tanpa meminta saran. Dia ingin dimengerti ketika tak seorangpun memahami bagaiman ia terluka.

Temanku ini, tipe orang yang humoris, tapi dibalik humornya terselip patahan dada yang tak bisa ia sembunyikan. Berkali-kali dia mendekat pada hati yang lain. Berharap terlupa dengan apa yang masih ada dipikiran. Hanya saja, orang baru itu tak  sepenuhnya ia tempatkan dalam hati. mula-mula ia bertutur maaf karena masa lalu kerap terucap tanpa sengaja, namun lama kelamaan namanya menjadi dominan dalam segala percakapan dan membuat hati baru menghindar pelan-pelan. Ah,temanku ini ternyata masih menyayangi masa lalunnya. Mau bagaimana pun hatinya masih merasakan hampa dan rindu pada seorang yang telah bersandang kenangan.

Perlahan kubuka suara, perihal lukanya aku tak berjanji ketika aku bicara tentang ini, rasanya hilang seketika. Cuman, karena aku seorang teman aku perlu memberikan dukungan. Entah itu memperbaiki yang pernah terputus atau untuk bahagia baru yang sedang ia cari. Hidupnya harus terus berjalan. Kelak jika terjadi hal sama dengan orang berbeda, mungkin saat itu dia harus lebih banyak sabar. Cara-cara yang pernah dia terapkan pada masa lalunya berkenaan dengan melepaskan, tak boleh gampang ia terapkan. Jangan lari dan mencoba temukan pelarian hingga membuat seseorang tersakiti- itu pesanku. Sebab, bahagia hanya terjadi  jika ia belajar tentang cara-cara bertahan dari jenuh, tak mengulang hal dari pendahulu meskipun titik bosan tak kenal letih menyerang hingga membuat keyakinannya tumbang.

Maaf Jika Tak Meminta Maaf Padamu

Baru-baru ini ada yang bikin resah. Sebuah puisi yang menyinggung SARA. Banyak muslim yang tak terima dan katakan saja, aku menjadi salah satunya. Menariknya, setelah puisi itu dibacakan lalu disorot berbagai media. Tentu pro dan kontra segera melekat padanya. Beberapa menyuarakan dengan bijak meskipun hati mereka marah, Namun diksi yang mereka gunakan sejuk untuk didengar bahkan kalimat yang tertuang terkait ketidakterimaan mereka sungguh enak dibaca. Seolah emosi mereka terselimut dengan sabar. Akan tetapi, beberapa orang mengatakan keberatan mereka dengan lantang dan keras. Seolah-olah menunjukkan jika puisi yang telah menjadi viral itu memiliki banyak sekali kecacatan di dalamnya. Terutama disampaikan oleh orang yang berpengaruh dan menjadi panutan banyak orang.

Bu – aku akan panggil engkau ibu, mungkin karena usiamu sejajar dengan usia ibuku. Ini adalah tanggapanku. Tanggapan atas puisi yang telah engkau bacakan kala itu. Entah, setelah ini, aku tergolong orang seperti apa di antara keduanya tadi. Sabar atau lantang dan tak berperasaan. Setidaknya dengarkan suaraku ini. Meskipun sekedarnya saja.

Baca Juga: Opiniku Untuk Ibu Pertiwi

Bu – Aku ini orang yang sama sepertimu atau bahkan lebih rendah pengetahuannya jika itu berkaitan dengan agama. Pengetahuanku masih sebatas tahu. Tentang syariat islam yang kau jadikan bandingan, aku juga masih belajar lebih dalam. Jika tanggapanku ini keliru, silahkan dibenahi. Semata-mata segala yang aku tulis ini dari lubuk hati.

Bu, harapan yang kau gadang-gadang untuk seseorang yang kau sebutkan melalui puisimu itu kurang tepat. Dalih meminta dia untuk lebih produktif, engkau justru terlihat primitif. Andai saja, setiap kata yang kau susun itu tepat untuk menunjukkan betapa bangganya kau padanya. Dan tidak menyinggung syariat agama yang aku yakini. Mungkin aku yang bodoh ini tidak turut berkomentar. Berkat silah lidahmu itu tentang adzan dan cadar, bisakan jika aku mengatakan kalau engkau telah kelewatan, bu?. Hingga banyak orang berduyun-duyun memprotes ciptaanmu itu.
Engkau bilang engkau tak tahu tentang syariat islam. Jika kau tak tahu, kenpa engkau berani berkata jika konde lebih cantik dari cadar. Lalu, engkau bandingkan suara kidung yang lebih merdu ketimbang adzan. Sungguh pernyataan itu menimbulkan kekecewaan bagi anak-anak bangsamu yang mengidolakan sesosok seperti engkau. Atas dasar apa ibu mengatakan demikian ?. Ilmu apa yang coba engkau ajarkan kepada kami, melalui puisimu itu. Jika ingin terlihat berkesan, apakah harus engkau melakukan perbandingan dengan syariat agama?
Sejak kecil aku sudah beragama islam. Katakanlah aku di doktrin jika itu terkait dengan keyakinan. Namun, menjelang remaja doktrin itu berubah menjadi sebuah hidayah dan aku menikmatinya. Meskipun begitu, ilmu agamaku masih kurang sehingga orang tuaku mengajikan diriku di sebuah surau kecil. Dari sana sedikit banyak aku mulai belajar tentang syariat islam. Perihal cadar yang dikenakan beberapa wanita, mulanya aku juga heran dan bertanya pada diri sendiri, kenapa mereka berpenampilan demikian. Mereka hanya menyisihkan satu garis di mata. Aku sempat takut bergumul dengan mereka. Tetapi, perlahan-lahan, aku mendapatkan pemahaman dari guru ngajiku. Bercadar tidak menunjukkan dia lebih mulia daripada kita. Derajat kita sama di mata Sang Maha Kuasa. Namun, dari mereka aku bisa belajar, perjalan untuk menggapai ridho Tuhan sangatlah beragam. Beberapa ulama mengatakan jika cadar itu wajib. Untuk melindungi maruah mereka sebagai wanita. Tetapi, beberapa mengatakan jika cadar tidak diwajibkan. Dari seluruh pendapat itu, aku dapat pastikan tidak ada di antara mereka yang mengatakan jika; wanita berkonde lebih indah daripada mengenakan cadar.

Perihal adzan, aku tak mengerti kenapa ibu, berkata jika gaungannya kalah dengan suara kidung. Apakah sedalam itu, ibu memaknai suara kidung?. Hingga engkau lupa jika adzanlah yang pertama kali kau dengar ketika engkau dilahirkan. Atau aku yang keliru perihal itu. Entahlah, semoga kekeliruanku dapat meringankan stigma buruk yang sudah terlanjur aku lekatkan padamu. Secara pasti, itu tak akan menghapus kekecewaanku padamu, Ibu.

Bu, puisimu itu melukai muslim dan muslimah. Kau pasti sadar jika saat ini, negara yang kau dan aku huni sedang gencar-gencarnya dilanda isu SARA. Kenapa kau perparah dengan puisi seperti itu?. Jika pun engkau mengaku khilaf dan memohon maaf sembari meneteskan beberapa butir airmata. Kami, yang juga sama sepertimu manusia biasa tentu akan memaafkannya. Semua orang pasti pernah berbuat salah. Hanya saja, dari tangisanmu itu, engkau meminta kami untuk melupa, itu satu perkara tersendiri yang sulit kami abaikan begitu saja.

Maaf, jika atas tanggapanku ini, aku tak meminta maaf padamu ibu. Aku harap kedepannya engkau lebih berhati-hati ketika berucap. Semoga dengan segala kejadian ini, ada hikmah yang mampu engkau petik pun dengan kami semua saat ini. Jika ada hal yang menurutmu belum engkau pahami pasti, terlebih menyoal syariat suatu keyakinan. Lebih baik engkau diam. Namun, jika mengharuskan engkau untuk bertutur di depan banyak orang, kuharap engkau bertanya dulu pada yang lebih paham.

Hello Ini Masih Tahun Baru

Hallo.. Hallo.. Long time no see silent readers. Time goes so fast, yey!. Sampai lupa buat update blogger tercintah ini. Anyway selamat tahun baru semua. Ya, meskipun rada' telat-telat dikit gak masalah dong. Namanya juga wanita sibuk,eh lebih tepatnya sok sibuk deng.

Semoga pencapaian-pencapain baru yang diagendakan ditahun ini segera terlaksana. Dan kalau yang tahun kemarin ada yang belum tercapai, semoga ditahun ini segera deh!. Kasihan itu planing, udah ditata tapi eh, ketunda. Ya kayak isi blogku ini. Dia terbaikan. But!. Not anymoreMy blog will be growing little by little. Even my jobs could take over waktu berhargaku buat curhat ngalor ngidul ataupun nulis apapun. Aku bakalan ngerawat Blog ini. Sayang dong! Kalau blog ini gak ada tambahan isi. Bisa2, otak sama ideku mati.  No… no.. no. Okey lets stop talking trash I know all of you don’t care.

By The Way, diawal tahun ini, banyak banget PR yang harus dikerjain. Terutama untuk cerpen tentang Aras yang aku post di blog tersayang ini. Udah berjalan di seri ke 18, tapi karena beberapa alasan tersisihkan. Yes once again its about new job!. Semoga tentang Aras ini bakalan jalan lagi dan segera ending. Bukan karena bosen sih tapi kalau terlalu lama cerita ntar keluar jalur. Pernah lihat sinetron indonesia yang episodenya terpanjang sepanjang masa lets called itu Tersanjung, Cinta Fitri or something else. Oh ya, TBNH juga.  Itukan sinetron yang awal-awalnya bagus tapi karena terlalu lama jadi rancu gak jelas. Judul sama jalan ceritanya kemana-mana. Aku gak mau cerita berseriku tentang Aras bernasib demikian.

 Again, planningnya sih. Masih planning yah. Tahun ini bakalan challenge buat diri sendiri ngeluarin karya yang udah di idam-idamkan sejak dibangku sekolah.  Buka usaha sama temen,  dan do something else. semoga terlaksana deh. Terus  wanna get married soon (aakkk, as soon as possible dah). However, kalau jodoh belum datang ya mau gimana lagi, do the best kan buat life?. Oke. Perkara jodoh di skip aja.

Last but not least,  tak ada yang baru di tahun baru. Justru kita semakin menua, kita semakin termakan waktu. Kurasa, kita sudah cukup untuk bermain-main kata dan melakukan hal hura-hura. Fokus pada hal-hal yang tak penting untuk menguatkan alibi menghabiskan masa muda. Rasanya aku cukup kacau ditahun-tahun belakang ini. Hingga sedikit banyak aku tak bisa meliki apa-apa yang patut untuk dikenang. Sekalipun ada rasa yang ingin aku banggakan. Dan, ditahun ini. Aku ingin mengubah apa yang bisa ku ubah. Melakukan apa yang bisa aku lakukan. Karena aku sadar. Waktu akan terus berjalan menggerus tenaga, pikiran dan kenyataan. Namun sejauh ini, prestasiku hanya sebesar kepala tangan. Sungguh tak mengesankan bukan. Oke curhat gak penting kelar. 

So, Let’s create our dream come true. New Year just new year. Doesn’t matter its new year, new  month  or new days. Everything depend on our self.