Cerpen Tentang Arashi - Tak Sepakat

Ps : part 7 of tentang Arashi. mungkin banyak typo ya dimaklumi namanya aja ngetik apa yang muncul di kepala, keburu idenya ilang ya ketik dulu aja seadannya.

Ujian nasional sudah dimulai sejak beberapa hari yang lalu, dan ini hari terakhir sebelum semua kemelut di kepala enyah. Meskipun ujian Nasional dipastikan tidak mempengaruhi kelulusan sekolah. Namun cukup membuat kepala pecah lantaran untuk masuk universitas negri, salah satunya syarat adalah dengan nilai  ujian nasional harus di atas rata-rata. Bahagia yang tertundakan ceritanya kalau kayak gini. Setelah bel ujian selesai. Para siswa berlarian  keluar kelas tentu saja, diiringi dengan helaan nafas lega.

“Haloo” sapa Aras dari balik jendela tempatku duduk. Aku terhentak kaget ketika kepala Aras muncul dari balik kaca, hampir saja aku menimpuknya dengan buku.

 “Sial, kaget tau!!”

“hahaha, sorry-sorry gak lucu ya, “gimana ujian terakhirnya, lancar kan?” 

“hmmm, ya begitulah, berdoa saja semoga ujian ini tak membuatku digantung Ayah bunda”

“haha, ucul nih Bintang, kamu yakin gak tadi ngerjainnya? Jangan-jangan asal-asalan”

“terlambat, Ras” Aku menyeringai, kemudian keluar dari kelas. “oh ya, kamu pulanglah dulu, aku sama Kanaya mau nongkrong sama shopping dulu, mumpung ujian udah kelar” pamerku ke Aras

“ikut dong” rajuk Aras dengan wajah tampannya. Melihat tingkahnya berasa gak tega, tapi ingat Aras tipe seperti apa kalau diajak shopping  "gak ah ini acara untuk kaum Hawa ,Adam dilarang ikut, lo gak boleh ikut". suara seseorang yang tiba-tiba muncul diantara kami, Ya Kanaya yang tiba-tiba merangkul lenganku dan menggeser posisi Aras

“yaudah, aku hang out sama Tia aja” Aras yang akan memutar badannya keburu kutarik

“kok gitu sih, Ras”

“ya habis, kamu gak ngebolehin aku ikut” 

Mendengar jawaban seperti itu aku mendengus kesal. Heran aja, berasa nama Tia itu sekarang jadi kelemahanku.Dan lagi dia mulai rempong selalu mau tau kemana aku pergi dan tentunya dengan siapa. Padahal Aras sebelumnya gak pernah kayak gini. Apa jangan-jangan jiwa Aras sebenarnya tertinggal di suatu tempat. And you know¸sorry for your latest information  kado yang dikasih Aras itu cuma kunci kecil lebih mirip bandul kalung, sayang kalungnya gak ada. Aku juga gak paham apa maksudnya. Itu anak mungkin salah ngasih kado. Pas aku tanya ke doi jawabannya bener kok itu kadonya, kan gak penting banget kan?. Alhasil kado itu cuma nangkring di kotak make up dikamar.

 “kenapa harus ikut sih, ntar kita jalannya muter-muter mall loh, awas aja kalau ngeluh ya, gue bantai lu!" Ancam Kanaya,

Tentu saja belanja kali ini tak akan leluasa ketika hanya kaum hawa yang bergerak. alasannya sudah jelas karena ada Aras. Oh ya, Aras tipikal orang yang gak suka basa-basi, kalau emang suka sama satu benda, mending langsung beli itu ketimbang harus berpindah-pindah toko untuk menemukan barang yang sama, namun pada akhirnya kembali ke toko awal yang dikunjungi. Bayangin dua cewek yang suka se enak jidat coba baju di satu toko dan kalau gak cocok pindah  ke toko lainnya buat nemu yang lebih bagus. Harus tersiksa jika mengajak Aras yang ‘unik’ seperti itu. Kan ini cewek bukan cowok. Nyebelin kan?!

***

“Bintang, pilihan sekolah kamu jadi fokusnya kemana, UI?” tanya Aras saat kami pulang dari Mall. Kanaya sudah pulang lebih dulu dengan transportasi online karena rutenya yang berbeda dari kami. Sedangkan kami juga sedang menunggu taxi online lainnya. 

Aku hanya mengangguk mendengar pertanyaan Aras itu, rasanya dia sudah mendengarkan berkali-kali kampus mana yang akan kutuju. Dan kenapa dia bertanya lagi kali ini. Apa memorinya pendek yaa, gak mungkinlah seorang Aras yang jago diseluruh mata pelajaran tiba-tiba memorinya hanya jangka pendek. Tanpa memikirkan hal yang tak penting lagi, aku senang menatap wajah Aras yang rupawan ini  “kita nanti satu fakultas, semoga kamu gak bosen ya, Ras ketemu aku mulu” 

 "ya gak lah, Bintang masa’ iya aku bosen ketemu kamu” ucapnya yang tiba-tiba mengapit kepalaku

“duh.. apaan sih, Ras. Udah gede woy”  Aras hanya tersenyum renyah, “kamu masih belum paham, kado yang aku kasih, Bi?” , aku menggeleng tak. Bukannya gak mau tahu, tapi ketika aku tanya Aras selalu bilang untuk mencari jawaban itu sendiri, sebalkan jadinya.

“enggak paham, inyong, lagian kamu ditanyai juga jawabanya sama ‘cari jawabannya sendiri” ucapku menirukan gaya bicara Aras yang dibalas dengan cubitan pipi olehnya. Emang ya itu orang gak bisa gitu ngelihat aku seperti gadis lainnya. Apa karena kita terlalu dekat jadi Aras tak sadar ya, jika perlakukanya kadang-kadang ngebuat aku baper tingkat maksimal, kan baper kan. 

Sebuah mobil xenia hitam berhenti di depan kami setelah kucocokan plat nomernya dengan aplikasi online.  Separuh kaca mobil diturunkan dan si driver menanyakan namaku.  Setelah menyebutkan rute yang aku pilih sesuai dengan maps. Mobil melaju tanpa kendala

“oh ya, Ras. Aku mau ngomong serius ni”  Aras yang sebelumnya menatap keluar jendela, kini menghadapkan tubuhnya padaku seolah menunggu ucapanku selanjutnya

“soal Tia” ucapku terhenti sejenak, aku mengatur nafas dengan baik, supaya yang tersulut emosi bahkan hanya menyebutkan namanya “rasanya aku  gak mau ambil pusing lagi, aku tau kamu suka sama dia, jadi kamu bisa deket sama dia. Asal kamu tetap bisa jalan kayak gini sama aku” lanjutku yang setengah sadar telah membuka celah untuk mak lampir mengisi hari-hari Aras.

Ucapanku barusan sukses membuat mata Aras membulat tak percaya. Dia terdiam sejenak, mencoba mengerti maksudku. Aku mencoba membaca raut mukanya, ia ingin berkata jika ini keajaiban dan ingin mengutarakan kalau dia senang. Yah, rasanya merelakan Aras dengan cara seperti ini lebih baik. Tidak! Tidak pernah baik, aku suka Aras, seharusnya itu yang aku katakan padanya. Tuhan otak dan hatiku bersebrangan.

Aras tersenyum mendengarkan ucapanku. Lah dikira ngedongeng kali yaa, 

“Ras” tanyaku menggucang lengannya

“kenapa, Tia ancam kamu?” 

Aku menggeleng, “Dia gak ancam aku kok, Cuma dia resek kalau ketemu aku, heheh gak deng bercanda”  ucapan garing yang sama sekali tak membuat Aras bergeming

“bukan gitu, Ras, aku tau kamu suka sama dia dan gak enak aja kalau gara-gara aku kalian jadi h.. gitulah, Ras. Yang intinya aku males aja ngebuat kenangan buruk di masa terakhir sekolah kita ini” nadaku terdengar pasrah. Setelah menghela nafas panjang dan tersenyum dengan maksud yang aku sendiri tak paham 

“kamu, ada yang di omongin sama aku gak selain ini?" tanyanya yang membuatku sedikit tercekat. aku ingin jujur, tapi takut jika jujur semuanya akan berubah. Iya kalau pernyataan ini diterima, lah kalau ditolak kan hubunganku dan Aras tak akan pernah sama lagi. Aku lebih memilih menggeleng dan mengatakan jika yang ingin aku bahas hanya tentang Tia. 

Aras menggangguk "kita lihat saja nanti, Bi” ucapannya sangat-sangat tak aku pahami. Aku turun lebih dulu, karena memang Rumahku yang lebih dekat. “Bintang” ucapnya menghentikan langkahku saat akan membuka pagar rumah. Aku menoleh sekilas “sorry” ucapnya lirih tapi aku sangat jelas mendengarkannya. Ketika akan ku tanya maksudnya apa, mobil sudah berjalan dan Aras membiarkan aku dengan penuh pertanyaan dikepala, apa maksud ucapannya tadi.

***

Meskipun ujian sekolah telah usai namun, tidak dengan bimbingan belajar. Masih ada kelas sampai batas ujian penerimaan mahasiswa baru di universitas negri. Ah, melelahkannya jika hidup hanya diisi dengan belajar. Tapi, lebih melelahkan lagi jika mengisi hidup dengan kesenangan semata tanpa tujuan hidup yang jelas, begitu kan?

“Cemberut amat, Neng” tanya Mika – teman seperjuangan di tempat bimbel yang membosankan ini

“lagi sakit gigi, Mik” jawab ku asal pada gadis berjilbab merah itu. 

Mood­ ku hari ini tak baik. Pikiranku melayang pada Aras dan Tia, si wanita drakula itu. Aku kebetulan berpapasan di depan gang Aras ketika aku akan berangkat bimbel. Aras benar-benar gercep untuk dekat dengan Tia. Salahku sendiri sok-sokan bilang kalau rela, padahal sampai di rumah aku mengutuk mulutku sendiri setelah mengucapkan kalimat keramat itu.

Ketika aku tanya mereka akan kemana, Tia menatapku dengan pandangan you knowlah,  setan tak suka dengan seseorang yang bercahaya murni seperti diriku. Aras sempat mengajakku namun aku tentu saja menolak, tak ingin kejadian di Gramedia terulang lagi. Ogah jadi obat nyamuk keduanya. Ya aku bilang aja mau les, toh emang beneran mau les. Buktinya sekarang tubuhku berada di  kelas yang dingin ini.

“Bintang, lo sakit, mending ke dokter aja deh, atau mau gue antar pulang” usul Mika, sembari meletakkan tangannya di dahiku  

“Gue oke kok. justru telinga gue sakit kalau lo bawel gini, hehe" Mika mengantupkan bibirnya. Aku merasa bersalah melihat muka masam yang terpancar didepanku saat ini. Mencoba tersenyum meskipun terpaksa “seriously gak kenapa-kenapa, Cuma gak mood aja dengan kelas hari ini”

Mika mengangguk percaya, “oh, ya, Bi. Ini ada titipan dari Brian, taukan dia siapa?” aku menerima paperbag berwarna coklat polos. Brian-cowok setengah bule, bermata biru dengan hidung mancung dan rahang tegas. Doi juga les ditempat yang sama, tapi gak tau kenapa setiap aku ajak ngomong padangannya ke bawah. Mukaku penuh jerawat atau kutil juga enggak. Rada aneh memang itu bocah.  Tapi belakangan roman-romannya dia naksir gitu sama aku. Gak GR sih, Mika yang bilang. Kalau Brian ingin merajut tali silahturahmi denganku. yaelah drama amat!

“thanks” jawabku singkat. Ketika kubuka paperbag coklat dengan pita yang dikatkan di ujungnya, ada sepasang sandal lucu dengan tulisan made in Germany . Konyol banget sih bocah itu, diajak ngomong bawaannya lihat kaki mulu, dideketin ngejauh tiba-tiba eh sekarang malah ngasih hadiah gak langsung ke aku pula, lewat kurir yakni Mika. oh aku tahu mungkin  kalau dia ngomong sama aku dan liat kebawah, mungkin dia mau ukur panjang kakiku kali ya, buktinya ini aku dikasih sandal. hehe 

Setidaknya kado dari Brian ini sukses buat aku cekikikan sendiri melihatnya. Sebuah kertas kecil bertuliskan happy birthday dan ucapan maaf untuk ngasih kado yang sudah lewat dari tanggalnya. Lagi-lagi gak penting but I’m happy for that.

Cerpen Tentang Arashi - Turn 18 Y O!

Ps : Part 6 of tentang Arashi. Masih happy-happy aja buat garap ini cerpen.

Sepulang sekolah, Aras ajak aku kerumahnya, Katanya sih mamanya ada perlu dan pengen ketemu aku. Ya pasti aku gak nolak dan Bunda pasti ijinin. Setelah kirim sms ke Bunda kalau aku bakalan mampir dulu kerumah Aras dan dibalas dengan emot senyum. Helm yang digantung di kaca spion motor Aras kupakai dan segera duduk di bangku belakang jok motor Aras.

“ada apa tante Mia mau ketemu aku, Ras?” tanyaku pada Aras. Daguku kutempelkan di bahunya. Sedangkan tanganku melingkar ke perutnya. Kayak orang pacaran ya?. Iya bener! tapi sayangnya ini cuman temenan. Kata Aras yang hanya boleh kayak gini, itu Aku, mama sama pasangannya nanti. Kan aku pasangannya nanti. Ngarep lah.  Selebihnya kalau cuman temen pegangan tas aja. Hehe 

“gak tau, Mama tiba-tiba aja tadi sms mau ketemu kamu bentar” jawab Aras setelah menoleh sekilas kearahku.

“bintang..” panggilnya tanpa menoleh lagi, pandangannya fokus kedepan. Gantian aku yang mendekat lagi lewat bahu Aras

“why?”

“jangan jadi bunglon lagi, ya. Ini yang terakhir” suara Aras dengan nada tinggi, berlomba-lomba dengan suara mesin dan kendaraan yang lalu lalang

Aku hanya mengangguk senang. Aku sempat melihat Aras juga menyunggingkan senyum melalui kaca spion motor.  

Sekitar tiga puluh menit perjalan, motor Aras masuk pelataran garasi rumahnya. Sebenarnya jarak rumahnya Aras gak begitu jauh, tapi karena sempat omong-omongan sama Aras jadi dia sengaja ngajak muter-muter. Begitu melihatku, tante Mia meletakkan gunting rumput dan melepas sarung tangan kemudian memelukku girang “udah lama gak kesini ah ini anak cantik, tante kangen tau”. Maklumlah Bintangkan anaknya ngangenin, gak ketemu 2 minggu sejak ultah tante Mia aja, doi udah gini. I miss you too, Tan

 “iya tante, PR banyak abis ini UNAS les juga kadang sampek malem, bunda juga kasihan sendirian ditinggal-tinggal” 

“kamu udah makan?, kalau belum makan di sini ya, sama tante sama Handika juga” Aku mengangguk keras. Sudah tak sungkan lagi kalau kesini, berasa rumah sendiri lah. Mau makan tinggal pilih

Semuanya sudah terjejer rapi di meja makan. Berwarna-warni mau buah tinggal ambil, mau nasi warna putih atau merah juga ada.  Lauk Ikan dari empang sampai iklan laut juga ada, ayam bebek apa  lagi, sayur mayur juga ada, ditambah kue-kue yang gak murah belinya. “wait-wait ini ada apa ya, Tan?” tanyaku bengong. Lah kan ini bertiga tapi berasa pesta buat warga kampung.

Tante Mia tersenyum, mengguratkan sesuatu. Apa ada kabar bahagia jangan-jangan Aras mau dijodohkan sama aku. Haha pede gila kalau itu. Lagian Aras sama aku masih sama-sama bocah boro-boro mikir nikah, berdiri dikaki sendiri buat beli ini itu aja belum mampu. Gak sih itu aku, kalau Aras pemikirannya dewasa banget. Gak cocok sama umurnya sekarang. Rela deh, Tan kalau Aras harus nikah sama aku, lakuin pernikahan  dini juga gak apa-apa, Bintang Rela, Tan. 

Tiba-tiba dari pintu dapur kedengaran suara Bunda, Ayah, Kak Dita dan Kak Tyas ngasih kejutan sambil menembakan confetti sedangkan bunda bawa kue ultah. Wait ini ada apa ya. Kok kayak demo gini, ngelirik Aras dan tante Mia mereka menghardikan bahu sambil cengar-cengir gak ngasih kode sama sekali. OMG!!!! Ini ulang tahunku, lihat tanggal di handphone ternyata bener tanggal 15 Mei. Kok bisa lupa sih ulang tahun sendiri. 

Aku berlari menuju pelukan bunda setelah bunda menyerahkan kue tart ketangan kak Dita. Bunda mencium keningku “selama ulang tahun anak bunda” ucapnya lembut. Tangannya tak henti-hentinya merangsek di antara rambut pirangku. Lalu aku bergantian memeluk Ayah. “Terima kasih ayah” ucapku girang, ayah mencium keningku

“nih, tiup dulu lilinnya” ucap kak Dita. Kuenya ucul ada fotoku di sana di kelilingi lilin 18 biji menandakan usiaku saat ini, “make a wish dulu, sis” sahut kak Tyas

Aku memejamkan mata sesaat, setelah itu meniup lilin di atas kue tart yang di bawa kak Dita.  Disambut riuh tepuk tangan semua penghuni rumah ini. Huhu seneng banget, bisa gak sih waktu berhenti saat ini.  Biar aku bisa bahagia sama mereka. Ada kak Dita sama kak Tyas yang jarang dirumah tapi khusus buat sore ini ngeluangin waktunya buat aku. Ada Ayah yang selalu sibuk dengan kerjaanya diluar kota seminggu pulangnya Cuma 3-4 hari tapi sore ini berdiri sini. Ditambah keluarga tante Mia yang baik banget jadi pengen nangis. 

Kok tiba-tiba ada air ya di pipi. Mata juga berasa kelilipan. Ngelihat mereka yang ada di depanku sekarang bayangannya kayak ada dua.

“kok Bintang nangis?” tanya tante Mia yang merangkul pundakku

Kan kan kan, airmata durjana tanpa disuruh keluar dengan sendirinya. Buru-buru deh ngusep butiran bening itu dari pipi cubbyku ini, biar ndak ngerusak bedak “Bintang terharu aja, Tan” jawabku singkat

“sini peluk Bunda” Bunda merenggangkan tangannya, tangisku tumpah di jilbab pink milik bunda itu. Gak tau kenapa berasa senang, haru, sedih semuanya jadi satu. Hari ini surprise banget deh pokoknya.

“ihh cenggeng ih” Aras menggoda sambil menyodorkan hadiahnya. What! Aras nyiapin kado, kapan doi belinya. Kan jadinya tambang sayang. 

“selamat ulang tahun, Bintang!” ucapnya dan mengkoyak-koyak rambutku lalu mencubit pipiku. Lalu gantian Kak Dita dan Kak Tyas yang mencium pipiku kanan kiri serta kalimat wajib “semoga panjang umur, sehat selalu dan segera dapat jodoh” . Aku mengamini dengan suara lantang dan disambut dengan cubitan sayang Bunda di pinggang "Belum yaa, jangan pacaran dulu, sekolah belum lulus" tuturnya

 

***

Ternyata kejutan tak berhenti sampai di rumah Aras saja. Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar dan, mataku memutar dikamar, ada yang aneh dengan kamarku ini. Selain bersih aku merasa ada barang yang tampak asing. satu MacBook Pro 17 di atas meja belajarku. Aku kebinggunggan benda mahal ini milik siapa., pasti ini dari ayah. Aku langsung lari keluar kamar menuju ruang tamu. Ayah dan bunda ternyata duduk sofa menonton acara televisi sedang berbincang-bincang 

“Ayah..” sapaku pelan

Ayah dan bunda menoleh, aku berlari menuju mereka dan memilih duduk di antara keduanya. Menenggelamkan kepalaku di dada bidang ayah “Ayah terima kasih kadonya, Bintang seneng banget”

Tau apa yang kumaksud, Ayah hanya tertawa renyah “kamu sekolah yang rajin, ya. Semoga impian kamu terlaksana. Jangan malas-malas belajar” pesan ayah. Aku pengangguk senang

“ayah, boleh gak bintang minta satu lagi” tanyaku takut-takut

Ayah menaikkan satu alisnya, “minta apa lagi?” Sebelum aku mengutarakan niatku, sudah ada instrupsi suara manis di depan rumah

“Assalammualaikum” suara dari depan rumah disusul dengan ketukan lembut

“Walaikumsalam” Bunda menyambutnya. Samar-samar aku dengar Bunda mempersilahkan seseorang masuk dan mengatakan jika aku sedang bersama ayah di ruang tamu. Ketika aku menengok aku lihat Kanaya dan Edo datang kerumah.

“Bintangg… happy birthday” suara Kanaya yang tiba-tiba dengan membawa kue ulang tahun. Kukira gadis itu sibuk dengan pemotretan karena endorsenya berjibun. Bukannya dia tadi bilang kalau hari ini jadwalnya padat banget, termasuk agenda kencannya dengan Edo. Ah, ternyata muncul disini,  sengaja pasti ngasih  kejutan, dibohongi mentah-mentah nih. Tapi aku seneng  “terima kasih kunti, Edo” ucapku menyambut pelukan Kanaya

“eh…. Please ya, namaku sudah elok, dipanggil kunti” prosesnya lagi. 

"Iya nih, dia cantik tau" Edo tak terima

 Aku tertawa terpingkal melihat romansa mereka

anyway, wish you all the best ya,” imbuhnya dengan tulus dan pelukan sekali. 

"sudah makan?" tanya bunda pada mereka berdua, "Kalau belum yang ke 2, yuk ikut makan di sini sama Bintang" ajak bunda tanpa ada penolakan dari 2 tamu specialku ini

***

Pagi harinya, setalah rapi dengan seragam sekolah aku turun kemeja makan. Melihat bunda yang masih sibuk di dapur aku menghampiri bunda. Memeluknya dari belakang, gak tau kenapa nyaman aja kalau sandaran kayak gini “Bintang kenapa?” tanya Bunda yang langsung memutar tubuhnya

“gak kenapa-kenapa, pengen aja peluk bunda aja”

“kamu makan, abis itu berangkat bareng siapa, Aras atau motor sendiri?”

“sama Aras, Bun. Ayah sudah berangkat ya?” tanyaku sambil berjalan menuju meja makan. Bunda hanya menggangguk. Oke back to normal. " luar kota, atau di kantor sini Bun?" 

"Di kantor Jakarta kok, nanti sore balik"

Setelah menghabiskan sarapan, Aras datang. Pas banget. kami  bergantian mencium tangan bunda 

“Hati-hati” pesan Bunda

Motor Aras melajut dengan pesat, tak butuh waktu lama kelihaian Aras mengemudi motor perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh 20 menit, bisa 10 menit lebih cepat kalau Aras yang setir ya tentu komat-kamit baca sholawat kalau dibonceng

Masuk parkiran, setelah menata rambut lewat kaca spion aku sama Aras menuju kelas masing-masing. Di ana sudah ada Tia yang siap menyambut Aras dengan melambai-lambaikan tangan. Bodohnya pula, Aras juga bales. Alhasil Tia berjalan menghampiri kami.  Karena udah janji sama Aras gak bertingkah kayak anak kecil lagi, aku mecoba memutar mata mencari seserorang yang bisa dijadikan pelarian Syukurlah lihat Kanaya di lorong mau ke kelas.

“Kanaya..” Teriakku, sebelum Tia berhenti di depan kami, aku segera pamit ke Aras untuk menyusul Kanaya. Aras pun mengangguk. Langkah kupercepat, sebelum mak lampir bikin rusuh.

Kanaya menoleh kearahku dan menghentikan langkahnya. Dia mengulurkan tangan untuk kugandeng. Kami berdua tersenyum tanpa arti dan melenggang pergi menuju kelas. Sesekali aku melihat Aras dan Tia yang berjalan dengan lengan Aras yang dipeluk oleh Tia lalu menghilang dalam kelas. Kan manusia ganjen itu resek banget. Lihat kayak gitu kok panas banget ya ni hati. Belum lagi kalau mereka jadian, rasanya bakalan ada kebakaran. Apa akunnya harus relain cintaku ke Aras ya, kan Aras gak mau kehilangan aku sebagai sahabatnya. Aku harus mulai terbiasa, iya aku harus terbiasa.

Cerpen Tentang Arashi - Janji

Ps : Part 5 of Tentang Arashi 

 Kali ini aku benar-benar marah sama Aras. Dia bilang aku childish  dengan lantangnya di depan umum pula. Ya meskipun tak ada yang mendengar, tapi cukup nyelekit di hati. Sampai di depan kelas, mataku mencari sesosok makhluk yang bernama Kanaya. Sayangnya dia tak ada mungkin ke toilet. Aku membanting tas di atas meja. Pandanganku terarah ke jendela, melihat para siswa yang perlahan-lahan memasuki kelasnya masing-masing.

 “dorr” suara melengking yang langsung membuatku menoleh kilat

“sialan, jantungan mendadak kunti!!”

“abisnya lo ngelamun, emang ngelamunin apa sih pagi-pagi. Bete’ aja itu muka, kan gak cantik. Udah gak cantik malah gak cantik loh”  Kanaya terkekeh melihat expresiku yang cemberut

 “apaan sih” niatnya mau cerita, tapi berhubung uda gak mood jadi simpan di hati aja. Palingan kalau Kanaya peka langsung tanya ada apa

“kenapa, tengkar lagi sama Aras?”

 Binggo!. 

Kanaya emang sahabat yang pengertian. Hampir aja mau mangap jelasin semua. Tapi pak Tri sudah masuk aja ngasih kuis bahasa Inggris. Gak asik banget tu orang. Beruntung hari ini bahasa Inggris jadi bisa dikerjakan sambil merem. Ya maklumlah, meskipun nilai lainnya kayak bakar jagung apalagi tentang Fisika, Biologi dan Kimia, tapi tidak untuk bahasa Inggris. Ayah sama bunda kan rajin tuh ngajarin bahasa Inggris, ditambah kursus sejak TK. Rugi dong kalau sekarang ujian nilainya minimum. kalau bisa dapat nilai lebih dari seratus. 

Lega, selesai kuis untuk siswa  yang sudah selesai, diminta untuk keluar kelas seperti biasa. Tak lama setelah itu Kanaya menyusul. kami pun melangkah ke kantin. Setelah memesan seporsi bakso dan pangsit di Mbak Pur dan dua gelas es teh di Pak Darso, Kanaya  kembali menodongku dengan banyak pertanyaan seputar Aras.

“jadi marahan sama Aras lagi?’’ tanyanya lirih, mengendap-endap "penyebabnya apa?". Ini nih yang aku demen. Temen model kayak gini. Kadang bisa jadi saudara, musuh, sahabat. Aku mengangguk lemah membenarkan tebakan Kanaya

 “alasannya apa? Tia lagi ?”

Sekali lagi aku mengangguk “Aras bilang kalau gue childish, alasannya karena gue ngambek gak jelas mulu ”

Kanaya mentoyor kepalaku tiba-tiba “itu sih bukan karena Tia, itu kamu sendiri yang bikin ulah” 

Lah kuntinya ngomongnya kok gitu. Kan baru aja dipuji “ya enggak dong, kenapa gara-gara gue.  gue baik-baik aja sebelumnya, ada Tia aja jadi drama banget gini”

“ya.. gimana Aras gak gedek sama sifat lo, Bi. kayak bunglon gitu dikit-dikit ngambek, marah, ngilang gak jelas. Aras kan binggung harus ngapain, kan dia gak tau perasaan lo ke dia. Coba dong bilang kalau lo suka -jangan deket-deket Tia, gue cemburu- gitu dong.  Mungkin dia bakalan ngeh sama kelakuan lo kenapa kok macam gini”

Aku mengerucutkan bibirku. Saran Kanaya memang mantul, tapi terlalu gengsi jika cewek yang ngomong lebih dulu. Aras selama ini anggap aku sahabat masa iya, kudu bilang ke dia kalau aku suka sama dia. Yang ada perhatianku kedia diartikan cuma sebagai seorang sa-ha-bat- that’s it.

Tiba-tiba perempuan tinggi rambut panjang muncul tanpa aba-aba di depanku. Bakso dan pangsit yang baru datang belum kejamah sempurna. Sudah harus ditinggalkan. Udah ada setan didepanku. Ya siapa lagi kalau bukan Tia. Datang tanpa diundang kayak jailangkung, gebrak meja sok-sok jagoan an ngomong tanpa adat pula.

 “gue mau ngomong sama lo” ucapnya ketus, kemudian memalingkan pandangannya ke lapangan basket. Aku dan Kanaya saling pandang, aku menghangkat bahu dan menyuruh Kanaya untuk menghabiskan pangsitnya “eh.. pirang denger gak aku ngomong” umumnya.dengan suara lantang, alhamsil membuat kanan kiri siswa yang makan menoleh kearahku

Aku berdiri menatapnya tajam setajam sile ala-ala fenie rose gitulah “eh lampir, lo ngomong sama sicantik ini?”

"tolong deh cari  ngulang pelajaran PKN sono! Ngomong kayak gak punya adab” batas sabarku udah limit, Kanaya yang tadi duduk disamping mencoba untuk menenangkan

"Udah, Bi malu ahh ini di tempat umum"

“gak usah basa-basi, gue bakalan ngomong ke Aras kalau gue suka sama dia. Dan gue bakalan minta dia buat jauhin lo, ngerti!. Ada lo di sampingnya buat mata gue sepet, gak bebas dasar benalu”

Asyu ini cewek satu. Berani-beraninya ngomong gitu ke aku, jelas-jelas kemana-mana cantikan aku. Siaal

 “eh,, kalau ngomong itu tolong dikunyah. Siapa elu nyuruh-nyuruh Aras buat jauh, gak akan bisa. Pergi sana, panas dalam nih kalau ada mak lampir di sini” aku kembali duduk disamping Kanaya, dan melanjutkan memakan bakso yang isinya 5 biji itu.

surrr .. Es teh di depan Kanaya, Tia tuang dikepalaku “nih mandi sama yang dingin-dingin”

Seluruh penghuni kantin sontak kaget ada tontonan gratis saat. Kanaya yang sedari tadi duduk  kini berdiri dan mendorong Tia hingga dia mundur beberapa langkah “ehh lampir, kelakukan lo kayak dajjal tau gak?"

"Apa lo, dasar miskin, sekolah ini gak pantes terima murid macem lo,gak usah ikut-ikut!" Cercanya pada Kanaya ganas

Mataku memerah menahan malu sekaligus marah semuanya beradu menjadi satu. Udah kepalang basah gak bisa mundur lagi. Aku berdiri dan menghampiri Tia tanganku langsung aja menjambak rambut yang selalu ia kibas-kibaskan layaknya rambut kuda. Untung aja gak kusiram sama kuah bakso, dijambak itu masih mending. Dia meronta kesakitan dengan membalas menarik rambutku. Tapi karena aku lebih kuat  dia kalah. Berasa kayak anak TK gitu tarik menarik rambut. Aku duduk di perutnya. Kanaya segera menyeretku untuk menjauh begitu pula dengan geng Tia sebelum guru BP datang. Semuanya melerai tapi lainnya sorak-sorak bergembira gitu berasa ada sirkus gratis.

“Bintang!!!” teriak seseorang dari sampingku. Dan berasa semuanya berasa kepause beberapa saat, aku dan mak lampir menoleh kesumber suara  itu , mata ku membola itu Aras.

“kamu apa-apaan kayak gini” teriaknya lalu membantu Tia berdiri. kan aku yang ngelihatnya syedih, kok Aras kayak gitu ke aku. Bukan aku yang ditolong. Terus ngelihat sekilas Tia yang ngasih tunjuk senyum sinis. Dasar lampir laknat, enyah sana dari muka bumi

“lo gak apa-apa” Tanya Aras dengan nada khawatir pada si Mak lampir .

“dia-” Mataku berkaca-kaca, Kanaya masih setia menahan tanganku. Aras melirik Kanaya seolah memberi kode untuk membawaku pergi ke UKS dan mendapat sambutan anggukan dari Kanaya.

Kanaya mendorongku pergi menuju UKS, langkahku mengikuti tuntunan Kanaya. Airmataku mengalir mengingat perlakukan Aras barusan. Bukannya bantu  aku tapi ke Tia. Tiba di UKS aku sesunggukkan di lengan Kanaya. Sedangkan tangannya kirinya hanya menepuk pelan pundakku dan mengulang kata sabar

“gue ambilin baju ganti dulu, siapa tau di sini ada” pamitnya. Kanaya meninggalkan aku terduduk di tepi ranjang UKS, gak ada yang luka sampek berdarah-darah gitu sih. Tapi kenyataannya sakit banget kalau keinget tadi.

“nih, Bi. Ada baju olahraga ukuran yang M rasanya muat ke lo, pakai ini gih”. Aku segera ketoilet mengguyur tubuhku dan berganti pakaian.

Begitu aku keluar dari toilet, Aras menghadangku. Mata ku masih sembab, tapi ketika menatap Aras, aku melihat mata bulan sabitnya mendominasi, seolah banyak pertanyaan “mengapa” yang akan keluar dari mulutnya. 

“berhenti lihat aku kayak gitu, mending kamu pergi” usirku. Tapi Aras malah gak pergi, dia malah narik aku ke Lab IPA. Kenapa lagi manusia satu ini, Bukannya tadi dia ada di pihak lampir. Gedek aku lihat wajahnya hari ini “kamu itu kenapa sih sebenarnya?” tanyanya khawatir

Aku masih terdiam, berhubung masih kesel, aku gak mau natap mata horor Aras itu, takut juga coy. jadi keinget adegan jambak-jambakan tadi.

“Bintang, kamu ada apa sama dia. Kamu bener-bener kayak anak kecil ya ?”

Airmata luluh lagi denger omongan kayak gitu. dia mengulang kata yang sangat aku benci.  Setelah mengambil nafas panjang aku mulai jelasin semuanya ke Aras tanpa kelewatan satu bagian pun. Termasuk niatan mau guyur mukanya pakek kuah bakso tapi gak jadi, ya karena apa karena aku masih punya nurani gak mau ngerusak wajah rubahnya itu

“udah jelas, sekarang menurut kamu, aku yang salah, hah!!?” Suaraku terisak memenuhi ruangan yang kosong namun nampak menyeramkan itu. Butiran bening tumpah di pipi, penampilanku hari ini di depan Aras sepertinya kacau. rambut lepek, baju agak kegedean, ditambah Aras yang se enak jidat judge kayak gini. Perasaanku capek.

Aras terdiam, gak bisa bales omonganku. Mungkin ngerasa bersalah. I don’t know, dia tertunduk ngeliatin tali sepatunya, padahal itu tali gak lepas. posisinya kini persis kayak siswa yang kena hukum guru BP depan kelas.

“udah gak ada yang perlu dijelaskan lagi kan?, aku mau balik ke kelas” Mataku sudah sayu. 

“tapi gak gitu juga, Bi. Tengkar di tempat umum hanya gara-gara itu” Langkahku berhenti. HANYA GARA-GARA. Wah rasanya Aras juga perlu di beri pelajaran kalau begitu. Gak tau apa aku ini gak bisa jauh-jauh dari dia. Udah cinta ini mah. Eh dianya malah git, somplak abis manusia itu

“terus aku harus gimana, nanggepi dia. Aku ga mau kamu jauh-jauh dari aku, NGERTI!!” Ops keceplosakan kalau ngomong gini. Bodo amatlah, Arasnya nyebelin. Aras narik lenganku buat gak jalan keluar kelas. Lagi-lagi mata horornya menyelinap di keheningan kelas itu tapi tiba-tiba luluh menjadi bulan purnama “kamu gak bakalan kehilangan aku, Bi”

Maksudnya apa nih orang, ambigu banget. “kamu jangan tengkar kayak gitu lagi ya..” pintanya. Yang kemudian menarikku berhadapan dengannya. Deng deng Aras peluk aku, kedengaran banget detak jantungnya kenceng kayak habis maraton, tangannya menyentuh rambutku yang masih lepek. “intinya, kamu gak bakalan kehilangan aku, oke. Last time I said don’t be childish

 Aku mendorong Aras jauh-jauh. Duh ya bahas itu lagi. Tau gak sih kalau aku gak childish – childish banget. “don’t call me like that, I hate it” ucapku memalingkan muka tak lupa duck face

 “oke-oke, sorry. Aku minta maaf, aku gak tau kenapa kamu akhir-akhir kenapa kamu sering bertingkah. Tapi yang jelas gak ada yang bakalan ngebuat aku jauh sama kamu. Aku janji ”ucapnya menyuguhkan jari kelingking.

Aku menatap raut mukanya. Hah ucul banget sih kalau kayak gini. Memelas banget mukanya. Udah ganteng, pinter, rajin ibadah, sayang sama orang tua. Kan tipe idaman. aku mengikat jari kelingkingnya dengan jadi kelingkingku seolah mengulang janji. 

"Aras gak bakalan jauhin Bintang, apapun itu” 

“Janji!”

Kami sama-sama tertawa, Aras memeluk pundakku. Mengajakku kembali masuk kelas. mengantarku hingga kursi. “ntar pulangnya bareng aku ya, jangan pulang dulu” pesannya aku mengangguk. Aras mengacak-acak kepala rambutku kemudian pergi.

Kanaya yang ada di sampingku hanya tersenyum sendiri “ecie baikkan” godanya.

Blush, berkali-kali aku menyeringai, hanya menatap kepergian Aras yang menghilang di balik tembok kelas. Hari ini tak seburuk beberapa hari yang lalu. meskipun Aras masih belum tau bagaimana sebenarnya perasaanku itu tak masalah. Setidaknya dia sudah berjanji bakalan selalu di sampingku apapun keadaannya, Rasa seperti itu cukup kan?.

Cerpen Tentang Arashi - Childish


ps: lama tak upload bukan berarti bosen yak , cuman ya itu idenya kebagi-bagi.masih semangat kok nyelesain ini. And here we go Part -4 of Tentang Arashi 

Seminggu setelah ulang tahun tante Mia. Semuanya kembali ‘normal’. Aku dan Aras kembali berangkat sekolah sama-sama, jajan sama-sama, pulang sekolah sama-sama. Aras juga udah jarang bahas tentang Tia, entahlah mungkin ketika bahas Tia, sengaja aku ngalihin pembicaraan dan Aras sadar itu. Yang jelas hidupku rasanya damai hanya aku dan Aras. Ya meskipun sempet sih kecewa, karena Aras gak bisa ngedeteksi rasa yang aku punya buat dia. Dia anggepnya aku ini sahabat yang baik, sedangkan Aras bagiku, Cowok yang rencananya pengen kujadikan masa depan. Tapi tak apalah, selama Aras dan aku baik-baik saja, rasaku bisa ku simpan sampai waktu yang tak ditentukan.

Lagi enak-enak ngobrol masalah kartun Doraemon, Mak lampir a.k.a Tia tiba-tiba nyelonong duduk di antara aku dan Aras yang lagi sibuk-sibuknya bercanda ria

“minggir “ Tia berkata lirih tapi cukup jelas ditelinga, Aku membolakan mataku di depannya, hampir aja aku gramus mukanya. Tapi tau gak sih, kalau mukanya itu model BODO AMAT!!, gitu

“apaan sih lo, gatel banget, minta digaruk?" tawarku dengan posisi tangan siap menerkam 

 “Ras, ntar pulang bareng ya, sekalian antar beli buku di Gramedia” Ucapnya sok imut. Itu muka buat geram banget lihatnya. Sok cantiknya ituloh ngeselin beud. Gak mencerminkan orang anggun sekali. tolong punah dari depan mukaku. Tolong bawa dia, Tuhan. Aku ikhlas, astagfirullahaladzim

“oh.. sekalian aja, gue sama Bintang juga mau ke Gramedia, ya kan, Bi?” Aras menatapku, seolah meminta persetujuan boleh ya, Tia ikut?  gitulah ekspresinya.

“heemm” jawabku singkat. 

Sepanjang perjalanan, mukaku sudah masam ngelihat Aras di dempet-dempet sama Tia. Bahkan ketika sampai di toko buku, saat aku ngobrol sama Aras tentang novel mana yang bakalan aku beli. Tia tiba-tiba aja memotong permbicaraan kita, itu mak lampir emang cari gara-gara. Belum tau  kali ya kalau Bintang Arina Azalea Prasetya anaknya gimana. Arasnya juga gitu, gak peka banget kalau aku ini sudah Bete’ level mie kober tingkat tinggi. Ahh dua-duanya nyebelin

“Ras, aku pulang dulu aja ya. Soalnya bunda nyuruh aku pulang cepet-cepet, kamu tau kan bundaku  gimana orangnya?” Alibiku, ya bohong-bohong dikitlah. Sebenernya bunda tau kalau aku bakalan ke toko buku sama Aras, jadi bisa dipastikan bunda anteng aja di rumah kalau tau aku keluar sama Aras. Eneg sumpah lama-lama deket-deket Tia, mataku panas. Badan jadi meriang, emang ya Tia itu bawa aura buruk buat aku

“lah kok pulang, kan baru nyampek. Kita pulang aja ya” Ucap Aras dan mengajak Tia pulang. Mataku membola. Buru-buru aku geleng kepala, gak usah dianter yang ada aku jadi cengok ngelihat Aras sama Tia.

“Yaudalah, Ras kan Bintang mau pulang sendiri. Ntar bundanya panik kalo doi gak segera pulang, biarin dia pulang sendiri aja. gue belum dapat buku nih” Mak lampir ini emang bisa ya, ngeracunin pikiran Aras, jadinya Aras ngerelain aku pulang sendiri.

“oke gue balik dulu, Bye” Ucapku kilat, lalu segera pergi menjauh dari Aras dan Tia. Gak usah lama-lama dekat mereka ntar pikiranku terkontaminasi sama aura buruknya. Kenapa sih selalu aja usil kalau aku sedang berdua dengan Aras.

***

Tiba di rumah, Langsung kurebahkan tubuh ke ranjang. Gak tau kenapa tiba-tiba bulir air mata jatuh di ujung kelopak dan merembes ke pipi, kalau ke inget Aras sama Tia. Ya anggeplah gak terima Aras deket sama orang lain. eh bukan anggep tapi emang gak suka, nyesek banget lihatnya kalau kayak gitu.

Suara ketukan pintu dari luar itu pasti bunda. Bahaya kalau bunda lihat aku nangis kayak gini 

“Bintang, ayo makan dulu” 

“bentar, Bun, Bintang mau mandi dulu, ntar Bintang turun” sahutku, ya gila aja nangis di depan Bunda HANYA gara-gara cowok, diomelin ntar sama Bunda ayah. FYI aja, ortu gak ngijinin aku pacaran sampai lulus sekolah. Hebatkan! Seumuranku belum ngerasain pacaran tapi boro-boro pacaran deket sama cowok aja gak boleh. Tapi gak tau kenapa kalau sama Aras bunda ngijinin, katanya sih Aras itu anaknya baik, kalem, sopan dari keluarga yang latar belakangnya bagus. Tapi masih sebatas teman yaa

“yaudah cepet turun, makan, Nak”

“iya, bun” Jawabku malas, aku terduduk di depan kaca rias. Segera nyeka mata dan hidung setelah menangis tadi. “oke, Bintang senyum” memastikan jika tanda-tanda abis nangis benar-benar sirna.

Aku turun menuju meja makan. Ada Ayah sama Bunda yang sudah duduk diposisi masing-masing, aku menarik kursi dan duduk dengan tenang setelah menyisihkan lauk pauk yang diatas meja.

“Bintang, mau kuliah dimana nanti?” tanya Ayah.

“pengennya di UI, Yah, pilihan keduanya Undip” Jawabku setelah menelan sesuap nasi goreng.

"kenapa dsitu?"

“ya.. di situ komunikasinya bagus, jadi pengen aja. Tapi aku mau coba di UI dulu. Kalau emang udah mentok gak bisa baru Undip”

“oo.. gak mau ambil kedokteran?” Ayah mencoba memberi saran. Aku tau ayah ingin aku jadi dokter, tapi karena aku keukeuh ingin menjadi Public Relations , Ayah tak bisa memaksakan kehendaknya. Itulah Ayahku, the one only man in the world who never hurt me yang meskipun ayah keberatan aku ambil komunikasi, tapi ayah bijak dan menghargai keputusanku gak kayak Aras. Lah kok bawa-bawa Aras lagi. Kan out of topic jadinya

Aku meletakkan sendok garpu yang kupegang  “Ayah..” 

"iya ayah tau kok. Bintang mau ambil komunikasi kan. Oke-oke. Siapa tau Bintang berubah pikiran” Ucap ayah santai

Aku menggeleng santai “nope, Bintang udah selesai. Bintang mau kekamar dulu ya, mau belajar” pamitku, lalu menaruh piring ke tempat cuci piring setelah itu kembali ke kamar.

Pagi hari ketika aku sibuk memasukkan buku pelajaran, samar-samar kedengaran suara Bunda yang nyambut Aras. Lah, ngapain anak itu kemari, kan aku masih sebel sama dia. Aku menuruni anak tangga. Menatap Aras yan sedang ngobrol sama bunda “Bintang, ini Aras ngajak bareng kok kamu gak ngomong sama Aras gitu ayah biar berangkat dulu gak nunggu kamu” keluh Bunda

“lah kan dia gak bilang kalau mau ngajak Bintang bareng” tunjukku ke Aras dengan tatapan tajam

“iya tante, saya sengaja ngajak Bintang dadakan” Aras mulai memperjelas tak lupa menyunggingkan senyum manisnya yang kalau lihat pengen bales ketawa sendiri, tapi buru-buru sadar kalau lagi ngambek sama Aras

“yaudah Tante, kita berangkat dulu ya” pamit Aras lalu mencium tangan Bunda, begitu juga aku

“berangkat dulu ya, Bun”

Diatas motor Aras, aku cuma diam aja ketika Aras ngajak ngobrol, apapun itu gak aku respon. Biarin salah sendiri ngebiarin aku pulang sendiri, dianya malah milih menemin Tia yang sok keganjenan kemarin di Gramedia. Kan dongkol hati adek, bang. Masuk diparkiran motor sekolah. Setelah meletakkan helm di spion aku segera meninggalkan Aras. Tiba-tiba tasku ditariknya hingga aku terpental kebelakang “tunggu dong, Bi”

“apaan sih, udah telat ini” alibiku menaruh kedua tangan di dada menunggu dia bicara lagi.

“Bi ,sebenarnya aku ini salah apa sih. Kok sebentar-sebentar kamu marah, ngambek gak jelas ini”  Aras mulai mengeluarkan unek-uneknya

Mataku menyusuri lapangan, Mungkin Aras geram hingga mencengkram pergelangan tanganku “Bi.. kamu dengar gak sih kalau aku lagi ngomong”

“siapa sih yang ngambek sama kamu, aku fine-fine aja kok dan satu lagi, lepasin tanganku, sakit, Ras” rontaku menatap genggaman tangan Aras

Pegangan Aras merenggang, aku berbalik dan meninggalkan Aras diposisinya. Tak lama kemudian, Aras mempercepat langkahnya dan berdiri didepanku “kamu kok childish banget gini sih, Bi. Kalau ada yang salah itu tolong ngomong bukan malah dikit-dikit ngambek, lalu sasarannya di aku. Salahku apa? Kok kamu berubah gini sih, Bi. Aku kayak gak ngenalin kamu tau gak”

Ucapan Aras bikin telingaku panas, tapi aku juga malas ngedebat omonganya yang ada aku nangis sesunggukkan. Jujur aja aku gak terima dibilang kayak anak kecil.  Aku dorong Aras yang ngehalangi jalan “minggir, si childish ini mau lewat” ucapku ketus

“Bintang kamu itu…” Ucapan Aras terpotong karena bel masuk sudah berbunyi. Aku memercepat langkah menuju kelas. Sesak rasanya Aras bilang aku childist. Padahal gak pernah sama sekali Aras kasar sama aku. Seumur-umur baru ini. Fine bukan keras sih, mataku mulai berkaca-kaca. pandanganku membayang karena airmata masih tertahan. Segera aku menyeka sebelum itu jatuh, gengsi dong kalau Aras sampek tau. Tapi jujur aja sesaknya tetap kerasa. Mengelus-elus dada berkali-kali pun, rasa sakitnya tak hilang.