Suasana begitu meriah saat itu, banyak warga yang berkumpul di rumah yang tak seberapa besar. rumah itu masih beralaskan tanah yang menjadi ciri dari rumah desa. Para tetamu saling bertukar sapa, terlihat banyak wajah bahagia yang memenuhi rumah itu. Janur kuning melengkung mewarnai atap rumah tersebut, pertanda bahwa hari ini adalah hari bahagia sepasang kekasih yang mengikat janji sucinya dengan sebuah ikatan pernikahan. Tak henti-hentinya Pak Sapto menyalami setiap tamu yang datang dan mempersilahkan duduk, sedangkan bu Sapto sedang sibuk menyajikan makanan untuk para tamu. Riuh suara tamu yang hadir seolah pecah dengan kehadiran Pengantin wanita dengan riasan sedeharna yang keluar dari persembunyiannya. Beberapa saat yang lalu dia dirias dan kini terlihat berbeda dan mangglingi para tamu. “Siti terlihat cantik ya.. ” bisik seorang tetangga pada tamu yang berada di sampingnya.
Namun hal berbeda justru telihat di raut wajah pengantin wanita, wajah Siti Nampak sendu kepalanya tertunduk sembari di papah menuju penghulu, tak ada senyum yang terpancar dari wajah manisnya. “Kasian ya.. djipaksa nikah sama bapaknya..” Salah seorang tetangga nyeletuk agak keras, sehingga membuat pengantin wanita menghentikan langkahnya sejenak. Bu Sapto yang berada di sampingnya menyuruh untuk memegangi lengan Siti agar melanjutkan langkah untuk bertemu dengan calon suaminya. “Bisa dimulai, pak penghulu.” Bisik Pak Sapto pada pengghulu. Penghulu hanya membalasnya dengan anggukan kepala. Siti hanya tertunduk lesu dan menatap dengan mata nanar kearah ibunya mengingat berbincangan dengan ibunya di ruang rias pengantin sebelum dirinya duduk di samping suaminya saat ini.
“Bu.. saya ga suka sama mas Angga, saya enggak cinta, bu” ungkap Siti kepada ibunya sambil menahan air mata. “sabar ya.. Nduk, bapak orangnya keras, kita juga ada hutang budi dengan keluarga pak Yadi” kata bu Sapto sambil membelai kepala anak pertamanya itu. “apa ga ada cara lain bu?” tanyanya “ini bukan Jamannya Siti Nurbaya bu, Siti mohon” pintanya, air mata pun tiba-tiba jatuh dalam pelukan ibunya. “siti, ibu njauk tulung¸Nduk, turuti apa yang dimau bapak yaa..” seolah ibunya tak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh imamnya itu. “apa bapak tau gimana perasaan siti, bu, Siti hancur, bapak sudah ambil kebahagiaan Siti” tangis Siti sudah tak terbendung lagi dalam pelukan ibunya. “Siti hanya ingin menentukan jalan hidup Siti sendiri bu… Siti janji, ga akan lupa dengan tanggung jawab Siti”.
Lamunan itu, buyar, dengan suara dari penghulu.“Baik akan saya mulai, harap para tamu undangan tenang” pinta penggulu kepada para tamu”. Tangan calon pengantin Pria dan Pak Sapto – wali perempuan bertemu. Siti tak kuasa menahan tangis dalam diamnya, dia tak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan bapaknya yang berwatak kaku itu. Pernah suatu ketika, saat dia membantah dengan apa yang dikatakan oleh Bapak, dan tak menyetujui rencana pernikahan ini, tak lama setelah itu, kondisi bapaknya menurun dan harus dirawat dirumah sakit, Siti tak ingin hal tersebut terjadi lagi, alhasil dengan berat hati dia menyetujui apa yang di inginkan bapaknya. Akad dimulai, dengan di saksikan oleh puluhan warga Dander, kata “Sah..” pun dilontarkan oleh semua tamu. Dan itu artinya, Siti resmi menjadi istri Angga, pria yang tak sedikitpun dia cintai. Siti bukanlah perempuan dengan pendidikan tinggi, dengan berbekal ijasah sekolah dasar karena tak mampu melanjutkan sekolahnya, Siti membantu orang tuanya untuk membiayai kehidupan keluarganya sehari-hari, dengan tanggungan ke 4 adiknya. Siti berjuang agar mereka bisa makan, sebagai pekerja pabrik desa dengan gaji yang tak seberapa, Siti bertemu dengan Pak Yadi, juragan di tempatnya bekerja yang saat ini menjadi mertuanya. Pak Yadi sering membantu kondisi keluarganya, terutama dari faktor ekonomi, suatu ketika Pak Yadi ingin menjadikan Siti sebagai menantunya, meskipun masih muda, Pak Yadi ingin segera meminang Siti untuk anaknya- Angga, dengan senang hati hal itu di iyakan oleh pak Sapto tanpa meminta persetujuan dari Siti.
Pada malam pertama. Siti seorang diri di kamar pengantin yang sejak awal tak diinginkannya, Gadis 17 tahun itu masih belum sepenuhnya menerima apa yang menjadi keputusan bapaknya menikah dirinya dengan Angga yang saat ini menjadi suaminya. “aku bisa, membayar semua kebaikan pak Yadi, iyaa, tapi bukan dengan semua ini, ini sama sekali tidak ku inginkan” pikirnya. “mungkin sebaiknya aku kabur iyaa, kabur, mas Angga juga sedang keluar, aku tidak mencintai mas Angga sama sekali” pikiran gila itu merasuki pikiran Siti. Lama mempertimbangkannya, akhirnya Siti memutuskan untuk pergi dari rumah di malam pengantin yang seharusnya menjadi malam perpaduan kasih pengantin baru.
Ketakutan menyelami diri Siti, takut
apabila hal gila ini benar-benar dilakukan bagaimana dengan kondisi bapaknya.
“mungkin dengan tulisan bapak akan mengerti kalau aku tak mengharapkan hal ini”
gumamnya. Jam menunjukkan pukul 8 malam dan Angga juga belum masuk ke kamar.
Para undangan juga sudah dipersilahkan pulang, maklum suasana desa sangat
berbeda dengan kota,jam 7 malam saja sudah sepi, mungkin sebagian sudah
terlelap dalam tidurnya.
“ini kesempatannya aku pergi” dengan
menulis surat yang tak begitu panjang, Siti menjelaskan secara ringkas apa yang
sebenarnya dia inginkan.
maaf, pak. Siti sudah ga bisa
lagi,pernikahan ini akan sia-sia, Siti hanya ingin bahagia dengan lelaki
pilihan siti sendiri, siti janji, siti akan kembali dan jaga diri siti
baik-baik, bapak juga, bapak harus sehat.
Diletakkannya surat itu diranjang
pengantin, dan berharap Angga akan melihatnya dan memberitahu bapaknya. Melihat
kearah kanan dan kiri kamarnya yang nampaknya sudah sepi Siti berjalan perlahan
keluar rumah dengan membawa beberapa baju, entah akan kemana kakinya melangkah,
yang terpenting adalah sekarang dia bisa keluar dan menjauh dari rumah itu.
Malam semakin larut, Siti berjalan seperti maling, yang tak ingin ada seseorang pun mengetahuinya, Angin bersipak dengan sering, membuat bulu kudu merinding sangking dinginnya. kaki terus melangkah mejauh dari lingkungan kampung Dander.Terminal menjadi tempatnya untuk menentukan tujuannya, “Surabaya mungkin akan menjadi tempat yang baik untukku” pikirnya. Tak ingin dikenali di terminal Siti berpenampilan yang tak biasa, memakai jubah yang menutupi tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. memakai kerudung dan slayer untuk menutupi mukanya. “Nangdi mbak ?” Tanya kernet bis, dengan tatapan aneh. “Surabaya” jawabnya singkat. “mungkin satu kampung bakalan geger, setelah tau pengantin perempuanya minggat” desahnya.
Sesampainya di Surabaya dengan ditempu perjalanan yang kurang lebih 3 jam, Siti tak tahu harus menuju kemana, diputuskannya untuk bermalam sembari mencari pekerjaan esok hari. Pagi menjelang, Angin Surabaya terasa segar untuk dihirup, hiruk pikuk kota Surabaya masih samar-samar terdengar. Dengan lulusan SD tak banyak yang bisa Siti harapkan selain menjadi pembantu rumah tangga mungkin juga buruh pabrik. “Hari ini akan terasa panjang, aku harus mendapatkan pekerjaan hari ini, sekaligusku untuk tempatku tinggal” kesahnya. Siti mendatangi dari rumah ke rumah menawarkan diri untuk menjadi pembantu rumah tangga ataupun baby sister. Namun tak satu pun yang mengindahkan penawarannya itu. Beruntung ketika ia sedang berkeliling ada seorang perempuan yang mendekatinya. “mbak.. nyari kerjaan?” tanyanya. siti hanya membalas dengan anggukan. di tempat saja ada, tapi sama seperti saya jadi pembantu rumah tangga, mau?” tawarnya. Tanpa berpikir panjang, Siti meng-iyakan tawarannya itu.
Sudah 3 bulan Siti bekerja ditempat pak Karso, majikannya, dan disana dia diperlakukan dengan sangat baik walaupun sebagai seorang pembantu. Keinginan Siti untuk memberi kabar keluarga yang ada desa pun muncul. Namun karena tak ingin dipaksa untuk kembali kepada mas Angga Siti pun memberi kabar kepada saudaranya Nanik yang juga tinggal di desa yang sama, keduanya berjanji untuk bertemu di suatu tempat yang tak banyak orang tau.
***
“mbak.. piye kabarmu?, semua orang
kampung binggung nyari kabar samean mbak.. opo maneh mas Angga ”
tanyanya dengan nada cemas. Siti hanya memberikan senyuman manis, tak terlihat
wajah murung ataupun sedih seperti hari pernikahannya itu. “aku apik-apik
ae, bapak , ibukku piye kabare, Nik, mereka sehat toh?, Mas Angga piye?” tanyaku
bergantian. “mereka baik, mbak.., oh yaa mbak klo mas Angga.
pertama-tama mungkin mereka panik , mba. Mba Siti pergi tanpa kabar, bapak e
mbak, kalau kangen mbak cuman baca surat dari mbak siti itu, tapi sekarang
bapak sudah baik-baik saja, bapak nyesel maksa mbak siti. bapak percaya kalau
mba Siti bisa jaga diri baik-baik diluar sana, sekarang mbak pulang yoo”
pintanya dengan memegangi kedua tangan Siti. “belum saatnya Nik. nanti aku juga
pulang kok, ohh ya gimana sekolah kamu?”
“lancar mbak, Alhamdulillah…”
“ini mbak ada sedikit tolong kasihkan
ke ibu-bapak sama adek-adek e embak yo, dan ini juga buat kamu jajan, kamu
sekolah yang pinter yaa, nanti mbak kabari kalau mau kesini lagi.” kata Siti
dengan memberikaan 2 amplop yang bersisi uang.
“makasih yaa, mbak..”
“iyoo wes, klau ditanyai, bilang mbak baik-baik saja, mbak sudah nemu tempat kerja, dan majikannya embak baik banget sama embak. mbak minta tolong yaa jagain bapak- ibu, mbak balik dulu” Siti kemudian berpamitan pada Nanik, sambil memeluk saudara kesayangannya itu.
Waktu berjalan dengan cepat sudah 1
tahun Siti di Surabaya. Asmara pun dimulai, Siti mengenal beberapa lelaki di
Surabaya, dan mulai menjalin hubungan mulai dengan beberapa lelaki, maklum,
meskipun sudah menjadi janda, Siti masih cantik, bahkan dirinya belum pernah
tersentuh oleh Angga- mantan suaminya. Wajah Siti masih cantik, putih, bersih,
diusianya yang ke 18 siti menjalin cinta dengan pria yang bernama Joko,
pekerjaannya sebagai penjual sayur keliling membuat dirinya jatuh hati pada
Siti. namun sayang hubungan itu tak berlangsung lama, alasan status menjadi
kendala keluarga Joko tak menerima Siti, serasa di rundung duka yang teramat
hingga melibatkan majikan untuk memberikan motivasi-motivasi pada Siti.
“wes talah, Sit.. wong lanang iku ndak satu. lagian Joko itu ndak baik, masa iya dia habis putus dari kamu coba deketin pembantu yang ada di komplek sebelah, saya liat sendiri ” kata Pak Wido majikannya. Siti hanya mengangguk-angguk, dengan ucapan pak Wido, “Pak Wido ga ngerti sih apa yang tak rasain” gerutunya dalam hati.
Tak butuh waktu lama, Rumah tempat siti
bekerja dekat dengan sekolah menengah atas, salah satu siswa dari sekolah itu
yang belakang bernama Agus jatuh hati padanya. Siti baru menyadari setelah
teman sesama pembantu-Muna , mengatakan bahwa ada yang ingin berkenalan
dengannya. Siti penasaran dengan orang yang Muna katakan, mungkin gara-gara
Laki-laki yang Muna akan kenalkan itu masih berstatus pelajar.
“endi toh, Mun arek e?” Tanya
Siti dengan celingukan depan gerbang rumah pak Wido,
“ko sek toh, enteni, arek e mbari
iki rene kok” jawabnya, “nah itu de’e” sambil menunjuk pada segumbulan
siswa yang menuju kearahnya.
“yang mana”
“yang ditengah, dan yang melambaikan
tangan padamu, Sit”
Seketika sudah berada didepan siti,
Siti terdiam, dan berjabat tangan dengan para lelaki itu satu persatu.
“ini loh, Sit, yang mau kenalan sama
kamu” goda Muna, “Gus.. jangan diem aja,ini loh gadis impianmu”
Satu persatu, teman-teman agus pamit,
Muna pun juga ikut masuk kedalam rumah melanjutkan perkerjaan.
“Sit..” sapa agus malu. “iy mas” jawab
Siti singkat, “besok aku besok kesini lgi ya.. kn besok libur, kamu tinggal
disini toh?” tanyanya.
“loh, mas, ga malu berteman sama
pembantu”
“enggak, kenapa malu, kita seumuran
toh, umurmu berapa ?” tanyanya, penasaran
“aku 18 mas”
“aku 19 , lebih tua aku toh, aku juga
tau status kamu dan cerita kamu dari Muna,jadi kamu ndak usa minder ya, aku
bisa nerima kok” pintanya.
Siti tercengang mendengar apa yang
dikatakan Agus, masih pelajar tapi omongannya seperti orang dewasa. Setelah
itu, Siti pun lebih sering ketemu dengan Agus,majikannya pak Wido pun tahu,
siapa yang saat ini sedang dekat dengan Siti, bahkan majikannya itu tau dimana
tempat tinggal Agus.
“Sit.. kamu pacaran ya sama Agus?”
Tanya Pak Wido pada Siti saat sedang membersikan pelataran rumah. Siti hanya
membalasnya dengan senyum dan tertunduk.
“ga pa-pa, Sit, Agus anaknya baik kok,
saya tau keluarganya”. Siti sedikit kaget dengan apa yang dikatakan majikannya
itu, tak pernah terpikirkan kalau Pak Wido sebegitu baiknya dengan dirinya,
bahkan untuk urusan pribadi, Pak Wido sangat memperhatikan siapa yang dekat
dengannya. Hubungan mereka terus berjalan ketahap yang lebih serius, meskipun
masih menjadi Siswa SMA , Agus berani membawa Siti kerumahnya untuk dikenalkan
dengan orang tuanya. Ujian pun dimulai, orang tua Agus masih belum menerima
kehadiran Siti bukan karena status Siti ataupun pekerjaan Siti, melainkan
karena Agus masih berstatus pelajar.
“maaf ya, Sit, orang tauku tadi masih belum merestui kita, tapi aku janji bakalan ngeyakinin mereka, kamu sabar yaa” pintanya
Siti masih terlihat tersenyum di depan Agus, berharap Agus menepati janjinya, dan tidak ada akan mengecewakannya. Sering Agus membahas Siti di depan orang tua dan jawabannya pun masih sama, Agus dinilai masih terlalu muda untuk bisa menjalin hubungan yang serius dengan Siti, Usaha Agus pun tak henti-hentinya hingga orang tuanya pun memberikan izin dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Agus. Agus di izinkan menikah asakan dia dapat lulus dari sekolahnya dan mendapatkan pekerjaan yang dinilai layak oleh mereka.
Senyum sumringah tergambar jelas diwajah ayu Siti, meskipun menunggu kurang lebih 4 tahun, Siti dan Agus tetap menjalin kasih. setelah lulus sekolah Agus pun mencari pekerjaan sebagai seorang montir sepeda motor. Berjalan 2 tahun setelah Agus bekerja, Agus memberanikan diri untuk melamar membawa Siti dihadapan orang tuanya lagi. Kali ini Orang Tua Agus menerima kehadiran Siti, meskipun pekerjaan Siti seorang pembantu dan hanya lulusan SD dan juga seorang Janda muda, orangTua Agus menerima semua itu.
“lega rasanya, bisa melalui hal ini, ya
Sit ?” Tanya Agus sambil memegang tangan Siti. Mata Siti berkaca melihat usaha
Agus. “terima kasih.. bisa mencintai saya dengan kondisi saya seperti ini.
terima kasih, untuk tak pernah memandang statusku, Mas” pelukan mesrah itu pun
diterima Siti.
“sekarang, ayo kita temui keluargamu, yang ada didesa, aku ingin segera melamarmu Sit”
Tak lama setelah itu, Siti dan Agus menuju Dander untuk meminta restu keorang
tua Siti. Seluruh Warga melihat Siti yang datang dengan seorang Pria yang bukan
Angga. sesak dirasa Siti, binggung apa yang harus dikatakan kepada kedua orang
tuanya. ketika tiba didepan rumah Siti, Siti tak melanjutkan langkahnya,
perasaan bersalah, menyesal berkecamuk dihatinya. Pintu tiba-tiba terbuka.
Wanita paruh baya keluar dari rumah yang tak sedikit pun berbeda saat Siti
meninggalkan kampung halamannya itu.
“ibuk…………” teriak siti, yang kemudian
berlari memeluk ibuknya itu. tangis harus pecah diantara keduanya.
“kamu kemana, Nduk, ibuk kangen..?,kamu
5 tahun ga pulang.. cuman titip kabar lewat Nanik, kamu ga kengen apa sama
ibuk”
“kangen buk, Siti kangen..kangen bapak,
kangen adek-adek.. ibuk gimana kabarnya ?”
“ibuk baik, adek baik, bapak juga baik”
Terlihat pak Sapto keluar dari kamar
dengan mata sembab. semua mata tertuju padanya.
“Siti…” sapanya. kemudian Siti memeluk
bapaknya, terasa lega rasanya melihat bapaknya yang masih sehat bugar setelah
kepergiannya.
“maafin siti, Pak, siti ga maksud
nyakitin hatinya bapak..”
“maafin bapak juga, Nduk, bapak ndak
ngerti apa karepmu. bapak egois.. maafin bapak”. Suasana haru terlihat disana,
semuanya pun bertanya-tanya siapa pria yang bersama Siti kali ini.
“Dia Agus, calon suami Siti Agus
ini, ibuk sama bapakku” mereka pun saling bersamalaman.
“kedatangan saya kesini, tak lain untuk
melamar anak bapak, Siti”
“boleh… asal dengan satu syarat, Siti
menyelesaikan urusannya dengan Angga” . Sunyi suasana ketika pak Sapto
menyebutkan nama Angga.
“Mas Angga?” tanyanya lagi. “Iya Angga, kalau kamu mau menikah sama Agus, kamu harus cerai dulu sama Angga, Angga sedang perjalanan ke sini. nunggu mungkin sebentar lagi tiba”. ucap Pak Sapto
Deruman motor berada di pekarangan
rumah, “mungkin itu dia”. untuk pertama kalinya, Angga dan Agus bertemu. Suasana bertambah hening. Tak ada yang mengawali omongan selama 10 menit awal.
“Siti..” sapa Angga dan dibalas dengan senyuman singkat. “Siti, maaf kalau waktu itu aku ga pernah Tanya langsung ke kamu, apa kamu suka sama aku apa ndak, aku pikir jawaban dari bapak kamu itu dari kamu, Siti, aku sadar, kalau perasaanku ini tak boleh ku paksa, kehilangan kamu waktu itu, buat aku berpikir, lebih baik untuk melepaskan kamu. kamu juga terlihat sudah bawa calon pilihan kamu sendiri kesini. rasanya kita sudah bukan apa-apa, mulai sekarang …”ucapan Angga terpotong.
“mulai sekarang kamu bebas
memilih siapa yang akan menjadi calon pendampingmu, mulai sekarang kamu
kukembalikan ke orang tuamu. kamu bukan istri aku lagi, aku juga sudah
menemukan pengganti kamu, Sit, semoga ini yang terbaik “ kata Angga dengan
tenang, perkataan Angga membuat hati Siti lega.
“maaf, waktu itu aku keluar ga ngasih
kata apapun, semoga juga ini yang terbaik untuk kita”
Perlu waktu dua tahun untuk bisa terjadi seperti ini, bapak menerima keputusanku, begitu juga dengan mas Angga. Aku beruntung lelaki yang menjadi imamku kelak, mampu memperlihatkan bagaimana dia mencintaiku. bagaimana dia ingin menunjukkan padaku kalau dia berusaha keras untuk bersamaku, terima kasih Mas Agus, kamu anugerah terindah yang pernah ku miliki.
semuanya terasa lega, Siti, Bapak dan Ibunya, begitu juga Angga, Pak Sapto dan Bu Sapto, menerima kehadiran Agus dan mempersiapkan tanggal pernikahan mereka. Pernikahan pun terlaksana, para keluarga dari masing-masing pihak pun datang ke kediaman Siti di Dander untuk menyaksikan hari bersejarah itu. Kehidupan rumah tangga Siti dan Agus pun berjalan lebih dari 18 tahun, dan dari pernikahan itu telah dikaruniai tiga anak perempuan yang cantik –cantik, dan aku salah satu dari mereka.