Cerpen Tentang Arashi - Konflik
Hidup Itu Susah Tapi Hidup Harus Tetap Bantu Orang
Untuk orang di sekitarku, terima kasih telah
mengajarkan banyak hal tanpa di sengaja, tanpa aku sadari anda telah banyak
memberi, tanpa pamrih ataupun show off how kind you are. I think you
are just being natural, because you are what it is and I’m really impressed. Sometimes
I look didn’t care at all, silly, miserably and annoyed so much. Actually I
didn’t meant it. I just try to figure out how to fix my mistakes. But in the
end i just screwed up. Sorry
Pagi ini tak seperti pagi biasanya,
kantor memintaku untuk menjadi salah satu anggota pendamping event di
salah satu SD di Surabaya. Setelah menyelesaikan tugas pagi untuk membangun tenda
kami sendiri, aku duduk-duduk tak jauh dari booth. Di samping ada
seorang driver kantor bernama pak Mahmud. Tak jauh dari posisi
kami ada satu sales kordinator. Karena merasa tak ada kegiatan selanjutnya
sambil menunggu acara mulai aku hanya bermain ponsel sedang pak Mahmud nampak
kelelahan setelah membangun tenda.
Beberapa saat kemudian mata kami menangkap para
guru dan pegawai kantin sedang gotong royong menyampingkan bangku kantin yang
menutup jalan antara pelataran sekolah dan pelataran masjid untuk tim EO
membangun mini panggung. Menurutku karena saat itu sudah banyak yang membantu,
jadi aku hanya mengamati mereka dari tempatku. Tapi tidak dengan pak Mahmud,
beliau dengan segara berdiri dari posisinya dan berlari menghampiri mereka
untuk turut membantu. Meskipun mereka tak mengizinkan karena menurut mereka
pekerjaan itu bisa diselesaikan sendiri, namun beliau keukeuh untuk membantu.
Tak hanya sekali, berkali-kali aku melihat antusias pak Mahmud untuk membantu sesama disana, tak perduli kenal ataupun tidak, pak Mahmud seolah tak merasa lelah. Dari sana aku mulai terkesan dengan kepribadian beliau dan ingin mengajaknya berbicara santai. Aku ingin tahu apa yang dipikirkan beliau saat membantu orang yang tak beliau kenal ataupun niatan beliau melakukan hal tersebut. Selepas seluruh aktivitas yang beliau lakukan, aku menghampiri beliau yang duduk di deretan kursi kantin tak jauh dari tempatku. Sejujurnya ini baru pertama kalinya aku berbicara dengan beliau. Sebelumnya tak pernah atau mungkin tak sempat. Atau mungkin aku takut. Hehe Kami memang satu naungan perusahaan namun karena beliau penempatan di luar kota, jadi intensitas bertemu kami jarang.
"pak Mahmud, saya mau nulis nih tentang profile buat di blog, gak apa-apa
ya pak?" izinku pada beliau
"buat apa, Mbak?"
"iseng pak, coba-coba aja, gak, apa-apa ya
pak, sekalian tak rekam pak ben ndak lali (lupa-red)"
"halah ngapain di rekam, mbak"
"wes to (udahlah pak - Red), pak biar
ndak lali lo"
(hanya tersenyum lalu mengangguk)
Aku menggali informasi mengenai beliau mulai dari
awal kerja hingga kehidupan pribadi. Pak Mahmud miliki nama asli Imam Kurniawan
namun orang kantor terbiasa memanggil beliau dengan nama Mahmud. Pria berusia
51 tahun telah mengabdi diperusahaan tempat kami bekerja hampir 20 tahun
lamanya. Pak Mahmud memiliki bentuk tubuh gemuk, kerut
wajahnya seolah menunjukkan usianya, tak bisa dihindari lagi
tergambar jelas diwajahnya. Pria yang sudah berusia lebih dari separuh abad ini
sangat santai ketika aku gali kehidupan pribadinya.
“saya dulu kerja disini (tempat kami bernaung)
diawal tahun 1997, waktu itu saya di bantu ipar saya buat kerja disini, Mbak.
Dulu kerja saya serabutan. Oh ya, Jaman moneter itu saya sempat dirumahkan
karena perusahaan hampir saja tutup.” kenang pak Mahmud.
Ada masa sulit yang beliau alami waktu Indonesia sedang carut marut terkena krisis, Yang paling terasa adalah pemasukan berkurang sedangkan pengeluaran semakin tinggi. Beruntungnya istri pak Mahmud masih bekerja di perusahaan rokok, sehingga untuk asap dapur bisa terus mengepul. Setelah krisis moneter usai, perusahaan memanggil kembali beliau untuk kembali bekerja sebagai supir. Kala itu gaji yang diterima beliau sebesar 350rb perbulan. Untuk keluarga tentunya penghasilan tersebut masih kurang ditambah kewajiban menyekolahkan dua anak.
“sebenarnya saya juga binggung, tapi mau gimana
lagi soalnya ijazah cuma SMP, saya sering pindah-pindah kerja. Cuma ini aja
kerjaan yang paling lama. Tapi perusahaan gak ngekei opo-opo, padahal
awak dewe iki wong lawas (memberi apa-apa, padahal saya ini orang
lama- Red). Mau protes keatasan ya gak digubris. Untunge bojoku (
beruntungnya Istriku- red) kerja di perusahaan rokok, jadi bisa ketolong” ucap
beliau dengan memainkan tutup botol minuman yang ada dihadapannya.
Berbeda dengan pak Mahmud, kakak ipar yang mengajak
beliau untuk bekerja kini telah menikmati masa tuanya membuka usaha
kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhan. “Sekarang kakak saya sudah pensiun, oh
bukan pesiun tapi keluar dan buka usaha sendiri dirumah. Disini gak ada
yang namanya pensiun, perusahaan pasti gak mau kasih pesangon, jadi nunggu
pegawainya sendiri yang keluar”
Katakan saja perusahaan tempat kami bekerja tak
seimbang memberikan reward yang sesuai. Contohnya beliau
yang tak bisa bertindak lebih, karena terbatas dengan usia. Bahkan untuk
pegawai yang bahkan hampir menghabiskan lebih dari separuh kehidupannya
disana.
Kedua anaknya kini masih mengenyam pendidikan,
untuk sulung beliau sekolah di sekolah kejuruan multimedia, sedangkan si bungsu
masih duduk di menengah pertama. Keinginan beliau hanya ingin melihat apa yang
di impikan anak-anaknya menjadi nyata. Jika mereka ingin kuliah sebisa mungkin
akan beliau usahakan untuk mewujudkannya “kalau yang besar kalau mau kuliah ya
kuliah tapi rasanya dia pengen kerja, kalau si bungsu rasanya pernah ngomong
kuliah”
Pria kelahiran 24 November 1966 ini, hanya tersenyum ketika aku tanya mengenai hidup. Dan alasan membantu orang-orang yang ku lihat tadi. Tak ada pernyataan dengan kalimat yang intelek yang keluar dari bibir belia. Hanya saja, kalimat yang beliau utakan pas tepat sasaran sebut saja itu hati. Pemahaman beliau tentang hidup itu memang cukup pelik tapi asyik. “hidup susah memang tapi, pokoknya hidup dan bantu orang, kalau gak isok bantu duit ya bantu tenaga lak isok, ngunu waelah Mbak (kalau gak bisa bantu uang tenaga kan bisa gitu aja mbak- red)”
Mungkin pembicaraan kami singkat, karena memang dalam kondisi event berlangsung. Namun pelajaran yang saya petik dari obrolan santai kami begitu penting nilainya. Untuk kita yang sering mengeluh dengan sesuatu belajarlah menerima apa yang ada didepan mata. Kalau masih memungkinkan berusaha. Maka berusaha hingga temukan titik menyerah. Sedangkan menyerah anggap saja dikamus hidupmu tak pernah ada.
Note : I’m really thankful and grateful, whatever you have done, maybe it was simple but from the other likes me it such as slap. Now, i realize i have a chance to improve my life gets better.
Kesempatan Yang Sia-Sia
Mungkin aku yang salah tak hati-hati memberikan
kesempatan kedua pada dia yang tak bisa menjaga. Mungkin juga terlalu sulit
baginya untuk setia pada satu rasa hingga ia mengabaikan apa telah kupercayakan
untuknya. Di sini semuanya menjadi lebih parah. Luka yang belum pulih
benar semakin menjadi dan tak kunjung terobati. Dia memutuskan untuk menghianati
apa yang sudah kupercayakan, tak sekalipun perduli dengan sejauh apa aku
meyakini diri sendiri jika ia patut untuk kesempatan sekali lagi.
Memberikan kesempatan kedua menurutku tak salah.
Manusia tentu mengenal kata jera. Barangkali kesempatan itu akan digunakan
sebaik-baiknya. Tak mengulangi salah dan berencana untuk sesuatu yang lebih
indah kedepannya. Menaruh harap kelak dengan kesempatan kedua seseorang akan
kembali percaya padanya. Tak memandang lagi masa lalu yang diisi penuh dengan
tangis sendu.
Namun, pikiranku tak selaras dengan jalan
pikirannya. Dia merancau dengan mudahnya. Membuang jauh-jauh janji yang
diutarakan tanpa risih. Memilih mematahkan hati di tengah jalan lantaran rasa
bosan menyeruak tak karuan. Membuat aku lagi-lagi tersakiti hingga ke ulu hati.
Terlebih membuatku membencinya setengah mati. Begitulah kesempatan kedua yang
dia dapatkan dengan sengaja disia-siakan tanpa pikir panjang.
Kadang yang nampak indah memang tak bisa menjamin bahagia. Buktinya dia yang kuberi leluasa dan menggebu ingin bersama, bertindak sebaliknya. Semakin melukai, menggores hati dan tak lagi menghargai. Dia memang jauh dari sempurna. Aku tak akan menuntut bahkan tak kupermasalahkan hal itu. Hanya saja, aku ingin dia memperbaiki yang pernah ia rusak. Menyambung apa yang telah ia putus sepihak. Hingga pikirku memberikan kesempatan kedua adalah solusinya. Tapi nyatanya aku salah. Logiku lumpuh terserang cinta buta. Dia kembali seperti semula, menyakiti tanpa ampun meremehkan yang ku titipkan yakni perasaan.
Cerpen Tentang Arashi - Cemburu Part 2
Part 17 of Tentang Arashi. Anyway bagi yang lelah
baca note dari author mohon maklumi, karena author bakalan jarang update ini
story. bukannya lagi males tapi gak sempat kerjaan numpuk. yaa begitulah
orang sibuk yang lagi cari kesibukan. jadi sibuknnya numpuk.
Selamat baca yaa...
Sejak Aras tau kalau Gito satu fakultas
denganku, dia kini jadi protektif. Aku sendiri gak paham kenapa sifatnya jadi
pengekang seperti itu. Kalau ditanyai percaya aku apa enggak, dia bilangnya
percaya. Tapi prakteknya nol besar. Buktinya aja sekarang, ijeda jam kuliah
usai dari siang ke sore 30 menit aja masih disempet-sempetin ke fakultasku.
Alasannya daripada nunggu sendirian di fakultas dan temen-temennya bolos jam
selanjutnya, oke kali ini aku percaya. Aku duduk di gazebo kampus
menunggu pacar tampanku datang, janjiannya sih emang disini. Ngelempar padangan
kesekitar, aku ngeliat dari jauh, itu orang udah dada-dada kayak kita gak
ketemu satu tahun. Padahal kan kita ketemunya hampir setiap hari.
Dia datang dengan lari kecil, setelah
berada didepanku nafasnya nampak ngos-ngosan. Ngapain juga lari-lari toh aku ya
gak kemana-kemana “dari tadi?” tanyanya
Aku nggeleng “baru aja keluar kelas,
ngapain sih lari-lari” balasku menepuk pundaknya pelan
“takutnya kamu nunggu lama, ayo makan
di fakultas kamu aja” Ajaknya dengan ngelingkarin satu tangan ke pundakku
Seperti biasa, belum juga jawab doi
udah ngebalik langkah menuju kantin dibelakang gedung. Sebenernya aku gak mau,
soalnya selalu ada Gito disana demi kenyamanan bersama mending ngejauh kan?,
Tapi Aras keuhkeuh mau di kantin Fisip aja dan urusan Gito, dia gak mau ambil
pusing. Toh, makan juga ditempat umum, bukan ditempatnya.
“ada Gito disana, Ras”
“terus kenapa?”
“ya gak kenapa-kenapa sih, yaudah lah
ayok” jawabku untuk ngehindari pertanyaan horor selanjutnya.
“mau makan apa?”
“nasi gor.. eh mie ayam aja” Jawabku.
Sejurjurnya pengen nasi goreng, tapi karena warung nasi goreng dikampus cuma
satu disana, dan kebetulan Gito lagi kongkow sama temennya di situ. Guna
keamanan diri dan gak bikin Aras manyunin bibirnya 5 senti, mending pesen
yang lain, iya kan?. sebenarnya gak ada yang salah sih, toh Gito juga udah ada
kekasihnya, tapi ngeliat Aras yang cemburu kapan hari ngebuat aku jadi was-was
kalo ngebiarin Gito sama Aras satu tempat.
“yaudah, tunggu sini ya, aku pesenin”
Ketika Aras pergi ke lapak mie ayam,
dari aras berlawanan Gito datang, cari perkara nih orang “ngapain!?” tanyaku
sinis
“ya, kan gue mau pesen makan disini,
emang ini warung punya lo?” balasnya santai lalu dengan entengnya duduk
disampingku. Emang sengaja cari gara-gara nih orang. Gak tau apa sebab
dia kapan hari, Aras jadi senewen sendiri.
“yaudah pesen sana, gak usah
deket-deket risih!”
“yaelah Bintang, ini tuh tempat umum
serah gue dong mau duduk dimana, lo lihat gak kalau disini gak ada keterangan
cowok ganteng dilarang duduk”
“ha? Ganteng cih!, minggir deh. Masih
banyak kursi lain, itu mata gak ngelihat kalau meja ini ada orangnya,
pergi” Bentak ku padanya.
Ketika dia mau duduk, aku langsung
ambil kursinya jadilah dia terjerembat kebelakang. Aku tertawa senang ngelihat
tu manusia begok kesakitan “Bintang, resek lu ya!” ringisnya sambil elus-elus
pantat yang cium lantai
“syukurin, lagian kamu di kasih tau
ngeyel, ini meja udah ada penghuninya, mending cari tempat lain” usirku
“kalau gue gak mau”
“oke, silahkan ambil tempat duduk ini,
mending aku yang pergi” buru-buru aku pergi. Gito berdiri dan cegah tanganku.
“gak usah kemana-mana mending
disini aja, gue yang pergi” Gito narik tanganku dan nyuruh aku duduk ditempat
semula, kemudian dia berdiri pergi. Tapi sebelum itu, kalian tahu kan siapa
yang ngeliat tadi, mak lampir?, bukan but Aras. Iya
Aras, doi datang dengan tatapan tajam. Aku gak pernah liat Aras semarah ini
sebelumnya. Dengan langkah kaki cepat dia naruh mie ayam dimeja lalu ngehadang
Gito
“lo jangan pernah ngusik pacar gue!!”
acamnya
Gito yang gak nyaman karena tangan Aras
mencengkram pundaknya, ngelepas kasar “gue gak ganggu cewek lo, minggir”
balas gitu melewati Aras dengan sengaja menyenggol pundak Aras.
YA LORD , mereka berdua sejak kapan sih
kayak gitu. Malu-maluin tau gak, kayak bocah yang lagi rebutan kelereng.
Sebelum Aras nyusul Gito, dengan segera aku ngedeketin Aras “udah yuk, malu nih
diliatin yang lain” ucapku ngelihat sekeliling yang pada ngelihatin kami.
Sedangkan Gito udah enyah dari jangkauan kami. Aku dan Aras kembali ketempat
duduk. Mie yang tampaknya lezat ini sekarang cuma aku mainin. Gak tau kenapa
nafsu makan tiba-tiba lenyap gitu aja.
“gak dimakan, Bi mienya?” tanya Aras
yang dengan entengnya ngucah itu mie dengan lahap
“udah gak selera” balasku
ogah-ogahan. Tiba-tiba Aras naruh garpunya lalu beralih ambil paksa garpu
yang aku pegang. “ngapain?” tanyaku, Aras gak njawab tapi kegulung mie lalu
disodorin ke mulutku kayak bayi yang emoh makan “aaaaaaa”
Aku ngegeleng kuat, kayak bocah kan,
suap-suapan di tempat umum “udahlah ayok aaaa” paksa Aras. Tetep aja aku
ngegeleng, ini Aras apa-apa sih lagi bete juga tapi dianya ngeyel buat nyuapin
ini mie ke mulutku.
Pantang nyerah, Aras terus aja nyodorin
garpu yang ada gulungan mie ke bibirku, alhasil itu mie aku lahap dengan rasa
kesal, tapi ngelihat Aras yang tersenyum senang, aku reflek tersenyum juga.
Emang gini ya, mau semarah apapun sama pasangan, tapi kalau dia sekali
ngebaikkin kita, pasti kita bakalan luluh, ya gitulah cewek. Acara suap menyuap
itu cuma sekali, karena selanjutnya itu garpu udah kembali ketangan.
***
Acara makan siang bareng Aras kelar!
Dia udah balik ke fakultasnya dan akupun buru-buru balik kelas buat matkul
selanjutnya. Tapi sebelum itu Aras pesen kalau selesai jam kuliah sore, aku
harus nunggu ditempat biasa gak boleh ada temen cowok apalagi GITO!. Dia notice nama
itu berkali-kali kalau aku gak boleh deket dengan Gito. Padahal kan aku juga
gak mau deket-deket sama pacar mak lampir itu.
Ngomong-ngomong mak lampir, beberapa
hari lalu setelah ketemu Gito dan dia di Mall, aku juga ketemu teman SMA.
Katanya sih doi juga kuliah di UI dan satu fakultas dengan Aras. Ya! dengan Aras
di FEB, dan Aras gak pernah ngomong ke aku soal itu. oh Tuhan, ini kenapa
kesilang gini yaa, tapi aku percaya Aras kalau dia gak bakalan macem-macem
selama aku disampingnya. Sama kayak dia, dia takut kehilangan aku begitu juga
sebaliknya.
Kelar kelas, aku segera ngelangkah
kearah tempat kita janjian untuk pulang bareng. Setibanya disana, kukirimkan
pesan ke Aras kalau aku udah stand by. Doski minta aku nunggu 10
menit lagi, karena dosennya lagi ngasih kuis. Iseng mainan intagram, di safari
muncul foto Tia dan seseorang laki-laki dengan caption “the one I want
it”. Pertama aku gak ngeh siapa cowok yang ada disampingnya, karena posisi
si lampir foto sandar kepala ke si cowok yang lagi nadep depannya. Tapi pas aku
tamat-tamatin, kok kayak kenal sama jaket sama gelang yang pakai. Kalau dilihat
ciri-cirinya dari belakang masa’ iya Gito. Tapi bisa jadi sih, kan Gito saat
ini cowoknya. Aku ngelempar pandangan sekeliling, dan pas! Saat itu ada Gito
yang lagi jalan menuju parkiran mobil sama temen-temennya. Lagi pula, rambur
Gito sedikit gondrong.
Aku lirik lagi foto si lampir dia
upload foto itu 30 menit yang lalu. Aku perbesar fotonya dan, well! ,
langsung ngeh kalau Aras. Aku yakin banget kalau itu Aras. Satu, Aras punya
jaket League warna coklat yang selalu dia taruh mobilnya. Dua, gelang yang
dipakek cowok itu persis gelang yang Aras pakai saban hari. Tiga, potongan
rambut itu, mirip banget kayak Aras dan terakhir paling nyesek, cowok itu bawa
ponsel yang ada gantungan kunci dengan inisial gitar. Mirip banget dengan
hadiah yang aku kasih ke dia pas aku jalan-jalan bareng Kanaya kapan hari.
Oke masuk akal, itu Aras!
“sabar Bintang, nunggu Aras ngomong
langsung aja, dia ngaku enggak nanti” cuapku seorang diri. Aku menghela nafas
berkali-kali. Sudah bukan rahasia umum kalau lampir satu itu gatel ke Aras,
tapi anehnya kenapa Aras diem aja kalau dia satu fakultas dengan dirinya. Dia
gak pernah cerita, aku kecewa sama Aras. Gak lama setelah itu terdengar suara
klakson dari sampingku. Itu mobil Aras. Dengan langkah berat aku masuk
kedalam mobil dan lagi-lagi ngeliat Aras, dari tampilannya, rasa-rasanya
Aras sama persis yang ada di foto. Itu berarti foto diambil hari ini.
Suasana mobil hening, aku masih mikir
kenapa bisa ada foto itu dan lagi bukannya Aras tadi bilang dosennya lagi
ngasih kuis, jadi dia udah bohong ke aku, kok pinter gitu sekarang. Aku
diposesifin tapi dianya ngelaba sama orang lain.
“Dosennya lama ya ngasih kuis?” tanyaku
memancing obrolan. Aku pikir dianya bakalan ngaku dan minta maaf. Tapi enggak,
pandangannya masih fokus arah depan mengemudi mobil. Bahkan sekalipun
ketika balas omonganku dia gak natap aku sama sekali. “iya, dosennya resek banget”
“hmm”
“kenapa? Kamu nunggu lama ya ?”
“barusan”
“tadi ketemu siapa aja?”
“ha? Pertanyaannya kok gitu, ya ketemu
temen kampus lah, kamu kenapa sih?”
“ohh, kukira ketemu kuntilanak, gak
apa-apa cuma pengen tanya aja. Aku ngantuk aku tidur bentar ntar kalau nyampek
rumah bangunin”
“oke” balasnya datar.
Mataku memutar kearah luar jendela, menarik sedikit jok kursi kebelakang lalu memejam mata. Aku tak mengantuk sama sekali. Hanya saja aku tak ingin ada percakapan lebih hari ini dengan Aras. Kalau dia gak jujur denganku kenapa aku bilang apapun ke dia. Aku aja gak dia anggap kenapa aku perlu repot-repot jelasin semuanya panjang lebar.