Allah Lebih Mencintaimu Dari Pada Kami Yang Ada Di Sini

Siapapun pernah mengalami ini perihnya kehilangan. Bahagia itu tak pernah permanen, selalu up and down, tak terkecuali kejadian yang menimpaku. Aku yang hanya manusia biasa, yang masih belum cukup kuat untuk benar-benar merelakan kehilangan seseorang yang menjadi panutanku. Bagaimana mungkin aku tak lemas bagai tak punya tulang penyangga, ketika mendengar berita mengerikan bak langit pucat tanpa awan yang siap untuk menurunkan hujan. Bagaimana mungkin hatiku tak pecah berkeping-keping seperti kaca yang jatuh ketanah dengan kerasnya. Mendengar suara jeritan tangis lirihnya memanggil orang terkasih yang tergeletak tak bergerak, menutup mata selamanya untuk hidup didunia keabadiannya. 

Tangisku memang tak terdengar riuh seperti orang-orang sekitar saat ini. Tapi airmataku tak pernah berhenti untuk berlomba-lomba tumpah membasahi pipi. Ini masih dini hari kupikir aku mimpi. Aku tutup mataku untuk beberapa waktu mungkin saja ini mimpi buruk, aku lupa untuk berucap doa sehingga Tuhan menghukumku dengan mimpi yang mengerikan. Tapi ketika aku membuka mata, keadaan tetap sama, suara tangis semakin menjadi-jadi, tiba-tiba seseorang memelukku, berkata padaku untuk tetap tenang, aku melihatnya, aku terdiam aku tak bisa merasakan apa-apa saat itu. Pandanganku kosong, sejenak aku binggung siapa dia yang memelukku saat ini, tak henti-hentinya dia mengusap air mataku yang masih tak ingin berhenti. Aku tersadar ini nyata, ini benar-benar hari yang teramat buruk dalam hidupku. Aku melihatnya seseorang yang terbaring tak bernyawa. Itu ibukku, didepanku adalah ibukku, dia ibukku, ibukku menutup matanya, ibukku meninggalkanku dan saudara-saudaraku. 

Baca Juga: Beralaskan Sajadah

Separuh kebahagianku hilang di hari itu. Ayah mulai menyalakan seluruh lampu, memanggil seluruh tetangga untuk turut membantu proses pemakaman. Mungkin aku masih terlalu kecil, atau memang aku belum mengerti apapun saat itu. Ayahku, sisi lain dari ayahku muncul, pria paruh baya itu nampak tabah. Aku tau dia orang yang teramat terpukul atas meninggalnya ibu. Kesedihannya sempat tertangkap mataku. Air mata sempat tumpah disudut mata. Namun karena ayah melihat aku, ayah segera mendekat lalu berkata "tidurlah... ini masih terlalu pagi, ibu sudah tenang, sekarang tinggal kita ber-empat". katanya lirih sembari menggendong adikku yang  belum genap 5 tahun.  

Malam itu, kesedihan yang Tuhan berikan tanpa kompromi. Tuhan mengambil salah satu cahaya dirumah kami. 

 

Sakit Tanpa Jeda


Beberapa tahun yang lalu kau memutuskan untuk berpisah, mengakhiri masa-masa indah yang pernah kita rajut berdua, kau pergi dengan kata-kata yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Meninggalkan luka yang sampai sekarang aku tak tahu apa obatnya. Bagaimana bisa saat ini kau hidup bahagia sedangkan aku dirundung duka yang tak pernah berujung sampai mati pernah ku dambakan?. Seandainya luka yang pernah kau torehkan dapat kuhapus dengan mudah, mungkin tak pernah selama ini aku tetap menutup diri dengan kekhawatiran yang menjadi-jadi. Seandainya kenangan yang pernah membawaku melayang mudah untuk kulupakan, mungkin aku saat ini bisa menciptakan pelangi yang tak pernah pudar.
 

            Saat ini, aku mengalah dengan hatiku, membiarkan terus mencintaimu meskipun aku tau, sakitnya untuk tetap mengenang hal-hal yang tak pernah akan terulang. meskipun aku tau itu ada kesalahan, namun tetap kupertahankan. terlalu bodoh rasanya tak bisa membedakan mana setia dan mana teraniaya. Sakitnya kehilanganmu menjadikan duniaku kelabu,aku hanya mengenal hitam dan putih, aku hanya mengenal bagaimana disakiti, hingga aku selalu merasa hambar ketika seseorang datang dan menawarkan bahagia seperti yang dijanjikan. aku takut, tak bisa sepenuhnya percaya, aku takut tak bisa seluruhnya merasakan nikmatnya malam berkencan dengan suasana nan romantis, sedangkan hati masih tertulis dan tegambar jelas tentangmu.

            Sekarang tiba-tiba kau datang, kau terlihat baik-baik saja didepanku, aku kesal melihatnya, aku kesal melihat kau tersenyum lagi padaku dan menanyakan kabarku, tak bisakah kau lihat bagaimana aku?? bibirku terkunci rapat saat kau bercerita indahnya kehidupanmu, tak sepatah katapun mampu terucap ketika hati digenggam erat dengan luka yang tak sedetikpun mencoba untuk melepaskanya. Ingatkah kau asal muasal sakinya hati ini, tak bisakah kau mengatakan sesuatu yang membuatku bernafas lega dan tak pernah memikirkan hal gila yang pernah kita lalui?.Sakitnya pertemuan denganmu ini menjadi lebih dan lebih ketika tangan yang pernah membelai manja rambutku merengkuh tangan lain, sakit ini tanpa jeda, belum sembuh luka yang kurasa kini aku harus melihat yang menghujam jantungku.

Aku tak suka melihatnya, ingin ku berkata lepaskan, aku tak suka melihatnya, jangan lakukan di depanku!, kau pria gila! kau gilaa melakukan itu padaku! tapi aku tetap terdiam, tangis pilu yang tak mampu kusembunyikan membuat air mata perlahan-lahan membasahi pipiku.