Cara Terbaik Adalah Dengan Kita Tidak Bersama


Aku masih memikirkan bagaimana kita mulai sepakat untuk meleburkan perbedaan. Menyatukan hati yang berantakan dari masa kelam. Bagiku, cukup kamu yang saat ini ada didepanku yang akan kupandang. Kau potongan dari ceritaku yang sempat hilang dimakan waktu. Aku harap begitu juga aku bagimu. Hanya ada aku yang akan kau pandang meskipun banyak yang berkeliaran. Mulanya, kita baik-baik saja saling menerima apa adanya diri kita. Lengkap dengan sifat bahkan kebiasaan yang tak seharusnya kita lakukan. Mampu berikrar berubah perlahan-lahan demi kita untuk saling menemukan kenyamanan.

 Aku mencintaimu, itu yang ku tekankan pada otak dan hatiku. Meskipun tak sebanyak pada seseorang yang dulu. Orang yang kupercaya lebih dari ratusan persen namun diakhirnya memilih untuk meninggalkan tanpa pemberitahuan. Kini, setidaknya aku mulai membuka hati, tak menutup diri dan memberikan kesempatan pada seseorang yang berusaha membahagiakanku. Aku jatuhkan pilihan itu padamu, seseorang yang menjadi tambatan hati baru yang akan menghilangkan sedhku.

 Sebulan bersama, kita masih menjadi pribadi yang asyik, saling mengingatkan, memberi kabar dan saling tukar pikiran tentang apapun yang kita alami untuk menghabiskan hari. Semata-mata akan selalu ada bahasan yang tak terlewakan karena kita tak bertemu. Mungkin karena kita berpegang teguh bahwa segalanya apabila perlu dibicarakan, akan kita bicarakan. Aku mulai menaruh hati pada upayamu menyakinku. Mampu membuat diriku melupakan masa lalu. Tak perduli cibiran yang kadang aku terima bahkan dari orang-orang terdekatku, tentang gaya bicara ataupun penampilanmu. Aku sama sekali tak perduli. Aku mampu berdamai dengan ocahan itu, setidaknya aku tak terpengaruh.

 Dua bulan selanjutnya, ketika kita mulai memilah-milah mana kebiasaan yang harus kita tiadakan. Kamu dan aku setuju bahwa beberapa hal yang masih ada di diri kita harus hilang. Bukan lagi tak menerima apa adanya. Tetapi jika itu mengarah kekeburukan dan tak baik untuk hubungan selanjutnya, apa salahnya ditanggalkan, sebab, apa yang akan kita bina sudah bukan rasa yang main-main. Namun, aku temui kau masih dengan kebiasaan yang sama. Bermain didunia maya. Menenggelamkan dirimu lebih dari waktu yang kau habiskan bersamaku pun dengan orang sekitarmu. Menjadi manusia asosial. Aku sempat berujar bahwa itu kebiasaan buruk. ‘Bagaimana dengan impian yang sudah kita gantung setinggi langit. Apa mau kau jatuhkan ke tanah dengan kebiasaanmu itu?’. Tanyaku yang mulai terbakar kesal.

 Kau meminta maaf untuk pertama kalinya. Dan berjanji akan mengurangi kebiasaan berdiam diri menghabiskan waktu untuk permainan di dunia maya. Aku luluh, mungkin saja ini menjadi akhir dari kebiasaan burukmu. Namun, Belakangan aku masih menemukan kau masih bergelut dengan dunia maya. Kau telalu asyik dengan kegiatan yang tidak hanya berdampak buruk pada kesehatanmu. Tapi juga aku yang kau gadang-gadang menjadi calon ibu dari anak-anakmu. Bukannya aku mempermasalahkan waktu untuk bertemu denganku. Tapi karena kau menomersatukan hal-hal yang tak perlu. Sedangkan mana yang harus didahulukan kau sampingkan. Bagimu ini masalah sepele, tapi tidak bagiku. Hal ini cukup membuatku berpikir lebih jauh. Bagaimana  jika nanti kita menikah, untuk keperluan rumah tangga saja aku harus menjabarkan padamu satu-satu. Harus berlomba dengan kebiasaan yang sangat menyebalkan itu.

 Lagi-lagi kau meminta maaf dan membuat janji yang sama. Kau terus saja membela bahwa apapun yang ingin kau lakukan selalu menunggu izinku, bahkan untuk hal yang kau anggap penyelamat waktu luangmu. Kita mulai sering berselisih paham. Berdebatan mengenai kebiasaan selalu menjadi alasan kita mengakhiri pertemuan. Kalii ini aku sudah lelah. Membiarkanmu dengan jawaban seadanya. Aku lelah untuk berdebat sedangkan kau masih sama. Kali ini kita tak sependapat hingga aku memutuskan bahwa tak bersama menjadi jalan keluarnya. 

 

Tak Selalu Patah Hati

Aku tak selalu patah hati, meskipun aku berkisah menghabiskan waktu yang tak sebentar. Melewati hari demi hari, bahkan bertahun-tahun lamanya hingga satu dasawarsa, tentangmu tak semuanya luka. Ada bahagia yang kadang aku rindu untuk mengulangnya. Ada kalanya aku juga bahkan teramat sangat bahagia. Menghabiskan sebagian ataupun keseluruhan waktu yang hanya diisi oleh kita. 

Aku tak mengira kalau jatuh cinta lalu terluka di kamu butuh waktu yang tak sebentar. Ada proses yang terjadi sampai-sampai aku dibuat menangis sendiri. Merindui hal yang sebenarnya telah mati. Berjalan tertatih untuk semangati diri sendiri. Sayang – panggilanku untukmu orang yang telah menjadi bayangan. Aku tak selalu patah hati. Perihal cinta mana ada yang mulus-mulus saja. Apalagi dengan hubungan yang tak punya nama. Ibarat rumah singgah, siapapun bisa datang dan pergi mengikuti kemauannya. Aku hanya dituntut untuk melepaskan meskipun berat melupakan. Setidaknya ada kenangan yang mampu dijadikan pelajaran.

Sayang, Aku tak ingin menghambat langkahmu untuk beranjak.  Sama sekali tidak. Biarkan aku yang masih jatuh cinta padamu memelukmu dalam anganku. Sekali lagi, Perihal hati aku tak selalu terluka. Aku harus mengakui jika pernah bahagia. Ada kamu dan aku yang menyatu menjadi kita. Memupuk asa untuk bersama dalam keadaan bagaimanapun kita nantinya.  Meski nyatanya kita terpisah karena ada prinsip yang tak mau sama.

Sayang, Tak adil jika hanya kubagikan duka sedang senang juga tak sedikit yang kuterima. Aku hanya ingin kamu tau, kamu bukan bagian dari sesalku. Mungkin takdir kita memang harus bertemu namun tak menyatu. Saat ini, aku hanya ingin berdamai dengan hatiku. Denganmu, meskipun tak sepaham hingga berjarak dan melepaskan. Tak semua kisah tak mengenakkan.

Wis (udah)

Tepat setahun lalu, gejolak batin selama empat tahun dibayar di pagi yang indah. Di bawah langit yang cerah dan udara yang segar. Diiringi doa orang tua, kakiku yang sedikit gemetaran menuju pelataran kampus orange. Maklum saja, waktu itu sidang skripsi, jadi aku sengaja datang pagi-pagi sekali untuk tahu siapa pengujinya. Sedikit cerita, pagi itu aku memasang wajah sok tenang dan tegar. Ketika ditanya teman lalu diberi motivasi, aku cuma senyum dan angguk-angguk pertanda paham. Padahal, pagi itu perasaanku tak karuan, parno dengan penguji skripsi yang kadang bikin mahasiswa keluar dari ruang dengan wajah yang tak menentu. Kedatangan pagiku tak berbuah manis, penguji masih belum kuketahui, pas tanya ke mbak Cusnul (TU Dep Kom) bilangnya ndak tau (Mbak, itu kebohongan yang ga asyik loo). 

Nahasnya lagi sidang harus ditunda karena ada penguji yang belum datang dan satunya lagi sedang nguji mahasiswa lain (dari sini mulai tau calon penguji ku salah satunya siapa). Well, jantung ketika itu kok ya berdebarnya malah  frontal denger jawaban model gitu. Malam sebelumnya tidurku tak begitu nyenyak, di hantui berbagai perasaan khawatir. Kalau-kalau esok hari paperku akan di bumi hanguskan, dicaci maki, dihina dina bahkan dilemparkan ke wajah oleh penguji (maafkan yaa mas/mbak/pak penguji, itu sekelebat kok pikirannya). Padahal itu mahakarya (halah) untuk memenuhi deretan skripsi perpus, ditambah kukerjakan dengan cucuran darah penuh perjuangan dan pengorbanan di kampus “tak berbayar”.  Perjuangan untuk mengakhiri pembelajaran akademik dan untuk pelajaran hidup selanjutnya.

Detik jam seolah terdengar nyaring di telinga, detak jantung pun masih  tak santai. Keringat dingin terus bercucuran di pagi yang sebenarnya terasa dingin. Mungkin lagi, efek akan di sidang, yang hasilnya mempengaruhi masa depan. Semua pengetahuan empat tahun dipertaruhkan untuk hari itu. Berdoa tentunya kulakukan di setiap langkah menuju ruangan eksekusi. Berhadapan dengan pada dosen penguji yang aku sendiri tak tahu siapa mereka yang akan menguji. Sekali lagi, dosen di komunikasi UA tak akan bisa ketebak sifatnya, kadang baik peringainya, lucu goyonannya, bahkan akan ada dosen yang luwaaaaar biasa selalu ingin menang sendiri (lagi-lagi ini interpretasiku, maafkan ya mas/mba/ buk/pak) mereka terlalu moody-an. 

Sudah jam 09.00 seharusnya para penguji hadir, tapi karena ada info akan di undur sekitar 15 menit jadilah kubaca lagi sebendel paper yang belum terjilid itu. Oh.. fail  yang kubaca tak masuk otak mungkin terlalu grogi. Baiklah 20 menit kemudian para penguji masuk. Satu-satu ku amati “Oh.. yaa. Dosen ini asyik, dosen ini gokil, lohh.. kok ada dosen ini, lah dosen pembimbingku mana” yaa begitulah batinku penuh tanda tanya.

Ujian muncul lagi, ketika leptop yang harusnya kusambungkan dengan  LCD, kabelnya ga nyampek, di putar kanan putar kiri ya ga muncul di layar. Ya Tuhan kenapa lagi dengan hari ini. Oke! Penguji bilang, "ga usa pake PPT, pakai leptop kamu saja". Lah kan aneh materiku pakai audio visual. 30 menit menjelaskan latar belakang, teori, gambaran umum, pembahan serta kesimpulan. Fokus fokus begitu pesanku dari diri sendiri. Akhir presentasi usai. Manuver pertanyaan pun mulai muncul. Setiap lembar demi lembar dapat kritikan, dipertanyakan kenapa begini, kenapa begitu. Seharusnya begini, seharusnya begitu. Ga usah pakai ini, kurang  teorinya, pembahasannya kurang dalam lah (nah.. inikan emg penelitian yang diskriptif bukan yang eksplore). Dan masih banyak lagi yang dipertanyakan. Sebenarnya sidang itu santai layaknya ngopi di warung kopi. Tapi siapa sangka dari “ngopi” di warung  itu tadi ada pertanyaan yang buat otak muter nyari jawaban yang sekiranya tepat. Singkatnya, 45 menit dihabiskan di ruangan yang tak terlalu besar dan dipenuhi meja kursi. Diisi oleh 4 orang termasuk aku dan penguji. Tiba saatnya pengumuman hasil sidang. Pas keluar ruangan ada mbak-mbak cleaning service yang juga penasaran dengan hasil sidang. 

Aku cuma ngasih senyuman sambil mengangkat bahu, aku juga gemetaran “ga tau mba, lihat hasilnya aja nanti” itu kalimatku ke mbak2 tadi. 5 menit kemudian masuk keruang eksekusi,, mendengar ucapan dari penguji tentang skripsi yang penuh coretan tadi. Akhirnya, skripsiku di nyatakan lulus dengan sederet PR yang harus segera diselesaikan dengan deadline yang tak panjang. Ahh biarlah itu urusan belakangan, setidaknya one step closer  untuk segera “minggat” dari kampus kesayangan dan tak bergelar mahasiswa abadi. Senang luar biasa tentunya antara hasil dan usaha seimbang nilainya.

Sejauh Satu Dasawarsa



Siapa yang tidak pernah jatuh cinta untuk waktu yang lama?. Aku yakin semua orang pasti pernah. Bedanya, diungkapkan yang akhirnya memiliki, ataupun mengungkapkan namun tak  diterima oleh sang pujaan hati. Kemudian beralih pada hati yang baru yang mencintai dia secara menyeluruh. Atau bisa saja memilih memendam menunggu takdir Tuhan yang berjalan. Menemukan jalan agar kau dan dia pada akhirnya menjadi pasangan. 

Aku memilih menjadi golongan orang-orang yang memendam. Selama kamu selalu sampingku, tak luput dari pandanganku, aku bisa menahannya. Menahan rindu yang muncul dengan hebatnya karena kamu terlalu istimewa.Aku tak ingin tamak, berharap lebih dari hubungan yang sudah menjadikan dirimu nyaman saat kau berkata lebih baik kita berteman.

 Jatuh cinta seperti ini bisa saja menyiksa. Kadang kala aku pun merasakannya. Membiarkan dirimu dicintai yang lain. Mencuri-curi waktu untuk sekejap menatap, berharap kau membaca rindu yang hanya kusematkan meskipun sekelebat. Kau tak harus membalasnya, karena aku tau, rindu itu tak pernah memaksa. Hanya saja jika mulai curiga karena aku mulai berani menunjukkan bahwa kau orang yang kupilih untuk kucinta. Berpura-puralah karena aku takut kedepannya akan ada sesuatu yang membuat kita jauh. 

Aku sudah bahagia, pernah menjadi sandaranmu. Menjadi telinga untuk setiap ceritamu, pun menjadi tangan yang selalu siap memegangimu kalau kau jatuh. Teruntuk kamu yang aku cintai hingga sejauh satu dasawarsa. Tetap seperti itulah, aku sudah bahagia.

 

Kapan Kamu Akan Menikah

Untuk yang selalu terjebak dengan pertanyaan kapan menikah, yakinlah kau tak sendiri. Hal ini biasanya terjadi di setiap kegiatan halal bihalal, sedikit terselip sebagai bahan pembicaraan antar orang yang sudah ataupun merasa dewasaTernyata pengalaman ini tidak hanya terjadi padaku. Tapi kepada teman-teman yang hampir seusiaku. Setiap bertemu, pembahasan kami selalu menjurus kearah jodoh, pernikahan, hubungan serius dan sejenisnya. Aku bisa mengerti kenapa ada pembicaraan yang sudah mengarah kesana. Bagi perempuan, berdasarkan usia dan pribadinya yang dinilai “mampu” dianjurkan untuk segera menikah. Anjuran tersebut pun pernah diwacanakan di beberapa media konvensional swasta (Sebut itu TV) Bagi wanita berusia 21 tahun sudah wajar untuk menikah. Bahkan anjuran itu kadang mulai frontal hingga beralih ke “Paksaan”. parahnya pula hal itu kadang datang dari keluarga, kerabat bahkan orang lain yang tak memiliki hubungan dengan kita (alias orang lain yang beda bapak-ibu tapi masih satu dunia).

Dari kisahku, Intervensi “segera menikahlah atau kapan menikah?” mungkin lebih banyak dari orang yang belum sepenuhnya mengerti aku. Hanya sekedar tahu umur dan kesukaanku pada anak kecil, lalu tiba-tiba antusias untuk menyuruh menikah. Bahkan ada yang rela mencarikan jodoh. Sempat risih dengan pertanyaan itu, hingga akhirnya smiling can fix it setelah itu ngacir jadi andalan. Aku tak mau ambil pusing seputar menikah. My family love me much, they know me so well. Mereka tau sekiranya aku sudah siap lahir batin, aku bisa menikah kapanpun aku mau, yaa.. tentu kalau jodoh sudah datang ketuk pintu hati. Kalau pun saat ini masih belum ada tambatan hati (sebut saja itu kekasih) why ? single is not bad it all.

Lain aku, lain pula temanku. Kami teman sebaya. Sama-sama single. Kita sering bercanda menikmati  girls day time out. Namun sebenarnya  dia panik untuk urusan menikah. Tak menyalahkan juga jika sudah ada pemikiran dia yang kearah membina rumah tangga. Toh menurutku dia hidupya sudah settle. Tapi ternyata pemikiranku tak sepenuhnya benar. Ada dorongan dari pihak keluarga yang ingin dirinya segara dipersunting. Ditambah dengan tetangga yang selalu ikut campur dengan kehidupan pribadinya. Membuat dia semakin panic dan jenuh dengan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Alasan yang diutarakan pun tak lain karena umur. Secara garis keturunan dari kakek moyang, dia saudara tertua dari keluarga besarnya hingga mau tak mau pertanyaan “kapan menikah?” tak pernah luput dari hari-harinya kini. Dia sempat mengutarakan kalimat pasrah “siapapun yang mau melamarku, silahkan datang ke orang tuaku”. Itu kalimat baik. Tapi aku cukup prihatin ketika seseorang sedang aktif-aktifnya mengeksplorasi diri untuk hal positif harus diberondong pertanyaan seputar kapan menikah.

Aku mulai paham, untuk urusan menikah, hal yang paling utama diukur adalah usia bukan persiapan diri. Jika usiamu sudah 20 tahun keatas, maka bersiap-siaplah untuk pertanyaan seperti ini. Bahkan seseorang yang tak punya kepentingan dengan kita pun juga turut andil membuat seseorang yang belum bertemu dengan orang yang tepat bertanya kapan menikah?. Sebal pastinya, ketika kita fokus untuk memperbaiki diri, memperbaiki ekonomi kehidupan, meniti karir kemudian digoda dengan seputar pertanyaan yang dilakukan berulang-ulang.

Pahamilah, bahwa sebenarnya seseorang yang belum menikah tentunya memikirkan hal demikian. Namun dia mampu menyembunyikan dan tetap terus mengguratkan senyum diwajahnya. Semata-mata karena dia tidak ingin menganggap bahwa itu beban dan hidupnya dipandang menyedihkan. Dia tetap bisa bahagia meskipun belum menikah. Bukankah jodoh itu sudah ada yang atur, kalau memang belum bertemu yaa..karena memang belum saatnya.

Bagiku menikah itu bukan hal yang sederhana, menikah bukan drama seperti di telenovela yang digambarkan sebagai perihal yang selalu manis-manis aja.  Bukan pula hal yang sulit sehingga aku mewakili perempuan yang sudah seperempat abad, takut untuk kejenjang lebih lanjut. Menikah butuh persiapan, tidak hanya materi tapi juga hati. Menerima orang baru dikehidupan kita, menerima keluarga baru , mengabdi untuk satu orang selama sisa hidupnya. Banyak hal perlu dipikirkan untuk menikah. Menikah pun juga ada prosesnya. Aku yakin setiap orang juga ingin menikah. Menyempurnakan agama dan memperbanyak generasinya. Aku pun demikian, hanya saja sebelum bertemu dengan orang yang tepat apa salahnya mengeksplorasi diri, mengejar yang belum sempat ter-raih dan mewujukan mimpi yang belum sempat terpenuhi. 

Untuk Indonesia Yang Kucinta

Sebelumnya, siapapun yang membaca tulisan ini tolong dipahami. Di dunia cyber setiap orang tidak dibatasi atau boleh mengungkapkan dan mengutarakan apapun, asalkan tidak merugikan pihak manapun. Jika tidak bisa ikut andil untuk menyuarakan di depan semua orang. media yang ada adalah pilihan dan dirasa mampu menjadi jembatan untuk menyampaikannya, termasuk yang kulakukan ini. Aku sadar mungkin ada perbendaharaan kata atau kalimat yang tak tepat, namun inilah pemikiranku yang kuutarakan ketika ide itu muncul saat aku membuka mata.

 Beberapa waktu yang lalu bangsa Indonesia disambut dengan hari lahir PANCASILA ditanggal 1 Juni. Kalau boleh jujur, aku sebagai bangsa Indonesia sendiri masih belum paham, bagaimana harus menyambut hari yang dikalenderku di Bold dengan warna merah ini. Apa itu menandakan bahwa aku bukan seorang pancasilais ?. Sedangkan aku tahu dan hafal setiap ayat dan mampu menguraikannya dengan pengetahuan ku yang minim ini. Tidak hanya itu, sedikit demi sedikit mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, meskipun belum sepenuhnya. Apa hal tersebut masih belum cukup bagiku untuk disebut seorang Pancasilais ?. Lalu apa karena setengah-setengah dari eksekusiku mengenai pemahaman Pancasila dikehidupan sehari-hari, yang juga dilakukan oleh masyarakat Indonesia menjadi dasar atas segala konflik di Indonesia yang aku cintai ini.

Sudah menjadi Headline dibeberapa negara bahwa Indonesia yang dikenal dengan negara multikultural ini dilanda krisis Pancasila. Banyak negara yang menyayangkan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Miris memang! negara yang memiliki begitu banyak adat istiadat, budaya, dan mengakui beberapa keyakinan yang dipeluk masyarakatnya berkonflik untuk saling menjatuhkan, dan merasa paling benar. Kejadian nyata yang menjadi perbincangan dunia adalah kepemimpinan non muslim di ibukota yang di vonis menistakan agama. Awalnya aku tak perduli karena memang bukan di kotaku dan tidak akan berdampak sama sekali padaku. Namun karena ada isu yang mengatakan akan terjadi demo besar-besaran, yang di ikuti oleh ribuan muslim di berbagai penjuru Indonesia di ibukota. Akhirnya berimbas dengan di merahkannya kalender masehi oleh presiden Jokowi sebagai hari libur nasional. “Hadiah” libur tersebut menurutku aneh, kenapa harus dinasionalkan, dan kenapa harus diliburkan.

Aku tergelitik untuk menyaksikan video yang dimaksud. Video yang menjadi viral dan menjadi bukti utama bahwa sang pemimpin ibukota melakukan pelecehan agama, ketika melakukan kampanye untuk pemilihan gubernur yang akan berlangsung. Pertama kali aku menyaksikan, video yang terpotong dan dimenit krusial sang pemimpin mengutip surat Al-Qur’an yang di floorkan didepan audiensnya. MENURUT PENDAPATKU atau INTERPRETASIKU, kandidat tersebut tidak bermaksud melecehkan. Yang kutanggap dari apa yang dikatakannya adalah kandidat tersebut meminta kepada warga untuk tak termakan dengan politisi yang dalam kampanyenya MEMANFAATKAN agama untuk masyarakat setempat yang masih awam. Dan video tersebut pun tak diyana disebarluaskan dengan menambah-nambahkan deskripsi yang mampu menyulut amarah siapapun yang menonton terutama yang kontra dengan sang kandidat. Hingga akhirnya kadidat yang juga masih menjabat sebagai kepala daerah itu dihukum dengan hukuman yang sulit untuk diterima akal.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa black campaign itu “ legal dan sah ” bagi tim sukses setiap kandidat untuk melancarkan aksinya. Mungkin tidak semua yang memberlakukannya, tapi saya yakin it does exist. Meskipun ada anggapan bahwa politik itu “kotor”, namun saya percaya masih ada orang-orang didunia politik yang nuraninya tidak mati. Ingin benar-benar mendediksikan hidupnya untuk negara yang lebih baik.

Aku lahir di Indonesia, keluargaku beragama muslim, tentunya aku juga menjadi muslim. Muslim bukan pilihanku tapi itu adalah identitasku. Orang tuaku mengajari nilai-nilai agama sedari kecil terutama tentang tanggung jawab sebagai seorang muslim yakni mengaji, sholat, berpuasa pun dengan bersosialisasi antar umat beragama. Beranjak dewasa, pengetahuanku mengenai agama sedikit meluas bahwa di Indonesia ada beberapa agama yang diakui pun dengan aliran-alirannya tak terkecuali dengan aliran agamaku sendiri.

 Aku masih memegang islam karena memang aku sudah jatuh cinta dengan agama ini. Meskipun ibadahku belum sempurna, tapi aku sedikit banyak tahu tentang islam dan mengimani setiap sabda yang Allah ucapkan. Aku pernah mendengar salah satu ustad mengatakan bahwa setiap pemeluk agama akan mengagungkan agamanya. AKu setuju!. Namun dengan catatan TAK MERENDAHKAN agama lainnnya. Namun yang terjadi di Indonesia saat ini adalah agama menjadi KOMODITAS yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bisa bertanggung jawab untuk menghancurkan kebhinekaan yang sudah mendarah daging di Indonesia. Agama memang menjadi pegangan bahkan KEHARUSAN bagi setiap pemeluknya, namun jangan dijadikan boomerang untuk menghancurkan sesuatu yang memang dari awal sudah multikultural yakni Indonesia. 

Jika ditanya, apa aku mendukung kandidat tersebut, aku jawab tidak. Aku hanya apresiasi perubahan yang sangat signifikan dimasa kepemimpinannya. mampu do real action sebagai pemimpin. Sayangnya, mungkin kalimat yang diutarakannya ketika itu kurang tepat. Jika pernah mendengar sebuah kalimat Manusia adalah tempatnya salah, itu adalah benar.  Tapi apa dirinya lepas tangan ?. Dia bertanggung jawab, mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Namun itu masih belum cukup untuk pembencinya hingga masalah etnis pun mulai dimunculkan, agama yang dianutnya pun dipermasalahkan. Ini adalah pemikiranku, murni dari nuraniku dan sebagai cerminan untuk diriku, bahwa tanggung jawab atas segala tindakan itu tidaklah mudah, tapi harus tetap dilakukan untuk menjadi manusia yang mulia.