Ini Hanya Siti Tanpa Nurbaya

Suasana begitu meriah saat itu, banyak warga yang berkumpul di rumah yang tak seberapa besar. rumah itu masih beralaskan tanah yang menjadi ciri dari rumah desa.  Para tetamu saling bertukar sapa, terlihat banyak wajah bahagia yang memenuhi rumah itu.  Janur kuning melengkung mewarnai atap rumah tersebut, pertanda bahwa hari ini adalah hari bahagia sepasang kekasih yang mengikat janji sucinya dengan sebuah ikatan pernikahan. Tak henti-hentinya Pak Sapto menyalami setiap tamu yang datang dan mempersilahkan duduk, sedangkan bu Sapto sedang sibuk menyajikan makanan untuk para tamu. Riuh suara tamu yang hadir seolah pecah dengan kehadiran Pengantin wanita dengan riasan sedeharna yang keluar dari persembunyiannya. Beberapa  saat yang lalu dia dirias dan kini terlihat berbeda dan  mangglingi para tamu. “Siti terlihat cantik ya.. ” bisik seorang tetangga pada tamu yang berada di sampingnya.

Namun hal berbeda justru telihat di raut wajah pengantin wanita, wajah Siti Nampak sendu kepalanya tertunduk sembari di papah menuju penghulu, tak ada senyum yang terpancar dari wajah manisnya. “Kasian ya.. djipaksa nikah sama bapaknya..” Salah seorang tetangga nyeletuk agak keras, sehingga membuat pengantin wanita menghentikan langkahnya sejenak. Bu Sapto yang berada di sampingnya menyuruh untuk memegangi lengan Siti agar melanjutkan langkah untuk bertemu dengan calon suaminya. “Bisa dimulai, pak penghulu.” Bisik Pak Sapto pada pengghulu. Penghulu hanya membalasnya dengan anggukan kepala. Siti hanya tertunduk lesu dan menatap dengan mata nanar kearah ibunya mengingat berbincangan dengan ibunya di ruang rias pengantin sebelum dirinya duduk di samping suaminya saat ini.

 “Bu.. saya ga suka sama mas Angga, saya enggak cinta, bu”  ungkap Siti kepada ibunya sambil menahan air mata. “sabar ya.. Nduk, bapak orangnya keras, kita juga ada hutang budi dengan keluarga pak Yadi” kata bu Sapto sambil membelai kepala anak pertamanya itu. “apa ga ada cara lain bu?” tanyanya “ini bukan Jamannya Siti Nurbaya bu, Siti mohon” pintanya, air mata pun tiba-tiba jatuh dalam pelukan ibunya. “siti, ibu njauk tulung¸Nduk, turuti apa yang dimau bapak yaa..” seolah ibunya tak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh imamnya itu. “apa bapak tau gimana perasaan siti, bu, Siti hancur, bapak sudah ambil kebahagiaan Siti” tangis Siti sudah tak terbendung lagi dalam pelukan ibunya. “Siti hanya ingin menentukan jalan hidup Siti sendiri bu… Siti janji, ga akan lupa dengan tanggung jawab Siti”. 

Lamunan itu, buyar, dengan suara dari penghulu.“Baik akan saya mulai, harap para tamu undangan tenang” pinta penggulu kepada para tamu”. Tangan calon pengantin Pria dan Pak Sapto – wali perempuan bertemu. Siti tak kuasa menahan tangis dalam diamnya, dia tak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan bapaknya yang berwatak kaku itu. Pernah suatu ketika, saat dia membantah dengan apa yang dikatakan oleh Bapak, dan tak menyetujui rencana pernikahan ini, tak lama setelah itu, kondisi bapaknya menurun dan harus dirawat dirumah sakit, Siti tak ingin hal tersebut terjadi lagi, alhasil dengan berat hati dia menyetujui apa yang di inginkan bapaknya.  Akad dimulai, dengan di saksikan oleh puluhan warga Dander, kata “Sah..” pun dilontarkan oleh semua tamu. Dan itu artinya, Siti resmi menjadi istri Angga, pria yang tak sedikitpun dia cintai. Siti bukanlah perempuan dengan pendidikan tinggi, dengan berbekal ijasah sekolah dasar karena tak mampu melanjutkan sekolahnya, Siti membantu orang tuanya untuk membiayai kehidupan keluarganya sehari-hari, dengan tanggungan ke 4 adiknya. Siti berjuang agar mereka bisa makan, sebagai pekerja pabrik desa dengan gaji yang tak seberapa, Siti bertemu dengan Pak Yadi, juragan di tempatnya bekerja yang saat ini menjadi mertuanya. Pak Yadi sering membantu kondisi keluarganya, terutama dari faktor ekonomi, suatu ketika Pak Yadi ingin menjadikan Siti sebagai menantunya, meskipun masih muda, Pak Yadi ingin segera meminang Siti untuk anaknya- Angga, dengan senang hati hal itu di iyakan oleh pak Sapto tanpa meminta persetujuan dari Siti.  

Pada malam pertama. Siti seorang diri di kamar pengantin yang sejak awal  tak diinginkannya, Gadis 17 tahun itu masih belum sepenuhnya menerima apa yang menjadi keputusan bapaknya menikah dirinya dengan Angga yang  saat ini menjadi suaminya. “aku bisa, membayar semua kebaikan pak Yadi, iyaa, tapi bukan dengan semua ini, ini sama sekali tidak ku inginkan” pikirnya. “mungkin sebaiknya aku kabur iyaa, kabur, mas Angga juga sedang keluar, aku tidak mencintai mas Angga sama sekali” pikiran gila itu merasuki pikiran Siti. Lama mempertimbangkannya, akhirnya Siti memutuskan untuk pergi dari rumah di malam pengantin yang seharusnya menjadi malam perpaduan kasih pengantin baru. 

Ketakutan menyelami diri Siti, takut apabila hal gila ini benar-benar dilakukan bagaimana dengan kondisi bapaknya. “mungkin dengan tulisan bapak akan mengerti kalau aku tak mengharapkan hal ini” gumamnya. Jam menunjukkan pukul 8 malam dan Angga juga belum masuk ke kamar. Para undangan juga sudah dipersilahkan pulang, maklum suasana desa sangat berbeda dengan kota,jam 7 malam saja sudah sepi, mungkin sebagian sudah terlelap dalam tidurnya.

“ini kesempatannya aku pergi” dengan menulis surat yang tak begitu panjang, Siti menjelaskan secara ringkas apa yang sebenarnya dia inginkan. 

maaf, pak. Siti sudah ga bisa lagi,pernikahan ini akan sia-sia, Siti hanya ingin bahagia dengan lelaki pilihan siti sendiri, siti janji, siti akan kembali dan jaga diri siti baik-baik, bapak juga, bapak harus sehat. 

Diletakkannya surat itu diranjang pengantin, dan berharap Angga akan melihatnya dan memberitahu bapaknya. Melihat kearah kanan dan kiri kamarnya yang nampaknya sudah sepi Siti berjalan perlahan keluar rumah dengan membawa beberapa baju, entah akan kemana kakinya melangkah, yang terpenting adalah sekarang dia bisa keluar  dan menjauh dari rumah itu. 

Malam semakin larut, Siti berjalan seperti maling, yang tak ingin ada seseorang pun mengetahuinya, Angin bersipak dengan sering, membuat bulu kudu merinding sangking dinginnya. kaki terus melangkah mejauh dari lingkungan kampung Dander.Terminal menjadi tempatnya untuk menentukan tujuannya, “Surabaya mungkin akan menjadi tempat yang baik untukku” pikirnya. Tak ingin dikenali di terminal Siti berpenampilan yang tak biasa, memakai jubah yang menutupi tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. memakai kerudung dan slayer untuk menutupi mukanya. “Nangdi mbak ?” Tanya kernet bis, dengan tatapan aneh. “Surabaya” jawabnya singkat. “mungkin satu kampung bakalan geger, setelah tau pengantin perempuanya minggat” desahnya. 

Sesampainya di Surabaya dengan ditempu perjalanan yang kurang lebih 3 jam, Siti tak tahu harus menuju kemana, diputuskannya untuk bermalam sembari mencari pekerjaan esok hari. Pagi menjelang, Angin Surabaya terasa segar untuk dihirup, hiruk pikuk kota Surabaya masih samar-samar terdengar. Dengan lulusan SD tak banyak yang bisa Siti harapkan selain menjadi pembantu rumah tangga mungkin juga buruh pabrik. “Hari ini akan terasa panjang, aku harus mendapatkan pekerjaan hari ini, sekaligusku untuk tempatku tinggal” kesahnya. Siti mendatangi dari rumah ke rumah menawarkan diri untuk menjadi pembantu rumah tangga ataupun baby sister. Namun tak satu pun yang mengindahkan penawarannya itu. Beruntung ketika ia sedang berkeliling ada seorang perempuan yang mendekatinya. “mbak.. nyari kerjaan?” tanyanya. siti hanya membalas dengan anggukan. di tempat saja ada, tapi sama seperti saya jadi pembantu rumah tangga, mau?” tawarnya. Tanpa berpikir panjang, Siti meng-iyakan tawarannya itu. 

Sudah 3 bulan Siti bekerja ditempat pak Karso, majikannya, dan disana dia diperlakukan dengan sangat baik walaupun sebagai seorang pembantu. Keinginan Siti untuk memberi kabar keluarga yang ada desa pun muncul. Namun karena tak ingin dipaksa untuk kembali kepada mas Angga Siti pun memberi kabar kepada saudaranya Nanik yang juga tinggal di desa yang sama, keduanya berjanji untuk bertemu di suatu tempat yang tak banyak orang tau. 

***  

mbak.. piye kabarmu?, semua orang kampung binggung nyari kabar samean mbak.. opo maneh mas Angga ” tanyanya dengan nada cemas. Siti hanya memberikan senyuman manis, tak terlihat wajah murung ataupun sedih seperti hari pernikahannya itu. “aku apik-apik ae, bapak , ibukku piye kabare, Nik, mereka sehat toh?, Mas Angga piye?” tanyaku bergantian. mereka baik, mbak.., oh yaa mbak klo mas Angga. pertama-tama mungkin mereka panik , mba. Mba Siti pergi tanpa kabar, bapak e mbak, kalau kangen mbak cuman baca surat dari mbak siti itu, tapi sekarang bapak sudah baik-baik saja, bapak nyesel maksa mbak siti. bapak percaya kalau mba Siti bisa jaga diri baik-baik diluar sana, sekarang mbak pulang yoo” pintanya dengan memegangi kedua tangan Siti. “belum saatnya Nik. nanti aku juga pulang kok, ohh ya gimana sekolah kamu?”

“lancar mbak, Alhamdulillah…”

“ini mbak ada sedikit tolong kasihkan ke ibu-bapak sama adek-adek e embak yo, dan ini juga buat kamu jajan, kamu sekolah yang pinter yaa, nanti mbak kabari kalau mau kesini lagi.” kata Siti dengan memberikaan 2 amplop yang bersisi uang.

“makasih yaa, mbak..”  

iyoo wes, klau ditanyai, bilang mbak baik-baik saja, mbak sudah nemu tempat kerja, dan majikannya embak baik banget sama embak. mbak minta tolong yaa jagain bapak- ibu, mbak balik dulu” Siti kemudian berpamitan pada Nanik, sambil memeluk saudara kesayangannya itu. 

Waktu berjalan dengan cepat sudah 1 tahun Siti di Surabaya. Asmara pun dimulai, Siti mengenal beberapa lelaki di Surabaya, dan mulai menjalin hubungan mulai dengan beberapa lelaki, maklum, meskipun sudah menjadi janda, Siti masih cantik, bahkan dirinya belum pernah tersentuh oleh Angga- mantan suaminya. Wajah Siti masih cantik, putih, bersih, diusianya yang ke 18 siti menjalin cinta dengan pria yang bernama Joko, pekerjaannya sebagai penjual sayur keliling membuat dirinya jatuh hati pada Siti. namun sayang hubungan itu tak berlangsung lama, alasan status menjadi kendala keluarga Joko tak menerima Siti, serasa di rundung duka yang teramat hingga melibatkan majikan untuk memberikan motivasi-motivasi pada Siti.

“wes talah, Sit.. wong lanang iku ndak satu. lagian Joko itu ndak baik, masa iya dia habis putus dari kamu coba deketin pembantu yang ada di komplek sebelah, saya liat sendiri ” kata Pak Wido majikannya. Siti hanya mengangguk-angguk, dengan ucapan pak Wido, “Pak Wido ga ngerti sih apa yang tak rasain” gerutunya dalam hati.

Tak butuh waktu lama, Rumah tempat siti bekerja dekat dengan sekolah menengah atas, salah satu siswa dari sekolah itu yang belakang bernama Agus jatuh hati padanya. Siti baru menyadari setelah teman sesama pembantu-Muna , mengatakan bahwa ada yang ingin berkenalan dengannya. Siti penasaran dengan orang yang Muna katakan, mungkin gara-gara Laki-laki yang Muna akan kenalkan itu masih berstatus pelajar.

endi toh, Mun arek e?” Tanya Siti dengan celingukan depan gerbang rumah pak Wido,

ko sek toh, enteni, arek e mbari iki rene kok” jawabnya, “nah itu de’e” sambil menunjuk pada segumbulan siswa yang menuju kearahnya.

“yang mana”

“yang ditengah, dan yang melambaikan tangan padamu, Sit”

Seketika sudah berada didepan siti, Siti terdiam, dan berjabat tangan dengan para lelaki itu satu persatu.

“ini loh, Sit, yang mau kenalan sama kamu” goda Muna, “Gus.. jangan diem aja,ini loh gadis impianmu”

Satu persatu, teman-teman agus pamit, Muna pun juga ikut masuk kedalam rumah melanjutkan perkerjaan.

“Sit..” sapa agus malu. “iy mas” jawab Siti singkat, “besok aku besok kesini lgi ya.. kn besok libur, kamu tinggal disini toh?” tanyanya.

“loh, mas, ga malu berteman sama pembantu”

“enggak, kenapa malu, kita seumuran toh, umurmu berapa ?” tanyanya, penasaran

“aku 18 mas”

“aku 19 , lebih tua aku toh, aku juga tau status kamu dan cerita kamu dari Muna,jadi kamu ndak usa minder ya, aku bisa nerima kok” pintanya.

Siti tercengang mendengar apa yang dikatakan Agus, masih pelajar tapi omongannya seperti orang dewasa. Setelah itu, Siti pun lebih sering ketemu dengan Agus,majikannya pak Wido pun tahu, siapa yang saat ini sedang dekat dengan Siti, bahkan majikannya itu tau dimana tempat tinggal Agus.

“Sit.. kamu pacaran ya sama Agus?” Tanya Pak Wido pada Siti saat sedang membersikan pelataran rumah. Siti hanya membalasnya dengan senyum dan tertunduk.

“ga pa-pa, Sit, Agus anaknya baik kok, saya tau keluarganya”. Siti sedikit kaget dengan apa yang dikatakan majikannya itu, tak pernah terpikirkan kalau Pak Wido sebegitu baiknya dengan dirinya, bahkan untuk urusan pribadi, Pak Wido sangat memperhatikan siapa yang dekat dengannya. Hubungan mereka terus berjalan ketahap yang lebih serius, meskipun masih menjadi Siswa SMA , Agus berani membawa Siti kerumahnya untuk dikenalkan dengan orang tuanya. Ujian pun dimulai, orang tua Agus masih belum menerima kehadiran Siti bukan karena status Siti ataupun pekerjaan Siti, melainkan karena Agus masih berstatus pelajar.

“maaf ya, Sit, orang tauku tadi masih belum merestui kita, tapi aku janji bakalan ngeyakinin mereka, kamu sabar yaa” pintanya

Siti masih terlihat tersenyum di depan Agus, berharap Agus menepati janjinya, dan tidak ada akan mengecewakannya. Sering Agus membahas Siti di depan orang tua dan jawabannya pun masih sama, Agus dinilai masih terlalu muda untuk bisa menjalin hubungan yang serius dengan Siti, Usaha Agus pun tak henti-hentinya hingga orang tuanya pun memberikan izin dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Agus. Agus di izinkan menikah asakan dia dapat lulus dari sekolahnya dan mendapatkan pekerjaan yang dinilai layak oleh mereka.

Senyum sumringah tergambar jelas diwajah ayu Siti, meskipun menunggu kurang lebih 4 tahun, Siti dan Agus tetap menjalin kasih. setelah lulus sekolah Agus pun mencari pekerjaan sebagai seorang montir sepeda motor. Berjalan  2 tahun setelah Agus bekerja, Agus memberanikan diri untuk melamar membawa Siti dihadapan orang tuanya lagi. Kali ini Orang Tua Agus menerima kehadiran Siti, meskipun pekerjaan Siti seorang pembantu dan hanya lulusan SD dan juga seorang Janda muda, orangTua Agus menerima semua itu.

“lega rasanya, bisa melalui hal ini, ya Sit ?” Tanya Agus sambil memegang tangan Siti. Mata Siti berkaca melihat usaha Agus. “terima kasih.. bisa mencintai saya dengan kondisi saya seperti ini. terima kasih, untuk tak pernah memandang statusku, Mas” pelukan mesrah itu pun diterima Siti.

“sekarang, ayo kita temui keluargamu, yang ada didesa, aku ingin segera melamarmu Sit”

 Tak lama setelah itu, Siti dan Agus menuju Dander untuk meminta restu keorang tua Siti. Seluruh Warga melihat Siti yang datang dengan seorang Pria yang bukan Angga. sesak dirasa Siti, binggung apa yang harus dikatakan kepada kedua orang tuanya. ketika tiba didepan rumah Siti, Siti tak melanjutkan langkahnya, perasaan bersalah, menyesal berkecamuk dihatinya. Pintu tiba-tiba terbuka. Wanita paruh baya keluar dari rumah yang tak sedikit pun berbeda saat Siti meninggalkan kampung halamannya itu.

“ibuk…………” teriak siti, yang kemudian berlari memeluk ibuknya itu. tangis harus pecah diantara keduanya.

“kamu kemana, Nduk, ibuk kangen..?,kamu 5 tahun ga pulang.. cuman titip kabar lewat Nanik, kamu ga kengen apa sama ibuk”

“kangen buk, Siti kangen..kangen bapak, kangen adek-adek.. ibuk gimana kabarnya ?”

“ibuk baik, adek baik, bapak juga baik”

Terlihat pak Sapto keluar dari kamar dengan mata sembab. semua mata tertuju padanya.

“Siti…” sapanya. kemudian Siti memeluk bapaknya, terasa lega rasanya melihat bapaknya yang masih sehat bugar setelah kepergiannya.

“maafin siti, Pak, siti ga maksud nyakitin hatinya bapak..”

“maafin bapak juga, Nduk, bapak ndak ngerti apa karepmu. bapak egois.. maafin bapak”. Suasana haru terlihat disana, semuanya pun bertanya-tanya siapa pria yang bersama Siti kali ini.

“Dia Agus, calon suami Siti  Agus ini, ibuk sama bapakku” mereka pun saling bersamalaman.

“kedatangan saya kesini, tak lain untuk melamar anak bapak, Siti”

“boleh… asal dengan satu syarat, Siti menyelesaikan urusannya dengan Angga” . Sunyi suasana ketika pak Sapto menyebutkan nama Angga.

“Mas Angga?” tanyanya lagi. “Iya Angga, kalau kamu mau menikah sama Agus, kamu harus cerai dulu sama Angga, Angga sedang perjalanan ke sini. nunggu mungkin sebentar lagi tiba”. ucap Pak Sapto

Deruman motor berada di pekarangan rumah, “mungkin itu dia”. untuk pertama kalinya, Angga dan Agus bertemu. Suasana bertambah hening. Tak ada yang mengawali omongan selama 10 menit awal.

“Siti..” sapa Angga dan dibalas dengan senyuman singkat. “Siti, maaf kalau waktu itu aku ga pernah Tanya langsung ke kamu, apa kamu suka sama aku apa ndak, aku pikir jawaban dari bapak kamu itu dari kamu, Siti, aku sadar, kalau perasaanku ini tak boleh ku paksa, kehilangan kamu waktu itu, buat aku berpikir, lebih baik untuk melepaskan kamu. kamu juga terlihat sudah bawa calon pilihan kamu sendiri kesini. rasanya kita sudah bukan apa-apa, mulai sekarang …”ucapan Angga terpotong.

“mulai sekarang kamu  bebas memilih siapa yang akan menjadi calon pendampingmu, mulai sekarang kamu kukembalikan ke orang tuamu. kamu bukan istri aku lagi, aku juga sudah menemukan pengganti kamu, Sit, semoga ini yang terbaik “ kata Angga dengan tenang, perkataan Angga membuat hati Siti lega.

“maaf, waktu itu aku keluar ga ngasih kata apapun, semoga juga ini yang terbaik untuk kita”

Perlu waktu dua tahun untuk bisa terjadi seperti ini, bapak menerima keputusanku, begitu juga dengan mas Angga. Aku beruntung lelaki yang menjadi imamku kelak, mampu memperlihatkan bagaimana dia mencintaiku. bagaimana dia ingin menunjukkan padaku kalau dia berusaha keras untuk bersamaku, terima kasih Mas Agus, kamu anugerah terindah yang pernah ku miliki. 

semuanya terasa lega, Siti, Bapak dan Ibunya, begitu juga Angga, Pak Sapto dan Bu Sapto, menerima kehadiran Agus dan mempersiapkan tanggal pernikahan mereka. Pernikahan pun terlaksana, para keluarga dari masing-masing pihak pun datang ke kediaman Siti di Dander untuk menyaksikan hari bersejarah itu. Kehidupan rumah tangga Siti dan Agus pun berjalan lebih dari 18 tahun, dan dari pernikahan itu telah dikaruniai tiga anak perempuan yang cantik –cantik, dan aku salah satu dari mereka.

Ganti Hati

“aku ingin kita berpisah, kurasa tak ada kecocokan lagi diantara kita, hubungan kita sudah tak sehat, sudah sejak lama aku ingin mengakhirinya” . Ucapan Dimas seperti petir disiang bolong. Aku tak menyangka seseorang yang ku sayang dengan entengnya meminta untuk berpisah hanya karena alasan yang sangat sepele. Hanya karena perselisihan terlambat, hanya itu dia lalu meminta kita berpisah. “ kamu….. “ kataku terbata-bata.

“iya.. aku ingin kita mengakhiri hubungan kita, Tan, aku masih sayang kamu, tapi hubungan kita sudah tak bisa diselamatkan lagi, aku capek kalau harus bertengkar dengan kamu terus” ucapnya dengan memegangi tanganku.

“ini hanya masalah kecil, Dim, kenapa? , kenapa dengan mudahnya kamu bilang kata putus.” hatiku pilu mendengar apa yang diucapkan Dimas,aku harap ini cuman mimpi dan aku ingin bangun dari mimpi itu.  Berat rasanya harus berpisah dengan Dimas, dia lelaki yang kucinta, hubungan kita pun sudah bertahun-tahun lamanya.

“ lima tahun, Dim, kita pacaran sudah lima tahun, kita pacaran ga sebentar,Dim, akhir-akhir ini memang kita sering bertengkar, tapi itupun masalahnya hanya sepele, kenapa kamu minta putus, enggak.. aku enggak mau..” air mataku sudah tak mampu ku bendung lagi. tiba-tiba tumpah dan mengalir dengan derasnya membasahi pipi.

“Tan… ini yang terbaik buat kita.”

“terbaik seperti apa yang kamu maksud, enggak, ini bukan yang ku inginkan, kamu jujur saja .. apa ada cewek lain yang kamu suka?” tanyaku menghardik.

“enggak, Tan, bukan itu, kenapa kamu selalu seperti ini, curigamu berlebihan.. aku hanya ingin kita putus, kita selalu saja bertengkar..” jawabnya dengan nada agar tinggi

“karena kamu mulai berubah, Dim,kamu harus beri aku alasan yang pasti, Dim” kataku. Air mata membanjiri pipi, ku usap berkali-kali tapi tetap saja tak mau berhenti

“aku tetap seperti ini, Tan.. kita bisa jadi teman seperti dulu, Ta,..”

“apa kamu bilang? teman.. enggak , aku gak mau, kita ga bisa jadi teman, aku sayang sama kamu, Dim..aku mohon aku bisa berubah, akan kurubah sikapku demi hubungan kita, Dim.” aku memelas dihadapan Dimas, tak ada sedikitpun niat untuk berpisah dengan Dimas. “maaf, Tan” ucapnya sekali lagi.

Setelah mengatakan ingin putus, Dimas lalu pergi, aku hanya menangis ditempat, terdiam, langkahku menuju rumahpun goyah, orang rumah pun binggung dengan sikapku yang seperti ini. “Non Intan kenapa , kok pulang sambil nangis gini, apa gara-gara mas Dimas” Tanya Bi Minah dengan membelai rambutku, pembantu satu ini sangatlah dekat bahkan dapat dikatakan sebagai ibu kedua bagiku, sedangkan ibu kandungku terlalu sering berpergian untuk bisnis.

Aku hanya menatap hampa ke Bi Minah, tak kuat rasanya menceritakan apa yang bergejolak di hati saat ini. Bi Minah seolah menunggu hingga aku berani bicara dengan tatapan yang penuh sayangnya padaku, “Non.. kalau orang yang kita sayang itu lebih sering nyakitin kita, itu bukan Cinta namanya, Cinta itu Indah, ndak saling nyakiti” nasehatnya kepadaku.

 “Bi..Minah ga tau apa yang kurasain sekarang ini, Dimas mutusin aku, Bi.. dia bilang kita sudah ga cocok, padahal aku masih sayang sama dia, apa dia ga sadar sama ketulusanKU, apa aku kurang cantik, Bi, hanya gara-gara sepele Dimas minta putus, aku ga terima, Bi.aku sayang bi,, aku sayang sama Dimas..” jelasku dengan nada agak tinggi ke Bi Minah. mungkin rasa iba bergelayut dihati Bi Minah, wanita yang sudah bersamaku sejak 25 tahun yang lalu itupun memelukku layaknya ibu kepada anaknya.

“Non Intan, sabar yaa.. jodoh pasti akan bertemu, meskipun mereka telah berpisaH, tapi kalau Allah berkehendak pasti akan disatukan lagi, Non Intan percaya itu kan ?” tanyanya. aku hanya menangis dalam pelukkan.  

Sudah hampir satu minggu aku mengunci diriku dikamar, aku masih terus memikirkan, kenapa Dimas melakukan semua ini padaku, aku mencoba menghubungiya tapi tak pernah diangkat, aku mengirim sms tak pernah sekalipun dibalas. Rasanya remuk redam dihati, Dimas tega berbuat seperti ini. “kenapa sihh, Dim apa salahku .. “ batinku berkecamuk.

Aku ingat saat kita bersama ditahun-tahun pacaran pertama, aku dan Dimas bertemu di toko kaset, saat aku ingin membeli CD koleksi Lady antebellum . Dimas sebagai pramuniaga waktu itu. karena terlalu sering aku datang ke store tempatnya bekerja kita pun jadi semakin dekat, saat itu kami masih sama-sama menjajaki bangku kuliah. dan untuk membiayai kuliahya dia rela bekerja paruh waktu di toko itu. Suatu ketika saat ingin mencari CD tiba-tiba Dimas menawarkan aku sebuah kaset yang diluarnya tak tertempel cover. hanya kaset kosongan, dia menyuruhku untuk mendengarkan isi dari CD itu, dan ternyata itu rekaman suara dari Dimas, dia bernyanyi untukku dan diakhir lagu itu, Dimas memintaku untuk menjadi pasangannya. Hati siapa yang tak luluh ketika wanita diperlakukan dengan begitu apik oleh lelaki, dan saat itu Dimas ada disampingku, aku melepas earphone yang kukenakkan, Dimas menandangku, dan memegang tanganku, mengulang apa yang diucapakan di CD itu. “Tan.. would you be my girl?” pintanya, aku tersenyum dan mengangguk, saat itu juga dan Dimas memelukku.

“Kenapa dimas tak ingat kenangan itu.” desahku lirih. “apa dia tak ingat dengan janjinya, yang akan selalu ,menjagaku, akan selalu menyayangiku… bahkan dia ingin aku menjadi ibu dari anak-anaknya kelak” semuanya janji manis Dimas tiba-tiba muncul dan sangat menusuk hati, bagai disayat sembilu ucapan Dimas selalu terniang-niang ditelingaku.

“Non… Non Intan..” suara Bi Minah sembali mengetuk pintu kamarku dan membuyarkan lamunanku.

“masuk, Bi”

“Non,, Intan ga kerja ? sudah hampir jam 8 loh non..” tanyanya sambil menunjuk ke jam dinding kamarku.

“males.. bi, mungkin hari ini aku bolos, aku mau tiduran hari ini”

“Baiklah, Non , jangan lupa makan ya, Non.. oh ya Non ada pesan dari ibu, nanti Non disuruh jemput ibu dibandara jam 5 sore” pesannya setelah itu pergi dari kamar

“iyaa…” jawabku singkat , sambil menutup mukaku dengan selimut.

Belum genap lima menit Bi Minah keluar dari kamar, handphoneku berdering.. setelah kuihat ternyata Lina teman kantorku. rasa malas menggelayutikku antara ingin mengabaikan atau menjawabnya, tapi karena bunyi handphone tak henti-hentinya bernyanyi terpaksa aku mengangkatnya,
” ada apa ?gue ga kerja ..” sahutku tanpa basa-basi,
 “maaf apa ini dengan temannya Lina?” Tanya suara dari sebrang sana. Aku mengecek lagi nomer telp yang mengubungiku
 “ini benar nomenya Lin, tapi kok Cowo suaranya” batinku.

“haloo.. haloo…”

“oh .. iya saya temannya Lina, anda siapa?” tanyaku penasaran.

“Saya Herman, Lina dan temannya mengalami kecelakaan, saat ini dia sedang berada dirumah sakit mitra usaha. saya coba hubungi orang tuanya tapi selalu mailbox, tolong segera kesini” pinta orang tersebut, lalu menutup telefonnya.

mendengar Lina kecelakaan, aku langsung bergegar menuju rumah sakit yang di infokan orang tersebut. sesampainya dirumah sakit, aku melihat pria dengan tubuh profesional, mungkin usianya tak lebih dari 30 tahun an, namun wajahnya berkarisma, tak kelhatan seperti bapak-bapak.  dengan mengenakan setelan tuxedo menunggu didepan ruang operasi.

“permisi …anda pak Herman?”  tanyaku, seketika orang tersebut menoleh kearahku.

“iya.. anda temannya Lina? tanyanya balik, aku menjabat tanganya sambil memperkenalkan diriku. “apa yang sebenarnya terjadi?, bagaimana keadaan Lina dan temannya ?” tanyaku penasaran.

“untuk temannya Lina saat ini masih dalam perawatan dokter, mungkin sekarang masih berada diruang ICU, sedangkan Lina dia berada di dalam ruang operasi, ada pecahan kaca yang menembuh perutnya.. sebelum anda menuduh saya, saya jelaskan, saya melihat mobil yang dikendarai keduanya oleng dan menabrak pembatas jalan.. saya yang lewat tepat depannya langsung membawa mereka kerumah sakit dan sekarang saya sudah terlambat kekantor, saya serahkan semuanya ke mba, oke! ”  jelasnya panjang lebar. lalu meninggalkanku.

 “tunggu…” . pria tersebut menghentikan langkahnya. “saya masih curiga dengan anda, siapa tahu anda yang menyebabkan teman saya kecelakaan..” hardikku sinis pada orang itu.

“heh.. mbaa, gue bawa temen lo kesini itu uda syukur, malah nuduh gue yang enggak-enggak” tak kalah ketusnya dengan omonganku

“kasih gue kartu nama, lo, kalau ada apa – apa sama temen gue, gue bakalan cari elo, karena gue ga tau gimana cerita sebenernya” pintaku sambil menjulurkan tangan meminta kartu namanya. Dengan Wajah kesal dia mengeluarkan kartu namanya “ini… elo boleh telp gue kalo emang gue penyebabnya dan lo bisa Tanya temen lo yang da didalam gimana kejadiannya. Sekarang gue mau pergi, jangan ganggu gue, ngerti!” ancamnya .  Aku melihat kepergiaan pria itu dengan muka yang amat kesal lalu melihat kartu nama yang diberikannya padaku, mataku terbelalak, melihat jabatannya sebagai executive muda diperusahan ternama di Jakarta, namun rasa kesal masih kurasakan lantaran sikapnya yang tiba-tiba seperti kebakaran jenggot. Lalu kualihkan pandanganku pada ruang operasi dimana ada Lina didalamnya.

Operasi berjalan selama 1 jam, dokter keluar dari ruangan, dan menanyakan siapa wali dari pasien yang sedang ditanganinya, aku mengajukan diri sebagai kerabatnya, dan langsung menanyakan bagaimana keadaan Lina.

“Pasien masih tidak sadarkan diri, pecahan kaca yang masuk kedadanya sudah diambil, untung saja lukanya tidak terlalu dalam, setelah ini, pasien ada dipindahkan diruang pemulihan. Anda tunggu saja”  jelas dokter kepadaku.  Tak lama kemudian Lina dibawa keluar dari ruang operasi. Mukanya lebam mungkin terkena benturan. Banyak selang yang dipasang ditubuhnya. 'lin, elo kenapa ? kok bsa sampai gini" tanyaku khawatir.

Diruang pemulihan, 5 jm pasca operasi Lina masih tak sadarkan diri, aku terus saja memegangi tangannya, berharap Lina akan segera sadar, aku hampir saja lupa, bahwa Lina sedang bersama temannya. ketika berniat berdiri untuk melihat kondisi temannya itu,  Lina sadar tangannya bergerak memegangi tangaku. “Tan…” ucapnya pelan.

“Lin.. lo sudah sadar, lo kenapa sih, Lin, kok bisa kaya gini, lo istirahat dulu yaa.. gue mau lihat temen  lo.” namun tangan Lina tak ingin melepas tanganku. “Tan… aku minta maaf” ucapan Lina sangat pelan sekali, namun aku masih mendengarnya

“kenapa kamu minta maaf, sudahlah, kamu istirahat dulu yaa , aku mau lihat temen kamu”, lalu aku meletakkan tangan Lina, dan beranjak dari ranjangnya menuju temannya yang ada di ruang sebelah. ketika ingin menuju ruang temannya Lina, aku bertemu dengan Herman, pria yang mengantarkan Lina kerumah sakit dia berjalan menghampiriku.

“bagaimana kondisi teman lo ?” Tanyanya. pakaiannya tampak berbeda dengan pagi tadi. sekarang dia Nampak seperti pria kebanyakan, dengan t-shirt dan sepatu converst.

“dia sudah sadar, saat ini dia butuh istirahat, dia masih belum boleh banyak bicara. dan kronologi kejadiannya anda jangan tiba-tiba hilang, jadi anda jangan senang dulu” jawabku ketus. lalu nyelonong pergi. terlihat dia mengikutiku dari belakang seolah tak terima dengan jawabanku yang agak tidak menyenangkan, namun aku percepat langkahku. Ketika membuka gagang pintu kamar, Lenganku ditarik dengannya.

“lo.. bisa ngomong baik-baikkan, syukur-syukur gue bawa temen lo, ke rumah sakit dan gue mau kesini liat kondisinya,  lo nyolot lagi”. ucapnya tak terima. aku menepis tangannya, lalu memasuki ruangan itu. Jantungku serasa mau copot, temannya Lina, yang sedang terbaring lemah dan tak berdaya adalah Dimas, Dimas, lelaki yang aku cintai, “bagaimana bisa… Lina, Dimas..” ucapku tak percaya, lalu kau memundurkan langkahku perlahan, dan menabrak Herman.

“elo…” katanya terpotong, setelah melihatku menangis dan terjatuh. Airmata  mengalir bergitu saja, tak percaya yang sedang terbaring itu adalah Dimas, mantan kekasihku. Aku tak pernah tau kalau Lina dan Dimas memiliki hubungan, mungkin mereka berdua bertemu di Jalan, atau apa, terkaku dalam hati.

“elo… kenapa ?” Tanya Herman cemas dan menopangku untuk keluar kamar mencari tempat duduk, Herman duduk disampingku. Aku tak menghiraukan pertanyaannya, kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan, mengingat ingat kembali apa Lina pernah menyebutkan nama Dimas ketika bersamaku. Aku berlari menghampiri menuju kamar Lina. mendekat perlahan. Lina menatapku sambil menangis, mungkin ucapan maafnya dimaksudkan untuk hubungannya dengan Dimas. atau untuk penghiatannyanya, entahlah..

“Lin…” kataku terputus, begitu besar penarasanku untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.

“maa..af..Tan, Maa……af” katanya terbata-bata

“apa sebenarnya ini, Lin, kenapa kamu bisa bersama Dimas?, apa hubungan lo dengan Dimas?”

“maaf.. Tan,” hanya kata Maaf yang terucap dari bibir Lina, tak ada penjelasan apapun.  Suster datang untuk memerika kondisi Lina, dan memintaku untuk membiarkan Lina istirahat dan memintaku datang esok hari. Herman yang memintaku untuk keluar, karena ucapan suster tak ku gubris sama sekali.

“lo.. kenapa?, ada yang salah teman lo yang dikamar sebelah” tanyanya penasaran. Pandangannya berubah iba yang semulanya agak berigas seolah ingin memakanku hidup-hidup menjadi rasa kasihan aku melihat dari sorot matanya.

“entahlah… gue pingin pulang” jawabku lalu berjalan linglung keluar rumah sakit. Herman terlihat menghawatirkan kondisiku, dia menawarkan tumpangan untuk mengantarkanku pulang.

*

Mobil Herman berhenti tempat didepan rumahku, aku mengucapkan terima kasih, lalu bergegas turun. setelah memasuki gerbang rumah, Herman memanggilku , “hey….” aku berhenti, namun tak menoleh kearahnya.  “nama lo siapa ?, sorry gue lupa tanya tadi pagi”

“Intan” jawabku singkat, lalu melangkah masuk rumah.
*

Dikamar, aku teringat lagi, apa yang terjadi hari ini, Lina dan Dimas, keduanya membuat kepalaku sakit. lagi-lagi airmata yang mewakili hatiku, “kenapa sesakit ini” . Aku mulai mengingat pertama kali, aku kenalkan Lina pada Dimas, saat itu Dimas ingin bermain kerumah dan saat itu pula aku bersama Lina, saat aku berangkat dan pulang kantor, terkadang, Dimas menjemput atau mengantarkanku ketemu Lina pun hanya sebentar. namun hari ini, apa yang kulihat seolah mimpi buruk. Sebelum aku pergi dari kamar Lina aku sempat melihat handphone Lina , dan aku melihat wallpaper dari handphonenya ada foto dirinya dan Dimas, keduanya terlihat sangat mesrah. “apa mereka menghianatiku, apa ini alasan Dimas meminta untuk berpisah” 

*

sudah seminggu Lina dan Dimas dirawat dirumah sakit,kali ini aku putuskan sebelum berangkat kantor, aku sempatkan diri datang kerumah sakit, melihat kondisi Lina, tapi aku tak masuk keruangannya, aku hanya melihatnya dari depan kamar. Herman datang mengampiriku “hey.. Tan” sapanya.

“lo.. kenapa kesini?, bukannya lo bilang lo ga terlibat sama kecelakaannya Lina, terus kenapa lo kesini” tanyaku ketus.

“lo… dingin ya, gue datang kesini, karena gue perhatian sama teman lo” jawabnya santai

“lo…  suka sama Lina?, hah?” tanyaku agak keras.

“suka? pertanyaan gila, gue aja ga kenal sama dia, gue kan yang bawa dia kerumah sakit, jadi wajar dong, gue pengen tau gimana perkembangannya”

“dia sedang istirahat” jawabku lalu menginggalkan Herman.

“oh… lo mau berangkat kerja ?,  butuh tebengan ? gue anter “ tawaranya sambil mengejarku

“lo.. ga ada pekerjaan selain ganggu orang, gue bisa pergi sendiri”. kakiku masih melenggang tak menghiraukan omongan Herman.

“apa ini soal Dimas dan Lina, yang buat lo nangis kaya’ gini ?” tiba-tiba langkahku terhenti, mendengar nama keduanya disebut oleh Herman.

“bukannya lo bilang ga kenal sama mereka berdua?”

“sebelum gue telp lo, kemarin, Lina sempat menulis pesan , dipesannya tertulis, dia meminta maaf atas sikapnya yang tega merebut Dimas dari lo, dia ingin ketemu lo, gitu sih katanya, mungkin belum sempet dia kirim sms itu, butuh kecelakaan sudah terjadi” jelasnya

“lo.. ga tau apa-apa, jadi mending diem, ga usa sebut-sebut nama Dimas, gue cuman kenal Lina” ucapku bohong, Herman menarik tanganku dan menyeretku menuju mobilnya.

“maaf, emang gue ga kenal dan ga tau apa masalah kalian bertiga, tapi yang jelas, suasana hati lo lagi ga baik, dan gue berniat untuk ngehibur, titik” katanya tegas

“gue ga butuh hiburan”

tapi elo butuh temen buat cerita “

“siapa lo?, hah!!, gue baru kenal lo, dan gue ga suka sama keakraban lo”

“lo bisa lampiasan kekesalan lo sama gue, anggap gue ini patung yang bisa lo caci maki, seengaknya hati lo biar plong”
Perkenalanku dengan Herman memang baru saja, namun Herman bisa care dengan cepat. Entah apa maksud dia mendekatiku. Atau memang ini bentuk tanggung jawabnya mengantar Lina dan Dimas kerumah sakit. 

aku hanya menatapnya tajam, airmataku tahan di sudut kelopak, aku marah dengan Herman, aku tak pernah suka dengan rasa perhatiannya , aku baru mengenalnya bebrapa hari yang lalu, aku benci dengannya.

“sekarang gue antar lo kerja”  pintanya, sambil membukakan pintu mobil untukku. aku masih manatapnya sedikit sayu dan tak bertenaga, dan memasuki mobilnya. Suasana di mobil terasa canggung. aku hanya terdiam,mengenang hubunganku dengan Dimas.

“apa Dimas mantan kamu atau dia masih pacar kamu?”  tanyanya. aku tak menggubrisnya omongannya, dan mengarahkan mataku jalan. “Tan… maaf kalau gue terlalu ikut campur, kalau memang Dimas bener-bener sayang sama kamu, seharusnya dia berusaha untuk mepertahankan kamu, dia ga akan..”

“stop, tolong lo diem , lo g tau apa-apa “ kataku menghentikan ucapannya

“dia akan selalu berusaha ngebuat senyum kamu mengembang manis” katanya lirih melanjutkan

sesampainya didepan kantor, aku tak berniat untuk mengucapkan terima kasih, hanya keluar dengan lenggangnya kaki. “Intan, maaf kalau ucapan gue tadi malah memperburuk suasana hati lo”

“terima kasih” hanya itu yang dapat kusampaikan padanya. Sebelum Herman menyalakan mobilnya, aku kembali menghampirinya dan mengetuk kaca mobilnya. “perlu kamu tahu, Dimas adalah mantan dan gue masih sayang sama dia.” lalu aku membalikkan badan dan memasuki kantor.

Sore hari sepulang kantor, aku datang lagi kerumah sakit, dan menemui Lina, sebenarnya hatiku berat untuk datang padanya, rasa penghiatanan yang dilakukan Lina selalu membayangiku. Lina melihatku datang, karena kondisinya masih belum pulih benar, Lina tak dibolehkan untuk banyak bergerak.

“Tan… gue minta maaf, ada banyak hal yang perlu gue jelasin ke lo, Dimas dan gue …”

“lupakan… gue sudah move on, kejadian ini bener-bener ngebuka mata aku, kalau Dimas memang ga pantas buat gue.”

“Tan.. gue bener-bener minta maaf, gue ga ada maksud untuk ngelakuin itu”

“ga gampang, Lin, dihianatin sahabat sendiri, lo sudah gue anggap seperti saudara..gue kesini cuman mau lihat kondisi lo, dan sekarang lo sudah sadar, lebih baik gue pulang”

“Tan… Dimas selingkuhin gue..” katanya cepat dan langsung mengehentikan langkahku untuk meninggalkan kamarnya. aku hanya menoleh kearahnya dan dia melanjutkan ceritanya. “waktu itu Dimas bilang sudah putusin kamu seminggu yang lalu lalu, dan dia bilang mau fokus denganku,aku marah, karena aku juga merasa bersalah dengamu, lalu aku meminta bertemu dengannya. aku mengajaknya untuk mengobrol berdua, ketika kita sedang bicara, tiba-tiba seorang cewe menghubunginya dan mengaku sebagai cewenya, kebetulan aku yang mengangkat telefonya.. Dia bilang dia adalah tunangannya. Aku tak percaya dengan wanita itu kami bertengkar hebat didalam mobil dan saat itu Dimas oleng dan kecelakaan terjadi” katanya sambil menundukkan kepala.

“Dimas sudah sadar, kamu bisa melanjutkan pertengkar kalian yang tertunda” kataku lalu pergi. semua ucapan Lina sulit untuk kupercaya, kalau pun itu benar, berarti Dimas sudah menghianati aku dan Lina. Lagi-lagi Herman datang kerumah sakit dan menghampiriku. “Lina sudah sadar, dan dia sudah cerita, dan lo ga ada hubungannya, lo bisa pergi, ato lo mau ketemu dia, silahkan” kataku

“gue mau ketemu lo”  sambil memasang senyum yang ramah, senyum yang belum pernah aku lihat sebelumnya. aku hanya memberikan senyuman sinis. “ngapain ketemu gue?, mau antar gue pulang ?. “kalau lo mau , dengan senang hati” . “looo.lohh lohh…” lalu dia menggandeng tanganku . Di mobil Herman menawariku untuk makan malam sebelum mengantarku pulang, tapi aku hanya diam saja. “ya.. udah kita makan dulu yaa..”

Mobil menepi dipinggir jalan,  kami makan di penjual ketoprak pingir jalan, aku hanya mengamatinya, aku penasaran apa yang membuat Herman tiba-tiba ingin bertemu denganku dan baik padaku, apa rasa kasihan.. “lo.. kenapa pengen ketemu gue?” tanyaku dengan tatapan tajam. “ga tau yaa.. tiba-tiba gue pengen ketemu lo.. kita emang baru kenal tapi rasanya gue pengen deket-deket elo mulu” jawabanya sambil menikmati satu sendok ketoprak yang ada didepannya.

“lo.. yaa. aneh orangnya.. apa lo sering kaya’ gini, hah?”

“ga sering, cuman ini aja, gue juga ga tau kenapa”

aku hanya tersenyum dengan jawabannya, seolah ini sebuah gombalan yang sering dilakukan orang-orang kebanyakan

“lo manis juga kalau lagi tersenyum, gue pertama kali ini liat lo tersenyum secantik ini, apa gara-gara lo kemarin-kemarin kya orang patah hati yaa.. “

“sorry, kalau kemarin-kemarin omongan gue rada ketus sama lo.”

“oh… sekarang sudah sadar” timpanya dan aku hanya memberikan senyuman manis ala Intann

Beberapa hari aku bertemu dengan Herman dan tidak lagi dirumah sakit , dia sering menjemputku dirumah dan mengantarku pergi ke kantor, kita menjadi teman akrab sejak kecelakaan Lina dan Dimas. Aku sedikit banyak bisa menerima bahwa aku dan dimas sudah tidak ada hubungan, Herman membantuku untuk menghilangkannya.

Meskipun Lina sudah kembali bekerja, aku masih tak memperhatikannya, kejadian itu sudah berlalu hampir tiga bulan , tapi aku masih tak menghiraukan Lina. Aku malas bertegur sapa denganya, setiap dia menyapaku, aku hanya menatapnya lalu memalingkan muka. Aku tak tau kenapa , rasanya penghianatan yang Lina lalukan kepadaku, ku anggap sebagai dosa besar. Hari aku putuskan untuk lembur. Besok aku akan berencana off dan  pergi keluar kota beberapa hari untuk menenangkan pikiranku, jujur saja aku rindu dengan Lina, aku rindu bermain, belanja dan menghabiskan malam bersamanya dengan cerita-cerita drama korea. Namun rasa sakit hatiku memenangkan aku untuk tak menyapanya. pernah Lina mengirim sms padaku permintaan maafnya atas tindakannya yang ku anggap sebagai Dosa besar itu, namun tak pernah sekalipun aku membalasnya.  kebetulan hari ini Lina juga lembur denganku.

“Tan…”

“sudahlah.. Lin, gue males bahas masalah lo sama dia, gue capek. kerjaan gue banyak , dan satu hal lagi, gue sudah ga ada hubungan sama Dimas, kalau lo mau pacaran sama Dimas siahkan, gue sudah putus.” kataku

“gue sudah putus sama Dimas, Tan..”

“so..?”

“gue putus sama Dimas, bukan karena tunangannya, Tan, gue .. gue kepikiran sama persahabatan kita, gue ga mau ngehianatin lo terlalu lama, gue merasa bersalah, Tan. maafin gue Tan”

“lo minta maaf sama gue?, lo pikir ga sih, Lin, Dimas itu pacar gue dan lo sahabat gue , tapi dengan tega lo hianatin gue. otak lo dimana Lin, hah? lo brengsek memang Lin” kataku sedikit teriak pada Lina.

Lina menghampiriku, dia memohon sambil bersimpuh dihadapanku, Lina mengaku kalau dia tak bisa tenang menjalin hubungan dengan Dimas, air mata kami sama-sama tumpah. aku sadar kalau omonganku sudah terlalu kasar pada Lina. “Gue sadar gue memang ga punya otak, gue brengsek, gue bodoh.. maafin gue Tan..” . Aku merasa iba dengan tindakan Lina,dia bersimpuh didepanku memohon maaf padaku ini pertama kalinya aku dan Lina bertengkar hebat, sepanjang persahabatkan kami, ta pernah sekalipun kita berselisih paham.”entahlah… gue capek..” kataku dengan menginggalkan Lina.

Pagi ini aku tak berangkat kekantor, karena aku sudah mengajukan cuti pada pimpinan beberapa hari yang lalu, seperti biasa, Herman saat ini sering menghubungiku, diaselisih 4 tahun diatasku, Namun karena sikap dan wajahnya tak menunjukkan usia sebenarnya, banyak yang mengira dia seusia denganku, bahkan jabatannya sebagai executive muda tak membuat dia gila hormat dari para bawahannya. Kali ini dia mengirimkan SMS yang menurutku tidaklah terlalu penting.

“lo.. kerja, Tan?”. dengan malas-malasan aku hanya membalas singkat. “enggk, gue cuti”. tak berapa lama kemudian, Herman mengubungiku “Haloo, ada apa, Her?” tanyaku

“oke, gue jemput lo , 30 menit lagi gue nyampek, gue juga lagi cuti.kita jalan-jalan yuk ” klik!, tiba-tiba dia tutup telefonnya. “ini orang sarap kali yaa!” aku membuang handphoneku di ranjang dan melanjutkan tidurku.

30 menit berselang. Bi Minah mengetuk pintu kamarku dan memberi tahu kalau ada seorang cowo diruang tamu sedang menungguku. “tak salah lagi itu pasti Herman” gerutuku.  Aku menghampirnya dengan pakian tidurku. “loh.. lo. kok belum ganti sih, Tan, kn gue ajak lo jalan-jalan” tanyanya. “gue belum bilang, iya, dan lo nyelonong saja tiba-tiba kesini” jawabku ala kadarnya . “oke gue tunggu lo, 15 menit untuk berbenah, muai dari sekarang” Tanya sambil melirik jam tangan. “males ah…” tandasku. “Tan.. cepet!” kali ini kata-katanya begitu tegas, meskipun hanya sedikit kata yang terlontar dari mulutnya, namun sudah membuat aku sedikit takut. “ah… iya.iyaa. sebentar” keluhku.

aku sudah terlihat rapi, dan siap untuk meluncur, Herman mengajakku kesuatu tempat yang menurutku sudah tak asing ditaman, tempat aku dan Dimas menghabiskan waktu pacaran sewaktu pulang kuliah, dan tempat aku dan Lina berbagi cerita ketika kami sama –sama sedang bosan dirumah, sambil menikmati segarnya udara taman  dengan danau yang indah yang masih jauh dari hingar binger kota metropolitan “kenapa lo ajak gue kesini, hah?” tanyaku ke Herman dengan nada yang agak tinggi . “tempat ini bagus, Tan, banyak yang menghabiskan harinya hanya ditempat ini, ini tempat masih asri, Tan, jarang loh orang yagn datang kesini”

“aku sudah sering kesini, kami sering menghabiskan waktu kami disini, aku dan Dimas” kataku lirih. Herman terheran mendengar pengakuanku. “mungkin lebih baik kita pergi dari sini”ajak Herman yang seolah tak ingin aku mengingat kenanganku bersama Dimas.  “ga usah.. aku juga sudah lama tak kesini… udara disini begitu segar..” kataku sambil melebarkan tanganku

“Tan… gue mau tanya elo, itupun kalau lo ga keberatan”

“Tanya soal?”

“Dimas…”

“Dimas, pacar pertama gue, gue sudah pacaran sama dia lebih dari empat tahun dan dan bulan depan itu lima tahun gue dan dia, kita melewati masa-masa pacaran yang indah, tak pernah sekalipun Dimas menyakitiku, namun akhir-akhir sebelum kita putus, Dimas mulai berubah, hal kecil menjadi besar menurutnya. Dia bilang kita sudah ga cocok dari lama, tapi gue ga percaya, tak mungkin kita ga cocok, kalau masa pacaran kita habiskan waktu lima tahun-an, tapi semenjak kecelakaan yang terjadi pada Lina gue tau semuanya..”  jelasku sambil mengingat-ingat kenangan bersama Dimas

“tau semuanya…?” ulang Herman.

“iyaa.. gue tau, kalau alasan Dimas minta putus gara-gara Dimas punya tunangan dan tunangannya memaksa untuk menikah.”

“lalu Lina ?”

“Lina…. sama halnya dengan gue , dia ditipu sama Dimas, kecelakaan Lina disebabkan karena ada Cewe yang mengaku kalau dia tunangannya Dimas . Lina saat itu masih status sebagai pacar Dimas, mereka bertengkar hebat dalam mobil dan akhirnya kecelakaan tak bisa dihindari”

“lalu, kenapa kamu masih marah sama Lina ?” Tanya Herman, yang kadang juga buat aku sadar, kalau sikapku juga salah terhadap Lina

“mungkin karena rasa marahku atas penghianatan Lina dan Dimas..”

“Lina juga dihianati sama seperti lo , Tan”

Aku hanya memandang Herman, apa yang dikatakan Herman ada benarnya, Lina juga korban sama sepertiku. “lo juga pernah bilang ke gue kalau Lina setiap bertemu dengan lo, dia selalu mminta maaf, menurut gue, kau dia ga bener-bener sahabat lo, mungkin dia bakalan mengabaikan lo gitu saja, tapi nyatanya, dia masihkan perhatian sama lo” ucapan Herman dapat ku terima, karena meskipun begitu, Lina masih terus meminta maaf padaku tanpa ada henti-hentinya.

hampir tiga jam aku dan Herman menghabiskan waktu di taman itu, ketika memutuskan untuk pulang, aku melihat Lina ditempat yang biasanya kami gunakan untuk bercerita. mata kami berpapasan, Herman melihat kearahku dan Lina, “mungkin kalian butuh waktu untuk ngobrol” katanya lalu meninggalkan kami berdua. Lina lalu menghampiriku. kami berjalan menyusuri tempat-tempat yang biasanya kami susuri “Tan.. gue minta maf gue beneran ga ada maksud buat nyakitin hati elo, Tan” ucap Lina . aku hanya menoleh kearahnya sambil mengingat-ingat kata-kata Herman, kalau Lina juga Korban dari penghinatan Dimas. “entahlah.. Lina, gue males bahas gituan, menurut gue masalah Dimas sudah ga penting lagi sekarang”

“tapi gue mau minta maaf ke elo, Tan, gue kangen, gue kangen sama lo, gue kangen kita jalan bareng, gue kangen cerita-cerita sama lo, mangkannya gue datang kesini, Tan”

“Lina terlihat sangat-sangat menyesal dengan apa yang dilakukannya, tidak ada salahnya jika aku memaafkannya, Omongan Herman juga tak ada salahnya” ucapku dalam hati.

“iya.. Lin, gue maafin elo, gue juga minta maaf, kalau gue ga pernah menghiraukan lo lagi”  

“makasih, Tan, makasih” Lina pun memelukku.

Hubunganku dengan Lina pun kembali seperti semula, kami menganggap bahwa Dimas tak pernah ada diantara kami, Dimas adalah masa lalu kami, masa lalu yang sangat buruk. Saat ini Herman mulai bergabung dengan kami, tak ada yang perlu dirahasiakan lagi. Kami bertiga berencana untuk makan malam di sebuah kafe . Herman dan Lina pun saling melirik, Lina mendesak Herman untuk menyatakan sesuatu padaku, hal itu terlihat aneh “kalian apa apa?” tanyaku penasaran

“ini loh, Tan , Herman mau ngomong sesuatu” ucap Lina dengan menyodorkan Herman, “ayoo, dong Her, ngomong aja ..” bujuk Lina pada Herman.

“ada apa, Her, lo mau ngomong apa ?” tanyaku pada Herman.

“hmm.., Tan, maaf sebelumnya.. gue.. gue… “ perkataannya terhenti, dia berdehem lalu melanjutkan lagi kata-katanya. “gue sayang sama lo gue pengen lo jadi masa depan gue?” ucapan itu Herman katanya dengan memegangi kedua tanganku

“cie… ciee……” sorak Lina  “jawaban lo, apa Tan ?”

“Lin.. diem deh.. “ aku gemeratan saat tanganku dipegang oleh Herman. “Her…. maaf sebelumnyaa”

“lohh… Tan, lo jangan minta maaf” pinta Herman, dengan wajah memelas, dan menatapku dengan pandangan teduh.

“Maaf, Her… gue… gue terima eloo…”  kataku pelan.. Lina dan Herman pun saling pandang , “itu artinya..” Tanya Lina .., aku hanya menganggukan Kepala dengan senyum simpul.

“makasih.. Tan.. “ tiba-tiba Herman pun memelukku didepan umum membuat sorak –sorai dari pengunjung kafe untuk kami.

Hubunganku dengan Herman sudah kejenjang yang dapat dikatakan serius, sebulan lagi, kami akan melangsungkan pernikahan. Kesibukan pun tak dapat terelak lagi. Hari ini rencananya aku dan Herman akan belanja keperluan rumah baru kami. Kami berjanji bertemu di suatu tempat. Karena aku pulang kerja lebih awal, aku pergi kepusat furniture lebih dulu baru nanti Herman akan menyusul. Saat akan memasuki toko,aku melihat Dimas sedang berjalan kearahku, aku berusaha menghindar, namun Dimas memanggilku. Aku menghentikan langkahku. Dimas mengajakku ketempat yang lebih sepi, sehingga kami bisa berbicara lebih leluasa

“Hey… Tan bagaimana kabar kamu?..” sapanya basa-basi

“ada apa, Dim?, aku ada perlu, jadi cepeet..” tanyaku ketus. “ aku minta maaf,Tan, aku salah. ternyata aku masih sayang kamu, aku ga bisa lupa sama kamu.. “ jawabnya

“apa sayang , kamu datang, tiba-tiba lalu bilang sayang, kamu kemana aja kemarin-kemarin, saat aku butuh kamu, kamu kemana, hah?, aku masih sayang sama kamu, iya masih sayang , bahkan setelah kita sudah putus!”

“aku menyesal, Tan, maafin aku, aku dan Lina memang salah, tapi jujur , aku masih sayang sama kamu”

“aku masih sayang sama kamu, sebelum aku tahu bagaimana kamu dan Lina dan tunangan kamu!, jadi aku mohon jangn ganggu aku lagi..” aku berbalik arah berusaha meninggalkan Dimas, tak terasa airmata ini tiba-tiba tumpah, rasa sakit yang dulu nyatanya masih membekas dihati. tiba-tiba Dimas memelukku dari belakang. “aku masih sayang sama kamu,Tan.. masih sampai saat ini” aku berusaha melepaskan pelukan Dimas, aku berbalik kearahnya dan menampar pipinya..” kamu tau, ini yang ingin aku lalukan dari dulu, kamu ga tau betapa aku sayangnya sama kamu, tapi kamu hianatin aku, dengan sahabatku sendiri.pernah mikir ga gimana rasanya sakit hati ini, Dim?,pernah mikir? hah ?” tanyaku dengan perasaan yang meluap-luap.

“rasanya tamparan ini, belum ada apa-apanya dengan sikap kamu ke aku!, jangan ganggu aku lagi, bulan depan aku akan menikah, dengan seseorang yang saat ini menggantikan posisi kamu di hati aku..” tak tahan lagi , aku melangkah pergi menjauhi Dimas

“apa kamu masih Cinta  aku, Tan ?” Tanyanya yang menghentikan langkahku. seketika.Aku menoleh kearahnya. dengan senyum manis aku katakan “ rasa cinta dan sayangku ke kamu sudah luntur, Dim, aku hanya mencintai dia, dia penganti yang sebenar-benarnya dan dia yang siap menghapus nama kamu untuk selamanya dihatiku.”  hatiku terasa ringan sekarang, sudah kupendam perasaan ini begitu lama. Aku melangkah dengan ringannya, beban yang selama ini mengisi batinku seolah hilang, setelah aku meluapkan semuanya di depan Dimas. Aku menghilang dalam keramaian, lalu ku menemukan Herman yang juga menuju kearahku. Aku beruntung dari kehilangan itu aku menemukan cerita baru yang mampu membuatku tertarik bahkan lebih untuk menjaga hati yang baru "Herman, aku mencintaimu" kataku dalam hati

THE END