Aku tak pernah mengharapkan seseorang
akan berada pada tahap di mana harus berfikir lebih mandiri dimulai dari
kehilangan. Kalaupun harus mengalami kehilangan baru sadar arti dari kehidupan,
barangkali memang harus mengalami patah lalu tumbuh. Sedikit lebih menderita
dari lainnya. Menangis kecewa karena merasa diri sudah berada terlalu bawah
bahkan rendah masih diuji oleh Yang Maha Kuasa dengan derita lainnya. Ah, itu
ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Namun, tentu semua itu akan mengajarkan
kita banyak hal, jauh dari yang kita pernah bayangkan.
Hari ini, aku mendapatkan pelajaran
yang sangat berharga tentang kehidupan dari seorang teman. Kami memang baru
sebentar berkenalan, bahkan hanya sapaan pendek ketika berpapasan. Namun, Duduk
santai setelah pulang kerja tadi sore membuat kita lebih dekat bahkan akrab.
Dia – Gadis manis dengan tubuh mungil itu mulai bercerita tentang
kesehariannya, lebih tepatnya kondisi keluarga setelah Ibu tiada. Aku menjadi
pendengar setia kala itu. Mungkin karena ada kesamaan dalam beberapa kisah,
sedikit banyak aku bisa merasakan apa yang disampaikan. Hal ini tak bermaksud
untuk unjuk gigi siapa yang lebih menderita. Tidak sama sekali, hanya saja jika
aku pernah mengalami dan dia juga berada diposisi sama saat ini, yang kubisa lakukan
adalah memberi sedikit semangat untuk tak goyah dan menyerah.
Dia mulai membuka cerita mengenai ayah.
Saat kehilangan belahan jiwanya, ayah menjadi orang yang paling terpuruk
di dunia. Menahan tangis karena tak ingin anaknya terluka lebih dalam setelah
kepergiaan ibundanya. Temanku bercerita, Ayahnya mulai berubah setelah ibu
tiada. Cukup melihat beliau termenung di sudut bangku, memiliki pandangan kosong
dan terkadang tertunduk lesu memikirkan sesuatu. Pada suatu kejadian, ayahnya
sempat berkata ketidaksanggupan atas segala biaya yang harus menjadi bebannya.
Termasuk yang berhubungan dengan dia dan adik-adiknya. terutama
biaya sekolah. Sehingga menyerahkan tanggung jawab itu pada temanku yang
notabene baru saja menikmati status sebagai pekerja dari perusahaan swasta.
Tak pernah terfikir oleh dirinya
jika proses menuju dewasa harus ditempuh dengan kejadian yang benar-benar
di luar dugaan. Dibebani tanggung jawab yang besar, tiba-tiba ditunjuk sebagai
kepala keluarga dengan menghidupi 4 orang. Sedangkan ayahnya memilih hijrah
kesuatu daerah untuk melanjutkan hidup. Sebagai pendengar aku kecewa dengan
tindakan seorang ayah yang seperti itu. Temanku pun demikian,tak terima
ditinggalkan begitu saja. Seorang ayah yang masih berkewajiban pada anak-anaknya
memilih pergi dan menyerahkan segalanya pada dia. Kesal? Tentu, itu yang dia
rasakan seketika itu juga. Menyerah? Absolutely! bahkan itu menjadi hal pertama
yang ingin dia lakukan ketika ayahnya melakukan ‘serah terima’ tanggung jawab. Tapi untunglah temanku kembali ‘sehat’ dalam berfikir. Dia masih punya
adik-adik yang butuh dirinya. Setidaknya dia tidak ingin adik-adiknya tak punya
arah setelah kehilangan sesosok ibu dan ayah dengan cara yang berbeda.
Hingga kini, tanggung jawab itu masih
dipikulnya seorang diri. Lantas aku bertanya, apakah kau tidak menikah?. Dia
menjawab dengan tegas jika dirinya takut untuk percaya dengan pria. Pengalaman
ditinggal ayahnya pergi sudah cukup membuat dia trauma dengan cinta ataupun
sejenisnya. Jika seorang ayah saja berani meninggalkan darah dagingnya, lalu
bagaimana dengan pria lainnya. Dia hanya ingin fokus untuk membesarkan hati
adik-adiknya terlebih dahulu supaya tak berkecil hati sampai keadaan kembali
pulih.
Mungkin ayahnya memang salah, lari
ketika mereka sedang butuh seseorang untuk menguatkan ikatan yang longgar
akibat kehilangan cinta dari satu pintu. Pergi ketika mereka membutuhkan
seorang pelindung saat hujan kesedihan turun. Namun, dibalik itu,
bisa saja merupakan cara Tuhan untuk mendewasakan. Tetap bersama meskipun hanya
ada mereka 'tanpa ayah'. Seperti yang kukatakan tadi, barangkali untuk memulai
sesuatu yang baru kita harus mengalami patah kemudian tumbuh dengan kokoh.
Aku salut dengan semangat temanku itu
untuk bangkit dari rasa sakit. Tetap tersenyum meskipun hidup itu pahit. Tetap
hidup meskipun sulit, tetap melangkah meskipun hilang arah. Dia mengabaikan
sedih yang tumbuh merimbun di hatinya bahkan tak memiliki kesempatan untuk
memangkas hingga pangkal. Semata-mata untuk orang-orang di sekitar yang teramat
membutuhkan dia. Menurutku lebih dari itu kamu sudah menjadi wanita istimewa,
Teman. Patut untuk dijadikan panutan bagi aku yang masih kepayahan untuk terima
keadaan.
Dan untuk ayahku. Dari kisah temanku
ini membuat aku sadar. Sekuat-kuatnya engkau menahan perasaan. Kau tetaplah
manusia yang juga butuh didengar. Jika diizinkan, aku ingin menjadi dirimu,
terus tersenyum meskipun hatimu sedang pilu karena rindu. Aku ingin kuat
seperti dirimu meskipun aku tau engkau rapuh. Tetapi demi anak-anakmu kau tak
pernah mengeluh. Berusaha tegar meskipun dalam hatimu berantakan. Maaf jika aku
belum sempat membahagiakan. Masih menjadi anak yang penuh dengan permintaan ini
dan itu. Ayah, maaf membuat tanggung jawabmu masih panjang hingga kelak aku
akan di pinang.