Cerpen Tentang Arashi - Konflik


Rasanya gak ada hari tenang saat ini antara aku dan Aras. akhir-akhir ini. Selalu saja ada konflik contohnya saja saat ini. Hubunganku dengan Aras merenggang akhir-akhir ini. Mungkin tak seperti dulu jika aku ada masalah dengannya aku akan mengindar, aku lebih memilih tak menjelaskan kenapa aku berubah acuh padanya. Kali ini, sesuai kesepakatan kami, apapun permasalahannya kami akan bicarakan. Setelah tahu Tia satu kampus dengan kami. Bahkan satu fakultas dengan Aras. Aku menggali informasi lebih. Entah Aras sengaja menutup-tutupi atau memang tak mau tahu, ternyata Tia tak pernah ada rasa dengan Gito. Mereka hanya bertahan 2 bulan. Dan peristiwa di mall beberapa waktu lalu adalah ending dari mereka berdua. Aku sebenarnya tak perduli meski hubungan mereka berakhir, hanya saja foto yang Tia posting dengan Aras meskipun tak tampak wajahnya membuat aku penasaran. 

Dan sialnya lagi Bagas, teman satu angkatan Aras pernah bilang jika Tia kerap sekali memper-memper ke Aras. Sebalku memuncak, Aras sama sekali tak pernah singgung soal Tia didepanku. Berkali-kali aku redam amarahku dengan berpikir positif Aras gak mungkin flirt, dia gak suka sama Tia. Namun, pikiran buruk selalu aja datang kala aku lihat postingan foto itu. Semuanya mengumpul dikepala dan akhirnya pikiran jelekku yang menang. Aras sengaja menutup-nutupi.
Hari ini Aras akan datang kerumah, katanya ada sesuatu yang perlu dijelaskan padaku. Kebetulan sekali aku juga mau sampaikan tentang ini. Semuanya mengusik pikiranku hingga aku tak senang sendiri. Jam 4 sore, Aras sudah mengabariku jika dirinya dalam perjalan kerumah. Kebetulan Bunda dan Ayah sedang ada acara kondangan jadinya aku dirumah sendirian. 

“Assalammualaikum”
“walaikumsalam” balasku yang tak beranjak dari sofa ruang tamu. Ketika kepala kutolehkan kebelakang sudah ada Aras yang masuk kedalam, karena memang sebelumnya aku berpesan untuk masuk saja dan menunggu di ruang tamu.
“sini duduk” aku menepuk tempat duduk sampingku dan bergeser
Aras memberikan senyumnya kemudian duduk disampingku. Kita saling pandang, pandangan Aras kali  ini sama sekali tak membuat aku terkesan dan dia pun paham.
“bunda mana?”
“bunda lagi ada arisan di komplek sebelah, bentar aku ambilin minum mau apa?” tawarku padanya.
“air putih dingin aja”
Aku meletakkan air putih dingin dan kue yang bunda buat tadi pagi diatas meja. Kami terdia sesaat. Lalu Aras menarik nafas panjang terus menghembuskannya pelan-pelan. Memanggil  namaku dengan nada rendah. Aku paham, dia ingin menyelesaikan masalah seminggu belakangan ini. Aku menunggu dia menyelesaikan apa yang terbesit dikepalanya.
“aku mau jelasin sesuatu, soal foto yang kamu ss waktu itu” jelasnya langsung ke inti permasalahan kami
“butuh waktu berhari-hari ya, jelasinnya?” sahutku sinis
“bukannya gitu, kan setelah kamu ngasih tau, aku langsung jelasin tapi kamu nolak itu. Kamu kayak gak mau dengar”
“kamu bohong Aras!, kamu bohong ke aku, itu masalahnya!”
“aku tau aku salah, tapi aku gak maksud bohongin kamu, Bi”
“gak maksud?” aku mengulang apa yang disampaikan Aras, memastikan jika ucapan Aras barusan adalah kesalahan
“aku gak maksud bohongin kamu, kalau aku cerita aku lagi sama dia, kamu pasti salah paham, ya kan?”
“sekarang lihat? Kamu gak cerita apa aku gak salah paham?!!”
“mangkannya itu aku mau jelasin semuanya, aku juga kaget kalau Tia satu angkatan denganku, kemarin dia muncul tiba-tiba dari belakang pas aku sama anak-anak yang lainnya lagi nongkrong di kantin, ku gak tau kalau dia ambil foto itu”
“bukannya kamu bilang dikelas!, kamu juga bohong soal itu?”
“aku dikelas tapi gak lama, karena dosennya cabut setelah ngasih soal. Aku gak ngehampiri kamu soalnya temen-temen minta aku nunggu bentaran dan Tia ada disana waktu itu”
“Ras, dalam sehari itu udah berapa kali kamu bohong. Kamu kayak kebakaran jenggot aku deket sama Gito, tapi kamu sendiri?!!!!”
“Bi, kok marah-marah gini sih, kan aku mau jelasin, aku minta maaf aku salah. Tapi sungguhan aku gak ada maksud kayak gitu” pintanya meraih tanganku, namun aku segera melepas paksa. Masih belum terima aku dengan apa yang baru saja dia jelaskan
Aku menatapnya dengan pandangan sebal “aku gak masalah kalau memang dia satu kelas sama kamu, aku percaya sama kamu, tapi kalau kamu udah bohong kayak gini dan gak jujur. Mana bisa aku percaya sama kamu lagi, Ras. Bukannya kamu bilang kalau kita harus saling terbuka?”
Aras menatap mataku lekat, rasanya cairan bening yang dari tadi tertahan meleleh membasahi pipi. Aku memang cenggeng tak bisa menahan hingga Aras pulang dari sini.
“aku minta maaf, Bintang” ucapnya penuh penyesalan. Wajahnya berubah sendu tak seperti tadi yang masih menyimpan amarah. Cowok itu menunduk, punggung tanganku berkali-kali ia usap. Matanya memandangku sayu. Mungkin dapat dikatakan aku luluh dengan sikapnya yang seperti ini

***
Sejak hari itu, aku minta Aras untuk tak mengusikku tentang Gito, kita sepakat untuk saling percaya. Sulit memang percaya pada orang yang telah membohongi kita dengan cara jitunya. Tapi tetap saja jika dihadapkan dengan perasaan, semuanya itu seolah menjadi angin lalu. Memilih untuk memaafkan dan memberikan kesempatan baru itulah cara yang kami pilih. Aku memberi kesempatan Aras untuk bisa merubah pemikirannya. Tak lagi posesif dan membiarkan aku berteman dengan siapa saja. Untuk masalah Tia dan Gito. Masing-masing dari kami sebisa mungkin menjaga jarak pada manusia aneh itu.
“nanti kamu pulang sendiri apa nunggu aku?” tanya Aras dalam mobil sebelum menurunkanku didepan fakultas
“aku pulang sendiri aja, kamu kan sampek sore. Kelasku Cuma sampek siang daripada gabut mending aku pulang”
“heem” angguknya sembari tangan kanannya mengelus puncak kepalaku.
“belajar yang bener, tolong kondisikan kalau sekarang udah punya pacar!!” tegasku padanya sebelum turun
“siap bos” ucapnya dengan memberi hormat yang kemudian di iringi tawa kami.
Langkahku ringan menuju kelas dilantai 2. Hari ini jadwal kuliah Public Speaking,  beruntungnya dosenku tak sekiller teori komunikasi.
“Bintang” tempukkan kudapat sebelum melangkah masuk kedalam kelas. 
“eh, Dira. Baru pulang kerja?” sapaku pada sesosok yang aku hapal betul selama kuliah disini. Dia hanya mengangguk, matanya terlihat seperti panda. Mungkin dia begadang setelah menyelesaikan pekerjaan paruh waktunya. Aku kagum dengan dia, aku yang saat ini masih bergantung pada orangtua. Sedangkan dia, sudah bisa menghidupi orang tua dan dua adiknya yang sedang sekolah.
“tugas udah selesai dikerjain?” tanyaku.
“udah kok”

Selesai kelas aku dan Dira menuju kantin kampus. Kebetulan hari ini dia Off kerja siang, tapi sore dia harus kembali di restoran. Anehnya satu perkerjaan libur, dia selalu punya kerjaan lainnya “lo gak capek apa, Ra’ kerja mulu?, setiap hari pula kerjanya, gak ada libur”
“kalau  gue merasa capek, keluarga gue gimana?. Haha. Kebetulan gue gak ngerti rasa capek itu definisinya apa yang jelas, gue ngerjain semuanya dengan senang hati kok” balasnya tanpa beban sekalipun.
“mau makan apa?”
“nasi goreng aja”
“tunggu disini aja, biar gue yang pesenin hitung-hitung gue traktir temen baru gue” pintaku padanya ketika dia akan bangkit dari kursi
“haha, oke”
Tak lama setelah itu, aku kembali membawa dua piring nasi goreng  dengan telur mata sapi sebagai penghias diatasnya. Tapi langkahku terhentik mendadak saat seseorang sedang asyik bercengkrama dengan Dira. Dunia emang sempit banget, kenapa juga ngelihat Dira lagi ngobrol seru sama Gito. Piring yang berisi nasi itu kuletakkan di atas meja. Keduanya menoleh
“Bi, kenalin ini temen SMP gue, Gito” ucap Dira. Rasanya Dira gak sadar kalau aku juga satu sekolah sama Gito.
“oo, lo temennya si wonder women  ini , Bi?” tanya Gito panggling
“iya, gue temennya” jawabku datar
“loh, kalian udah saling kenal?, dunia sempit banget ya, bisa ketemu dan satu fakultas disini”
Iya sempitt banget!
“kita satu sekolah pas SMA, kelas kita sebelahan, bahkan gue sempet naksir Bintang, tapi sayangnya dia nolak gue lalu pilih sahabatnya” jelas Gito
“ooooh, Bintang juga dari SMAN70” Dira mencoba memahami situasi saat ini
Mataku menyorot tajam ucapan Gito barusan. “gue gak suka sama Gito, karena Gito brengsek, Dir” ucapku tanpa pikir panjang
“ha?” tanya Dira tak mengerti, “lo brengsek ngapai, To’. Wah-wah lo ngehamilin anak orang?” tanya Dira penasaran
“sembarang bacotnya, tapi hampir sih. Haha”  balas Gito tanpa sungkan
Emang bener ya, kalau lagi ngomong sama kutu kucing kayak gini gak perlu terlalu dijaga, omongannya sampah semua
“gak lah, entah nih, Bintang nuduh gue brengsek tanpa bukti. Dosa lo Bintang kayak gitu” sungut Gito tak terima
“minggir kita mau makan, sumpek kalau banyak manusia dimeja ini”
Gito menggeleng-gelengkan kepala, sebelum beranjak pergi dia mengoyak-ngoyak Dira “gue pergi dulu ya, Won. Ntar singa betina ini ngaung kemana-mana ” pamit Gito itu pun pendapatkan cubitan  kecil dari Dira
“kalau ngomong ati-ati, ntar kecantol beneran”
Gito meringis kesakitan “gue udah ditolak sih” Jawab Gito, seperdetik kemudian tersenyum dan meninggalkan kami. Dahiku mengkerut mendengar panggilan Gito pada Dira. Won? Wonder Women?. Sedekat apa mereka ? aku jadi penasaran. Untuk pertama kalinya aku menghabiskan siang dengan Dira, yang awalnya makan siang berganti menjadi keseruan. Seharusnya aku sudah tiba dirumah tetapi karena keasyikan obrolan aku jadi lupa. Melirik jam tangan sudah pukul 4 sore. Akhirnya Dira berpamitan untuk segera mengerjakan pekerjaan paruh waktunya di restoran.
“gue pergi dulu ya, mau bareng gak?” ajaknya
“gak usah, gue mau ke FEB” 

Kami berjalan berlawanan arah, Dira keparkiran motor, sedangkan aku menuju fakultas Aras. Sengaja aku gak info Aras kalau aku bakalan pulang bareng dia. Karena ini serba dadakan jadinya aku menunggu di tempat nongkrong anak-anak FEB. Mataku melihat sekeliling gedung. Semuanya terlihat berbeda meskipun kami berada kampus yang sama. Untuk FEB , fakultas tersebut lebih terlihat rapi. Didominasi dengan warna oranye serta fakultas ini lebih luas dari pada tempatku.
Melirik jam sekali lagi, seharusnya para mahasiswa sudah keluar kelas. Karena aku tak tahu dimana kelas Aras, aku putuskan untuk menunggunya diparkiran. Setelah berkeliling mencari mobil Aras, aku menemukannya. Tak berapa lama kemudian aku melihat Aras berjalan kearah  parkiran. Karena saat ini aku ingin memberikan kejutan, aku bersembunyi dibalik pintu mobil dengan mengendap-endap. Alih-alih memberi kejutan, Justru aku yang diberinya surprise  karena seseorang yang tak kuharapakan kini ada dan berjalan disampingnya. Siapa lagi kalau bukan Tia si mak lampir licik yang punya segudang trick untuk dapat perhatian Aras. Ternyata mereka akan pergi berdua. Jadi ini kesempatan yang aku kasih disia-siain.
“tolong pegangin buku ini dong, gue mau ambil ponsel” ucap Tia menyodorkan binder merah pada Aras
Tanpa banyak bicara, Aras menurut apa yang diperintahkan Tia. Aku kecewa melihat pemandangan yang ada didepanku saat ini. Aku menunggu sampai mereka mendekat kearahku. Ketika Tia sudah duduk di jok mobil disamping kemudi, dan saat Aras baik di kursi kemudi dan akan menutup pintu mobil aku segera menahannya. Matanya membola menunjukkan betapa kagetnya dia ketika aku memergoki dirinya yang kini sedang satu mobil bersama Tia.
“Bintang!!
“mau kemana? Mau anter dia pulang” ucapku dengan menunjuk Tia yang sedang duduk di kursi sampingnya.


Hidup Itu Susah Tapi Hidup Harus Tetap Bantu Orang

Untuk orang di sekitarku, terima kasih telah mengajarkan banyak hal tanpa di sengaja, tanpa aku sadari anda telah banyak memberi, tanpa pamrih ataupun show off how kind you are. I think you are just being natural, because you are what it is and I’m really impressedSometimes I look didn’t care at all, silly, miserably and annoyed so much. Actually I didn’t meant it. I just try to figure out how to fix my mistakes. But in the end i just screwed up. Sorry 

Pagi ini tak seperti pagi biasanya, kantor memintaku untuk menjadi salah satu anggota pendamping event di salah satu SD di Surabaya. Setelah menyelesaikan tugas pagi untuk membangun tenda kami sendiri, aku duduk-duduk tak jauh dari booth. Di samping ada seorang driver kantor bernama pak Mahmud. Tak jauh dari posisi kami ada satu sales kordinator. Karena merasa tak ada kegiatan selanjutnya sambil menunggu acara mulai aku hanya bermain ponsel sedang pak Mahmud nampak kelelahan setelah membangun tenda.

Beberapa saat kemudian mata kami menangkap para guru dan pegawai kantin sedang gotong royong menyampingkan bangku kantin yang menutup jalan antara pelataran sekolah dan pelataran masjid untuk tim EO membangun mini panggung. Menurutku karena saat itu sudah banyak yang membantu, jadi aku hanya mengamati mereka dari tempatku. Tapi tidak dengan pak Mahmud, beliau dengan segara berdiri dari posisinya dan berlari menghampiri mereka untuk turut membantu. Meskipun mereka tak mengizinkan karena menurut mereka pekerjaan itu bisa diselesaikan sendiri, namun beliau keukeuh untuk membantu.

Tak hanya sekali, berkali-kali aku melihat antusias pak Mahmud untuk membantu sesama disana, tak perduli kenal ataupun tidak, pak Mahmud seolah tak merasa lelah. Dari sana aku mulai terkesan dengan kepribadian beliau dan ingin mengajaknya berbicara santai. Aku ingin tahu apa yang dipikirkan beliau saat membantu orang yang tak beliau kenal ataupun niatan beliau melakukan hal tersebut. Selepas seluruh aktivitas yang beliau lakukan, aku menghampiri beliau yang duduk di deretan kursi kantin tak jauh dari tempatku. Sejujurnya ini baru pertama kalinya aku berbicara dengan beliau. Sebelumnya tak pernah atau mungkin tak sempat. Atau mungkin aku takut. Hehe Kami memang satu naungan perusahaan namun karena beliau penempatan di luar kota, jadi intensitas bertemu kami jarang.

"pak Mahmud, saya mau nulis nih tentang profile buat di blog, gak apa-apa ya pak?" izinku pada beliau
"buat apa, Mbak?" 

"iseng pak, coba-coba aja, gak, apa-apa ya pak, sekalian tak rekam pak ben ndak lali (lupa-red)"

"halah ngapain di rekam, mbak"

"wes to (udahlah  pak - Red), pak biar ndak lali lo"

(hanya tersenyum lalu mengangguk)

Aku menggali informasi mengenai beliau mulai dari awal kerja hingga kehidupan pribadi. Pak Mahmud miliki nama asli Imam Kurniawan namun orang kantor terbiasa memanggil beliau dengan nama Mahmud. Pria berusia 51 tahun telah mengabdi diperusahaan tempat kami bekerja hampir 20 tahun lamanya. Pak Mahmud memiliki bentuk tubuh gemuk, kerut wajahnya  seolah menunjukkan usianya, tak bisa dihindari lagi tergambar jelas diwajahnya. Pria yang sudah berusia lebih dari separuh abad ini sangat santai ketika aku gali kehidupan pribadinya.

“saya dulu kerja disini (tempat kami bernaung) diawal tahun 1997, waktu itu saya di bantu ipar saya buat kerja disini, Mbak. Dulu kerja saya serabutan. Oh ya, Jaman moneter itu saya sempat dirumahkan karena perusahaan hampir saja tutup.” kenang pak Mahmud.

Ada masa sulit yang beliau alami waktu Indonesia sedang carut marut terkena krisis, Yang paling terasa adalah pemasukan berkurang sedangkan pengeluaran semakin tinggi. Beruntungnya istri pak Mahmud masih bekerja di perusahaan rokok, sehingga untuk asap dapur bisa terus mengepul. Setelah krisis moneter usai, perusahaan memanggil kembali beliau untuk kembali bekerja sebagai supir. Kala itu gaji yang diterima beliau sebesar 350rb perbulan. Untuk keluarga tentunya penghasilan tersebut masih kurang ditambah kewajiban menyekolahkan dua anak.

“sebenarnya saya juga binggung, tapi mau gimana lagi soalnya ijazah cuma SMP, saya sering pindah-pindah kerja. Cuma ini aja kerjaan yang paling lama. Tapi perusahaan gak ngekei opo-opo, padahal awak dewe iki wong lawas (memberi apa-apa, padahal saya ini orang lama- Red). Mau protes keatasan ya gak digubris. Untunge bojoku ( beruntungnya Istriku- red) kerja di perusahaan rokok, jadi bisa ketolong” ucap beliau dengan memainkan tutup botol minuman yang ada dihadapannya.

Berbeda dengan pak Mahmud, kakak ipar yang mengajak beliau untuk bekerja kini telah menikmati masa tuanya membuka usaha kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan. “Sekarang kakak saya sudah pensiun, oh bukan pesiun tapi keluar dan buka usaha sendiri dirumah. Disini gak ada yang namanya pensiun, perusahaan pasti gak mau kasih pesangon, jadi nunggu pegawainya sendiri yang keluar”

Katakan saja perusahaan tempat kami bekerja tak seimbang memberikan reward  yang sesuai. Contohnya beliau yang tak bisa bertindak lebih, karena terbatas dengan usia. Bahkan untuk pegawai yang bahkan hampir menghabiskan lebih dari separuh kehidupannya disana. 

Kedua anaknya kini masih mengenyam pendidikan, untuk sulung beliau sekolah di sekolah kejuruan multimedia, sedangkan si bungsu masih duduk di menengah pertama. Keinginan beliau hanya ingin melihat apa yang di impikan anak-anaknya menjadi nyata. Jika mereka ingin kuliah sebisa mungkin akan beliau usahakan untuk mewujudkannya “kalau yang besar kalau mau kuliah ya kuliah tapi rasanya dia pengen kerja, kalau si bungsu rasanya pernah ngomong kuliah”

Pria kelahiran 24 November 1966 ini, hanya tersenyum ketika aku tanya mengenai hidup. Dan alasan membantu orang-orang yang ku lihat tadi. Tak ada pernyataan dengan kalimat yang intelek yang keluar dari bibir belia. Hanya saja, kalimat yang beliau utakan pas tepat sasaran sebut saja itu hati. Pemahaman beliau tentang hidup itu memang cukup pelik tapi asyik. “hidup susah memang tapi, pokoknya hidup dan bantu orang, kalau gak isok bantu duit ya bantu tenaga lak isok, ngunu waelah Mbak (kalau gak bisa bantu uang tenaga kan bisa gitu aja mbak- red)”

Mungkin pembicaraan kami singkat, karena memang dalam kondisi event berlangsung. Namun pelajaran yang saya petik dari obrolan santai kami begitu penting nilainya. Untuk kita yang sering mengeluh dengan sesuatu belajarlah menerima apa yang ada didepan mata. Kalau masih memungkinkan berusaha. Maka berusaha hingga temukan titik menyerah. Sedangkan menyerah anggap saja dikamus hidupmu tak pernah ada.

Note : I’m really thankful and grateful, whatever you have done, maybe it was simple but from the other likes me  it such as slap.  Now, i realize i have a chance to improve my life gets better.

Kesempatan Yang Sia-Sia

Mungkin aku yang salah tak hati-hati memberikan kesempatan kedua pada dia yang tak bisa menjaga. Mungkin juga terlalu sulit baginya untuk setia pada satu rasa hingga ia mengabaikan apa telah kupercayakan untuknya. Di sini semuanya menjadi lebih parah. Luka yang  belum pulih benar semakin menjadi dan tak kunjung terobati. Dia memutuskan untuk menghianati apa yang sudah kupercayakan, tak sekalipun perduli dengan sejauh apa aku meyakini diri sendiri jika ia patut untuk kesempatan sekali lagi.

Memberikan kesempatan kedua menurutku tak salah. Manusia tentu mengenal kata jera. Barangkali kesempatan itu akan digunakan sebaik-baiknya. Tak mengulangi salah dan berencana untuk sesuatu yang lebih indah kedepannya. Menaruh harap kelak dengan kesempatan kedua seseorang akan kembali percaya padanya. Tak memandang lagi masa lalu yang diisi penuh dengan tangis sendu.

Namun, pikiranku tak selaras dengan jalan pikirannya. Dia merancau dengan mudahnya. Membuang jauh-jauh janji yang diutarakan tanpa risih. Memilih mematahkan hati di tengah jalan lantaran rasa bosan menyeruak tak karuan. Membuat aku lagi-lagi tersakiti hingga ke ulu hati. Terlebih membuatku membencinya setengah mati. Begitulah kesempatan kedua yang dia dapatkan  dengan sengaja  disia-siakan tanpa pikir panjang.

Kadang yang nampak indah memang tak bisa menjamin bahagia. Buktinya dia yang kuberi leluasa dan  menggebu ingin bersama, bertindak sebaliknya. Semakin melukai, menggores hati dan tak lagi menghargai. Dia memang jauh dari sempurna. Aku tak akan menuntut bahkan tak kupermasalahkan hal itu. Hanya saja, aku ingin dia memperbaiki yang pernah ia rusak. Menyambung apa yang telah ia putus sepihak. Hingga pikirku memberikan kesempatan kedua adalah solusinya. Tapi nyatanya aku salah. Logiku lumpuh terserang cinta buta. Dia kembali seperti semula, menyakiti tanpa ampun meremehkan yang ku titipkan yakni perasaan.

Cerpen Tentang Arashi - Cemburu Part 2

Part 17 of Tentang Arashi. Anyway bagi yang lelah baca note dari author mohon maklumi, karena author bakalan jarang update ini story. bukannya lagi males tapi gak sempat kerjaan  numpuk. yaa begitulah orang sibuk yang lagi cari kesibukan. jadi sibuknnya numpuk. 

Selamat baca yaa... 

Sejak Aras tau kalau Gito satu fakultas denganku, dia kini jadi protektif. Aku sendiri gak paham kenapa sifatnya jadi pengekang seperti itu. Kalau ditanyai percaya aku apa enggak, dia bilangnya percaya. Tapi prakteknya nol besar. Buktinya aja sekarang, ijeda jam kuliah usai dari siang ke sore 30 menit aja masih disempet-sempetin ke fakultasku. Alasannya daripada nunggu sendirian di fakultas dan temen-temennya bolos jam selanjutnya, oke kali ini aku percaya.  Aku duduk di gazebo kampus menunggu pacar tampanku datang, janjiannya sih emang disini. Ngelempar padangan kesekitar, aku ngeliat dari jauh, itu orang udah dada-dada kayak kita gak ketemu satu tahun. Padahal kan kita ketemunya hampir setiap hari.

 

Dia datang dengan lari kecil, setelah berada didepanku nafasnya nampak ngos-ngosan. Ngapain juga lari-lari toh aku ya gak kemana-kemana “dari tadi?”  tanyanya

Aku nggeleng “baru aja keluar kelas, ngapain sih lari-lari” balasku menepuk pundaknya pelan

“takutnya kamu nunggu lama, ayo makan di fakultas kamu aja” Ajaknya dengan ngelingkarin satu tangan ke pundakku

Seperti biasa, belum juga jawab doi udah ngebalik langkah menuju kantin dibelakang gedung. Sebenernya aku gak mau, soalnya selalu ada Gito disana demi kenyamanan bersama mending ngejauh kan?, Tapi Aras keuhkeuh mau di kantin Fisip aja dan urusan Gito, dia gak mau ambil pusing. Toh, makan juga ditempat umum, bukan ditempatnya. 

 

“ada Gito disana, Ras”

“terus kenapa?”

“ya gak kenapa-kenapa sih, yaudah lah ayok” jawabku untuk ngehindari pertanyaan horor selanjutnya.

“mau makan apa?”

“nasi gor.. eh mie ayam aja” Jawabku. Sejurjurnya pengen nasi goreng, tapi karena warung nasi goreng dikampus cuma satu disana, dan kebetulan Gito lagi kongkow sama temennya di situ. Guna keamanan  diri dan gak bikin Aras manyunin bibirnya 5 senti, mending pesen yang lain, iya kan?. sebenarnya gak ada yang salah sih, toh Gito juga udah ada kekasihnya, tapi ngeliat Aras yang cemburu kapan hari ngebuat aku jadi was-was kalo ngebiarin Gito sama Aras satu tempat.

“yaudah, tunggu sini ya, aku pesenin”

Ketika Aras pergi ke lapak mie ayam, dari aras berlawanan Gito datang, cari perkara nih orang “ngapain!?” tanyaku sinis

“ya, kan gue mau pesen makan disini, emang ini warung punya lo?” balasnya santai lalu dengan entengnya duduk disampingku. Emang sengaja cari gara-gara nih orang.  Gak tau apa sebab dia kapan hari, Aras jadi senewen sendiri.

“yaudah pesen sana, gak usah deket-deket risih!”

“yaelah Bintang, ini tuh tempat umum serah gue dong mau duduk dimana, lo lihat gak kalau disini gak ada keterangan cowok ganteng dilarang duduk”

“ha? Ganteng cih!, minggir deh. Masih banyak kursi lain, itu mata gak ngelihat kalau meja ini ada orangnya, pergi”  Bentak ku padanya.

Ketika dia mau duduk, aku langsung ambil kursinya jadilah dia terjerembat kebelakang. Aku tertawa senang ngelihat tu manusia begok kesakitan “Bintang, resek lu ya!” ringisnya sambil elus-elus pantat yang cium lantai

“syukurin, lagian kamu di kasih tau ngeyel, ini meja udah ada penghuninya, mending cari tempat lain” usirku

“kalau gue gak mau”

“oke, silahkan ambil tempat duduk ini, mending aku yang pergi” buru-buru aku pergi. Gito berdiri dan cegah tanganku.

 “gak usah kemana-mana mending disini aja, gue yang pergi” Gito narik tanganku dan nyuruh aku duduk ditempat semula, kemudian dia berdiri pergi. Tapi sebelum itu, kalian tahu kan siapa yang ngeliat tadi, mak lampir?, bukan but Aras.  Iya Aras, doi datang dengan tatapan tajam. Aku gak pernah liat Aras semarah ini sebelumnya. Dengan langkah kaki cepat dia naruh mie ayam dimeja lalu ngehadang Gito

“lo jangan pernah ngusik pacar gue!!” acamnya 

 

Gito yang gak nyaman karena tangan Aras mencengkram pundaknya, ngelepas kasar “gue gak ganggu cewek lo, minggir”  balas gitu melewati Aras dengan sengaja menyenggol pundak Aras.

YA LORD , mereka berdua sejak kapan sih kayak gitu. Malu-maluin tau gak, kayak bocah yang lagi rebutan kelereng. Sebelum Aras nyusul Gito, dengan segera aku ngedeketin Aras “udah yuk, malu nih diliatin yang lain” ucapku ngelihat sekeliling yang pada ngelihatin kami. Sedangkan Gito udah enyah dari jangkauan kami. Aku dan Aras kembali ketempat duduk. Mie yang tampaknya lezat ini sekarang cuma aku mainin. Gak tau kenapa nafsu makan tiba-tiba lenyap gitu aja.

“gak dimakan, Bi mienya?” tanya Aras yang dengan entengnya ngucah itu mie dengan lahap

“udah gak selera” balasku ogah-ogahan.  Tiba-tiba Aras naruh garpunya lalu beralih ambil paksa garpu yang aku pegang. “ngapain?” tanyaku, Aras gak njawab tapi kegulung mie lalu disodorin ke mulutku kayak bayi yang emoh makan “aaaaaaa”

Aku ngegeleng kuat, kayak bocah kan, suap-suapan di tempat umum “udahlah ayok aaaa” paksa Aras. Tetep aja aku ngegeleng, ini Aras apa-apa sih lagi bete juga tapi dianya ngeyel buat nyuapin ini mie ke mulutku.

Pantang nyerah, Aras terus aja nyodorin garpu yang ada gulungan mie ke bibirku, alhasil itu mie aku lahap dengan rasa kesal, tapi ngelihat Aras yang tersenyum senang, aku reflek tersenyum juga. Emang gini ya, mau semarah apapun sama pasangan, tapi kalau dia sekali ngebaikkin kita, pasti kita bakalan luluh, ya gitulah cewek. Acara suap menyuap itu cuma sekali, karena selanjutnya itu garpu udah kembali ketangan.

***

Acara makan siang bareng Aras kelar! Dia udah balik ke fakultasnya dan akupun buru-buru balik kelas buat matkul selanjutnya. Tapi sebelum itu Aras pesen kalau selesai jam kuliah sore, aku harus nunggu ditempat biasa gak boleh ada temen cowok apalagi GITO!. Dia notice nama itu berkali-kali kalau aku gak boleh deket dengan Gito. Padahal kan aku juga gak mau deket-deket  sama pacar mak lampir itu.

Ngomong-ngomong mak lampir, beberapa hari lalu setelah ketemu Gito dan dia di Mall, aku juga ketemu teman SMA. Katanya sih doi juga kuliah di UI dan satu fakultas dengan Aras. Ya! dengan Aras di FEB, dan Aras gak pernah ngomong ke aku soal itu.  oh Tuhan, ini kenapa kesilang gini yaa, tapi aku percaya Aras kalau dia gak bakalan macem-macem selama aku disampingnya. Sama kayak dia, dia takut kehilangan aku begitu juga sebaliknya. 

 

Kelar kelas, aku segera ngelangkah kearah tempat kita janjian untuk pulang bareng. Setibanya disana, kukirimkan pesan ke Aras kalau aku udah stand by. Doski minta aku nunggu 10 menit lagi, karena dosennya lagi ngasih kuis. Iseng mainan intagram, di safari muncul foto Tia dan seseorang laki-laki dengan caption “the one I want it”. Pertama aku gak ngeh siapa cowok yang ada disampingnya, karena posisi si lampir foto sandar kepala ke si cowok yang lagi nadep depannya. Tapi pas aku tamat-tamatin, kok kayak kenal sama jaket sama gelang yang pakai. Kalau dilihat ciri-cirinya dari belakang masa’ iya Gito. Tapi bisa jadi sih, kan Gito saat ini cowoknya. Aku ngelempar pandangan sekeliling, dan pas! Saat itu ada Gito yang lagi jalan menuju parkiran mobil sama temen-temennya. Lagi pula, rambur Gito sedikit gondrong. 

 

Aku lirik lagi foto si lampir dia upload foto itu 30 menit yang lalu. Aku perbesar fotonya dan, well! , langsung ngeh kalau Aras. Aku yakin banget kalau itu Aras. Satu, Aras punya jaket League warna coklat yang selalu dia taruh mobilnya. Dua, gelang yang dipakek cowok itu persis gelang yang Aras pakai saban hari. Tiga, potongan rambut itu, mirip banget kayak Aras dan terakhir paling nyesek, cowok itu bawa ponsel yang ada gantungan kunci dengan inisial gitar. Mirip banget dengan hadiah yang aku kasih ke dia pas aku jalan-jalan bareng Kanaya kapan hari.

Oke masuk akal, itu Aras!

“sabar Bintang, nunggu Aras ngomong langsung aja, dia ngaku enggak nanti” cuapku seorang diri. Aku menghela nafas berkali-kali. Sudah bukan rahasia umum kalau lampir satu itu gatel ke Aras, tapi anehnya kenapa Aras diem aja kalau dia satu fakultas dengan dirinya. Dia gak pernah cerita, aku kecewa sama Aras. Gak lama setelah itu terdengar suara klakson dari  sampingku. Itu mobil Aras. Dengan langkah berat aku masuk kedalam mobil dan lagi-lagi ngeliat Aras, dari tampilannya, rasa-rasanya  Aras sama persis yang ada di foto. Itu berarti foto diambil hari ini.

Suasana mobil hening, aku masih mikir kenapa bisa ada foto itu dan lagi bukannya Aras tadi bilang dosennya lagi ngasih kuis, jadi dia udah bohong ke aku, kok pinter gitu sekarang. Aku diposesifin tapi dianya ngelaba sama orang lain.  

 

“Dosennya lama ya ngasih kuis?” tanyaku memancing obrolan. Aku pikir dianya bakalan ngaku dan minta maaf. Tapi enggak, pandangannya masih fokus arah depan mengemudi mobil.  Bahkan sekalipun ketika balas omonganku dia gak natap aku sama sekali. “iya, dosennya resek banget”

“hmm”

“kenapa? Kamu nunggu lama ya ?”

“barusan”

“tadi ketemu siapa aja?”

“ha? Pertanyaannya kok gitu, ya ketemu temen kampus lah, kamu kenapa sih?”

“ohh, kukira ketemu kuntilanak, gak apa-apa cuma pengen tanya aja. Aku ngantuk aku tidur bentar ntar kalau nyampek rumah bangunin”

“oke” balasnya datar.

Mataku memutar kearah luar jendela, menarik sedikit jok kursi kebelakang lalu memejam mata. Aku tak mengantuk sama sekali. Hanya saja aku tak ingin ada percakapan lebih hari ini dengan Aras. Kalau dia gak jujur denganku kenapa aku bilang apapun ke dia. Aku aja gak dia anggap kenapa aku perlu repot-repot jelasin semuanya panjang lebar.